Saksi Hidup.

1114 Kata
Raffa menatap salah satu anak buahnya yang bertugas sebagai sopir truk, terbaring di atas brangkar klinik. Wajah sang sopir babak belur, sepertinya terkena tonjokan dan sikut yang membuat sudut bibir dan pelipisnya pecah. Sepuluh orang anak buah Raffa lainnya tewas di tempat dengan luka tembak di beberapa bagian pada tubuh mereka. Raffa melirik pada Dewa. “Kenapa ini bisa terjadi?” tanyanya dingin. “Aku sudah bilang untuk melakukan pekerjaan ini dengan sempurna!” Malam itu Raffa langsung meninggalkan club begitu mendapat kabar dari Dewa tentang apa yang terjadi. Satu truk berisi muatan onderdil untuk Sultan menghilang dan sudah terlambat untuk mengirimkan produk penggantinya. Karena perusahaan Raffa membuat pesanan limited edition, dimana Sultan automotif request untuk setiap detail dan modelnya. Mereka diserang! Tapi ini akan menjadi alasan konyol untuk diberikan pada Sultan automotif mengenai kekurangan pesanan dari suku cadang yang telah mereka sepakati. “Maafkan saya,” ujar Dewa dengan suara pelan. “Saya lalai mengerjakan tugas dari Anda.” Dewa tidak mengelak atau memberikan alasan. Pria bertubuh tegap itu siap untuk menerima konsekuensi kelalaiannya dari Raffa. “Kamu melakukan transaksi ilegal, Raff?” sebuah suara bertanya dengan nada datar tetapi terdengar sangat dingin pada Raffa. Raffa melirik pada dokter wanita yang juga sedang menatap pada pasiennya di atas brangkar. Raffa terpaksa harus memanggil wanita itu untuk membuka kliniknya secara rahasia di malam hari begini karena posisi rumah sakit terlalu jauh dari tempat kejadian, dia juga sedikit anti akan aroma pekat pada rumah sakit. Untungnya mereka bersaudara. “Kamu tahu aku tidak melakukan hal seperti itu, Laila.” “Lalu kenapa kamu harus mengirim barang tengah malam?” Dokter bernama Laila itu menghela napas, melirik sinis pada Raffa sejenak karena sudah mengganggu waktu istirahatnya. Laila mendekat pada brangkar karena melihat pasiennya mengerang mengaduh dan kelopak matanya berkedip kecil menandakan kesadaran. "Anda dengar saya?” tanya Laila. Pria di atas brangkar membuka kelopak matanya lebih lebar dan mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan pencahayaan serta mengumpulkan kesadarannya. Raffa menatap tajam pada sang sopir truk yang memandang ke arahnya, “Maaf, saya tidak bisa melindungi truknya.” “Itu tidak penting!” Laila menyahut cepat perkataan pasiennya, tanpa memperdulikan Raffa yang berjengit tidak suka mengerutkan alisnya naik, tersinggung karena perkataannya. “Nyawamu jauh lebih penting. Syukurlah Anda selamat. Tapi, jika Anda sudah bisa bicara. Apa Anda mau memberitahu apa yang terjadi?” tambah Laila ramah setelah memeriksa pupil mata dan tanda vital lainnya pada sang pasien yang normal dan baik-baik saja. Kecuali wajahnya yang bengkak membiru dengan sudut bibir serta pelipis pecah. Dengan perawatan serta salep anti peradangan juga antiseptik, itu semua bisa kembali seperti semula. Sang sopir truk kembali melihat ke arah Raffa yang juga berdiri tegak menatapnya lurus. “Kami diserang oleh sekelompok orang yang mengambil truk terakhir. Maaf, saya tidak bisa mengenali mereka karena mereka menggunakan masker yang menutupi separuh wajah. Tapi, pria yang memukul saya, berkata ‘salahkan saja bos kalian yang tidak bisa diajak bicara’.” Raffa mendengkus pelan, telapak tangannya terkepal dan raut wajah tampannya sangat tidak sedap di pandang, terlihat emosi geram begitu jelas. “Frans Shaka!” gumam Raffa di dalam hati. Laila yang melihat perubahan emosi Raffa, mendorong tubuh pria itu agar menjauhi brangkar pasiennya. “Menyingkirlah dulu! Dia masih perlu perawatanku, setidaknya sampai besok sore. Jangan terlalu banyak bertanya dan akan lebih baik jika kalian pergi dari sini sekarang juga!” tegas Laila sembari melirik ke arah Dewa dan Raffa bergantian. “Aku tidak bisa bekerja jika kalian masih berada di sini!” tambah Laila semakin menatap Raffa dengan tatapan tajam. “Kau sudah mengganggu waktu istirahatku dengan datang dan membuka klinik ini untuk kalian. Jika kalian tidak mau menyingkir dari ruangan ini, maka bawa kembali teman kalian keluar dari sini dan ….” “Semakin tua, kau semakin bawel, Laila!” Raffa memotong perkataan Laila, melirik pada Dewa sekejap yang langsung paham untuk mengikutinya pergi keluar dari klinik. *** Raffa memperhatikan jam tangan mewah yang melingkari pergelangan tangannya. Waktu telah menunjukkan menjelang dinihari di Singapura. Meskipun sangat konyol menurut Raffa, nyatanya dia menghubungi Sultan yang langsung menjawab panggilan telponnya pada deringan ke tiga. Raffa memberitahukan jika satu truk pengiriman suku cadang untuk Sultan Automotif disabotase dan di curi ketika dalam perjalanan ke pelabuhan. “Aku tidak mau tahu. Aku harus menerima barang itu tepat waktu, Raffa. Jika tidak, kau akan tahu akibatnya!” tutur pria yang dipanggil Sultan oleh Raffa tersebut dengan suara sangat dalam juga serak khas orang bangun tidur. “Aku tertarik berbinis denganmu karena menurut orang-orang kau adalah pria yang berkomitmen! Apakah semuanya itu salah, Raffa?” cetus Sultan bertanya seolah menyindir pada Raffa. “Kami akan usahakan mengirimkan suku cadang yang hilang itu, Sultan.” “Bukan hanya diusahakan, Raffa. Tapi kau harus mengirimkannya tepat waktu!” tegas sang Sultan. “Baik.” Raffa menautkan giginya ketika mengucapkan satu kata jawaban pada sang Sultan. Dewa terus menyimak dan memperhatikan Raffa yang telah menutup sambungan telponnya dengan Sultan. “Maaf, Bos,” ucap Dewa kembali mengatakan maaf atas kelalaian dan kesalahannya. “Selidiki kelompok anak buah Frans dan dapatkan semua identitasnya untukku!” “Bos yakin ini adalah perbuatan Frans Shaka?” Raffa yang hendak membuka pintu mobilnya, menoleh tajam pada Dewa. “Kau pikir siapa yang tidak takut mati dan berani mengganggu bisnisku, Dewa?” Dewa segera merundukkan tubuh bagian atasnya hormat pada Raffa. “Maaf, Bos. Saya akan menyelidikinya.” ucapnya cepat tanpa menjawab atau membantah pertanyaan Raffa. Begitu memasuki mobilnya, Raffa langsung menghubungi Samir di panggilan telpon. Sejak awal Dewa mengabari jika truk pengirimannya disabotase, insting Raffa langsung mengarah pada Frans Shaka. “Aku pikir kau pria yang loyal padaku, Sam! Frans menewaskan sepuluh orang anak buahku dan mengambil truk suku cadangku yang dalam pengiriman ke pelabuhan!” Terdengar desahan pelan Samir yang sepertinya berusaha menenangkan pikiran juga nada bicaranya tidak turut menimpali emosi akan tuduhan tidak tersirat dalam kata-kata Raffa. “Frans memiliki seseorang pada sisinya yang di kenal dengan nama Jek di dunia bawah. Jek memiliki ratusan anak buah dan akan melakukan apapun untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan.” tutur Samir dengan nata tenang menjawab Raffa. “Dimana aku bisa menemukan pria bernama Jek itu?” tanya Raffa masih bernada dingin pada Samir. “Tidak ada yang mengetahui seperti apa wajah Jek. Aku hanya mendengar namanya cukup santer serta ditakuti di dunia bawah.” Raffa terdiam. Jika Samir si sumber informasi kesulitan mengetahui identitas Jek, kemana lagi ia harus pergi bertanya? Apakah Raffa akan menyerah? Sekali-kali tidak! “Frans memiliki rumah tinggal di jalan X. Ku dengar dia memiliki istri yang sedang hamil besar saat ini.” Samir memberikan informasi alamat detail rumah tinggal Frans Shaka melalui pesan setelah sambungannya telponnya dimatikan oleh Raffa secara sepihak sebelumnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN