11- Makan Malam Terselubung

1231 Kata
Udara malam yang dingin menerpa wajah Queeny. Gadis itu naik ojol hingga lokasi tujuan. Sempat mengirim pesan kepada uminya bahwa dia akan segera sampai. Di tengah perjalanan, Queeny merasa ada yang tidak beres. Bukan karena hawa dingin yang sedang ia rasakan membuatnya agak menggigil, melainkan sesuatu yang mengganjal dalam hatinya. Sayangnya, dia tidak tahu apa yang dirinya sendiri maksud. Sesampainya di kafe, Queeny masuk ke dalam lewat pintu kaca yang dikelilingi lampu berwarna keemasan. Queeny sempat berdiri selama beberapa detik di depan pintu untuk memperhatikan sosok yang ia cari. Umi dan Abinya sudah menempatkan diri di pinggiran ruangan, tempat beberapa pasang sofa berjejeran. Queeny agak heran kenapa orang tuanya memilih tempat VIP itu untuk duduk. Queeny segera mendekati orang tuanya. Menyalami mereka satu persatu dengan senyuman hangat. Lalu dia duduk di sofa dekat dengan uminya. "Tumben Umi sama Abi ngajak ke kafe," kata Queeny basa-basi. Sebenarnya, dia juga mempertanyakan rasa penasarannya yang kian besar saat menemukan satu persatu keanehan semenjak kedatangan orang tuanya yang sangat mendadak. "Sebenarnya ada yang mau kami bicarakan dengan kamu. Ini sangat penting," kata Umi. Dahi Queeni berkerut. Gadis itu menatap ke arah sang ayah yang juga mengangguk menyetujui ucapan Umi. "Bentar-bentar!" sela Queeny dengan ekspresi menebak. "Kayaknya ada yang aneh, deh. Tadi Umi bilang, kalian datang ke sini bukan cuma buat jenguk Queeny, terus ngapain?" Umi dan Abi saling lempar pandang. Bibir mereka membengkok ke atas seolah akan segera mengatakan kabar yang berpeluang membuat Queeny bahagia. Queeny semakin penasaran melihat ekspresi mereka. "Kita tunggu sebentar lagi. Mereka akan segera datang," kata Umi memecah rasa penasaran Queeny yang semakin memuncak. "Mereka?" Queeny mengerutkan kening. Dia menoleh ke sekeliling dengan ekspresi heran, lalu menoleh ke arah pintu masuk yang tertutup. "Mereka siapa?" tanya Queeny panik. "Kamu pasti akan senang, kok." Queeny menahan napas begitu mengingat ucapan Marlina di kostan tadi. Bagaimana jika teori Marlina tentang Furqon benar? Bagaimana jika orang yang sedang orang tuanya tunggu adalah Furqon? "Queeny!" sapa sayang ayah membuat Queeny terlonjak kaget. Dia mengalihkan pandangan. "Abi tau kamu kaget. Kamu pasti akan senang setelah mengetahuinya. Abi sudah ikhtiar selama barhari-hari sebelum datang ke sini." Queeny melihat ketenangan dari kedua mata sayu abinya. Jika sudah seperti ini, Queeny hanya bisa pasrah. Kedua orang tuanya terlihat tak marah, meskipun ... mungkin ... Furqon sudah mengatakan kebenaran tentang mereka. Masalahnya, Queeny tidak ingin bersama dengan Furqon, rasa bencinya kepada cowok itu sudah mendarah daging. "Nah!" seru Umi diikuti seruan hamdalah dari Abi saat tiga orang masuk ke dalam kafe. Queeny membelalak begitu menyadari siapa yang membuat umi dan abinya berseru senang. Mereka adalah sepasang suami istri dan seroang laki-laki yang berdiri di belakang mereka, laki-laki itu adalah Yusuf, si dosen killer. Queeny lupa dia harus bernapas untuk bertahan hidup. Saking terkejutnya, dia tidak bisa mengalihkan pandangan dari kedatangan ketiga orang yang langsung bergabung dengan keluarganya. Seluruh tubuh Queeny tak karuan. Dia menoleh ke arah umi yang sedang menyambut tamu-tamunya dengan senyuman ramah. Queeny berusaha mencari kepastian, apa yang sebenarnya sedang terjadi. "Queeny!" sapa umi dengan nada tenang dan dalam. "Kamu pasti sudah tau beliau siapa, 'kan?" umi menunjuk Yusuf yang sedang tersenyum hangat ke arah Queeny. Untuk pertama kalinya Queeny melihat senyuman muncul dari mulut Yusuf, dia bahkan belum pernah membayangkan dosen killer itu bisa tersenyum. "I-iya, Umi," sahut Queeny untuk menjaga attitudenya di depan orang-orang penting di sekelilingnya---kecuali Yusuf tentu saja. "Kami sudah memutuskan untuk menjodohkan kalian," jelas Umi seperti yang sudah Queeny bayangkan. Meskipun sudah menebaknya, Queeny tetap merasakan ulu hatinya memanas karena tak menyangka dia akan dijodohkan dengan orang menyebalkan seperti Yusuf. Jika saja Queeny nekad, dia sudah membalas penjelasan Umi dengan berbagai macam kalimat sarkas. Tetapi dia menahan emosinya dalam-dalam dan berusaha memperlihatkan senyum terpaksa. Dia berhasil, orang tua Yusuf dan Yusuf tidak curiga kalau dia emosi. "Kami cuma tinggal menunggu persetujuan kamu, Nak!" kata papanya Yusuf. "Yusuf bilang dia sudah setuju, kami sudah setuju, dan umi sama abi juga sudah, kami tinggal menunggu keputusan kamu." Queeny semakin dibuat kebingungan. Dia menatap Umi dan Abinya satu persatu. Tidak perlu menyembunyikan emosinya lagi. Dia sudah memperlihatkan emosi itu lewat sorotan matanya. Menyalahkan umi dan abi yang tidak mengabarinya terlebih dahulu bahwa dia akan segera dijodohkan. Melihat kebingungan di mata Queeny, tidak membuat kedua orang tua Yusuf tersinggung. Mereka memaklumi Queeny yang baru tau tentang hal ini. "Kami tau kamu butuh waktu untuk menjawab. Kamu bisa menentukan kapanpun sampai kamu siap." Queeny menoleh. Mengangguk dan memperlihatkan senyuman terpaksa di wajahnya. Dia menoleh ke arah Yusuf sekali lagi. Laki-laki itu balik menatapnya. Queeny tidak mengerti energi apa yang ada di sorotan mata Yusuf. Queeny langsung mengalihkan pandangan karena dia merasakan emosinya kembali memuncak. *** Malam ini adalah mimpi buruk bagi Queeny. Saat dia kembali ke hotel bersama keluarganya, dia marah besar sampai tak peduli dia dianggap anak yang durhaka. "Masalahnya, Umi nggak bilang sama Queeny dulu kalau mau dijodohkan." Umi mengerling melihat kemarahan anaknya. Beliau sudah biasa mengalami kemarahan Queeny, dia masih ingatan bagaimana cara menenangkan gadis itu setelah sekian lama tinggal berpisah. "Umi pikir ini akan jadi kejutan untuk kamu." "Umi bukannya kasih kejutan, tapi ngagetin Queeny, Umi," tegas Queeny. "Queeny nggak mau dijodohkan sama dia." "Queeny, dengerin Umi!" Umi meraih bahu Queeny sementara sang ayah menonton perdebatan mereka dari kursi dengan ekspresi tak secerah biasanya. "Yusuf itu laki-laki yang baik. Makannya kami sudah setuju lebih dulu." "Lagian kenapa Queeny harus dijodohkan? Queeny masih punya tugas sebagai seorang pelajar. Queeny harus punya gelar sarjana dulu baru mau nikah, Umi. Kalian pikir Queeny nggak bisa cari jodoh sendiri?!" "Queeny!" tegur sang ayah dengan nada tegas yang hanya akan muncul ketika beliau marah besar. "Istighfar! Jangan sembarangan bicara sama umi kamu." Air mata Queeny mengalir deras di pipinya. Dia terisak. Dadanya terasa sesak saat melihat keegoisan kedua orang tuanya. Saat dia berusaha membela dirinya sendiri, dia mendapatkan teguran. Semuanya serba salah dan Queeny sama sekali tidak suka itu. "Dengar!" nada bicara Umi semakin pelan dan lembut. "Ada alasan lain kenapa Umi dan Abi setuju. Alasan ini untuk kebaikan kamu juga. Umi dan Abi bukannya ragu kamu bisa mencari jodoh sendiri. Kami tau kamu pasti punya pilihan dan pilihan kamu sebagus pilihan kami. Umi hanya ingin kamu punya suami yang benar-benar bisa membimbing kamu di sini." Queeny tidak mendengarkan satu pun perkataan ibunya. Seandainya umi tidak menahan bahunya, dia sudah memutuskan pergi dari sana agar bisa menangis sepuasnya. "Kami agak khawatir kamu sendirin di sini. Kalau kamu sudah punya suami, suamimu itu yang akan jaga kamu dari bahaya." "Terserah," isak Queeny sambil melepaskan tahanan Umi dan keluar dari ruangan itu. Queeny masuk ke kamar hotel yang dia booking secara darurat. Dia menarik guling dan memeluknya sambil menangis. Dia tidak tau dengan perasaannya sendiri yang tidak karuan. Belum lagi masalah bertubi-tubi dan ego besarnya yang membentur pikirannya satu persatu. Queeny benar-benar tidak tau lagi bagaimana dia bisa bangkit. Queeny meraih ponselnya. Dia memberi pesan kepada Marlina untuk datang ke sini. Dia harus mencurahkan setengah isi pikirannya kepada Marlina agar dia bisa lega. Sosok Marlina datang ke kamar Queeny setengah jam kemudian. Gadis itu setengah terkejut melihat wajah Queeny memerah yang artinya gadis itu baru saja menangis. "Lo kenapa?" tanya Marlina. Meletakkan tasnya di meja dan langsung bergabung dengan Queeny di ujung ranjang. Queeny menjelaskan semua yang terjadi. Queeny sama sekali tidak menyangka Marlina bersikap biasa saja. Dia pikir Marlina akan terkejut sepertinya, tetapi temannya itu cuma mengulum senyum. "Jadi, itu alasan orang tua kamu ke sini?" Queeny mengangguk sedih. "Terus?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN