Raffa kembali ke apartemen mewahnya. Matanya tidak bisa tidur dan pikirannya sibuk mengkalkulasi beberapa rencana dalam kepalanya.
Akibat dari yang truk tidak sampai ke pelabuhan tepat waktu, kerugian sudah mulai dialami, selain itu nama baik Raffa sebagai pebisnis muda yang sukses dan handal bisa tercoreng oleh Sultan Automotif akibat dari pesanan yang tidak tuntas ini.
Raffa juga harus bertanggung jawab terhadap asuransi sepuluh orang anak buahnya yang tewas. Frans tidak hanya menyabotase pengiriman suku cadang Raffa yang bernilai milyaran rupiah itu, tapi juga telah menewaskan sepuluh orang anak buahnya.
“Kau harus mempertanggungjawabkan semua ini, Frans! Jangan sebut namaku Raffa jika aku tidak bisa membalikkan keadaan padamu!” geram Raffa mencengkeram cerutu di tangannya yang sebelumnya hendak ia hisap, tapi kini telah hancur berderai.
Pemilik Sultan Automotif tidak mau menerima alasan apapun yang diberikan oleh Raffa. Pria yang usianya tidak jauh berbeda dengan Raffa tersebut terkenal sangat disiplin dan jeli jika melakukan transaksi. Dia akan membayar lunas setelah pengiriman di lakukan dan nama baik Raffa bisa dikenal di seluruh pasar Asia hingga Eropa jika hubungan mereka berjalan lancar.
Tapi, kini …
Raffa bahkan terancam di depak dalam pemasaran suku cadang untuk pasar Singapore, Dubai serta Malaysia yang saat ini banyak melakukan transaksi pada perusahaan Raffa.
Meskipun Raffa masih tetap bisa mendapatkan pasar Hongkong untuk penjualannya, tapi bagaimana jika Hongkong turut terancam juga?
Raffa berjalan bolak balik di ruang kerja hingga pantry apartemennya untuk membuat kopi ketika anak buahnya yang dia perintahkan mengawasi rumah kediaman Frans di alamat seperti yang diberikan oleh Samir.
“Frans baru saja keluar dari kediamannya, Bos!” lapor anak buah Raffa dalam panggilan telpon.
Raffa melirik penunjuk waktu di pergelangan tangan kanannya, “Masih pukul empat.” Gumamnya pelan.
“Perintahkan yang lain mengikuti pria itu diam-diam dan sebagian dari kalian tetap berada di lokasi. Terus perhatikan kediaman Frans, jangan sampai lengah!” sahut Raffa sekaligus juga memberikan perintah pada anak buahnya.
Raffa menyesap kopinya, mendudukkan tubuhnya yang terasa lelah pada sofa tunggal di ruangan pantry. Perlahan kelopak mata pria itu terpejam rapat, tertidur dengan napas berhembus pelan keluar dari rongga hidungnya.
***
Hidung Raffa berjengit mencium aroma wangi kopi dan makanan yang menguar di sekelilingnya.
“Dewa?!” Raffa membuka kelopak matanya dan bangkit berdiri menggeliatkan tubuh tinggi atletisnya setelah melihat Dewa berkutat membuat sarapan di pantry.
Hari telah pagi, matahari bersinar cerah dengan cahaya pagi yang sangat lembut. Terlihat panorama indah di sela dedaunan yang bergerak tertiup angin dan Raffa tercenung sesaat melihat keindahan alam pagi hari yang hampir setiap hari dia lihat, namun entah kenapa pagi ini ia memperhatikannya seolah ada sesuatu yang dia rindukan pernah terjadi di masa lalu.
“Kopinya sudah hampir dingin, Bos,” ucap Dewa sembari meletakkan sandwiches di dua piring pada atas meja pantry.
“Kapan kau datang? Bagaimana penyelidikanmu?” tanya Raffa sudah kembali ke wajah datar dengan tatapan mata dinginnya memandang ke arah Dewa sambil naik menduduki kursi bar tinggi di depan meja pantry.
“Satu jam lalu," sahut Dewa sudah sangat terbiasa dengan sikap Raffa padanya. “Benar. Sabotase ini adalah kelompok Frans yang melakukannya," tambahnya.
Raffa menyesap kopi buatan Dewa, kemudian menggigit sandwiches di piringnya. Dia tidak menginterupsi perkataan Dewa, tapi menunggu informasi lain yang akan disampaikan oleh tangan kanannya itu.
“Saya dan anak-anak belum berhasil mendapatkan lokasi mereka menyembunyikan truk. Tapi, kami sudah mengetahui jika kelompok Jek yang bekerjasama dengan Frans.”
“Ada informasi lain?” tanya Raffa begitu Dewa terdiam selama beberapa detik belum berbicara lagi.
“Anak buah kita masih berada di lokasi, mencoba mengorek informasi dari anak buah Jek. Lalu pagi ini, Saya juga mendapatkan informasi jika Frans pergi ke gedung apartemen di pusat kota.”
Raffa telah menandaskan sarapannya dan menyesap habis kopi di cangkirnya. Kelopak mata Raffa hanya berkedip menanggapi perkataan Dewa yang anak buahnya juga telah mengabarkan jika Frans masih belum keluar dari gedung apartemen di pusat kota sejak masuk dinihari tadi.
Raffa turun dari kursi duduknya, “Dapatkan informasi mengenai dimana truk itu mereka simpan secepatnya dan siapa saja yang berada di belakang Frans untuk kita bisa ‘buntungkan’ lengannya. Berani sekali dia mencuri dariku!”
Dewa buru-buru mengangguk sebelum Raffa berlalu pergi naik ke ruangan kamarnya di lantai dua dalam unit apartemen mewahnya tersebut.
Tidak berapa lama kemudian, Raffa sudah keluar dari kamarnya dengan penampilan yang jauh lebih rapi dengan kemeja lengan panjang yang dia lipat lengannya sampai ke siku. Rambutnya yang sedikit gondrong masih lembab, semakin menambah daya tarik ketampanan bos muda tersebut.
Sebagai lelaki, Dewa terkadang iri sekaligus kagum melihat menampilan Raffa yang menakjubkan. Apalagi wanita?
Tanpa berkata apapun pada Dewa yang juga sudah terbiasa datang serta menginap di kamar kedua dalam apartemen milik Raffa tersebut, bos muda berwajah dingin nan tampan itu turun menggunakan lift khusus langsung menuju parkiran mobil sportnya.
Raffa melajukan mobilnya menuju rumah pribadi Frans yang anak buahnya masih setia menyamar di sekitarnya sebagai orang yang membersihkan jalanan, memperbaiki saluran air hingga mengemis meminta pekerjaan menjadi tukang kebun pada security yang menjaga kediaman Frans.
“Tolong Pak. Saya memiliki istri yang sedang hamil besar dan tidak memiliki uang untuk membayar asuransi dia melahirkan. Saya bisa melakukan pekerjaan apapun, saya tidak ingin menjadi pengemis," mohon anak buah Raffa yang bernama Ade dengan penampilan kumal serta kusut kesecurity sembari matanya melongok ke halaman kediaman yang terdapat banyak dedaunan kering.
“Tunggu di sini, saya akan menanyakannya pada Nyonya.”
Sepuluh menit kemudian Ade dipanggil masuk ke kediaman dan diantarkan oleh security untuk menemui Kirana, istri Frans Shaka.
“Kau ingin bekerja? Bisa mengerjakan apa saja?” tanya Kirana tanpa basa basi duduk di sofa menatap Ade yang berdiri kikuk tidak jauh darinya.
“Ya, Nyonya. Saya sebenarnya malu berbicara jika saya tidak memiliki tabungan dan istri sedang hamil besar …." Ade berhenti sejenak, dia memperhatikan tangan Kirana yang membelai perut besarnya dan wajah wanita itu terlihat sedikit kuyu, tidak seperti nyonya besar keluarga kaya pada umumnya.
“Saya melihat pekarangan kediaman Nyonya sedikit kurang terawat.” Ade berkata hati-hati, kuatir menyinggung nyonya muda berwajah menawan tetapi terlihat lelah di depannya tersebut.
“Uhm, kau bisa memulai bekerja hari ini. Setengah hari tidak apa-apa. Nanti temui security yang membawamu tadi kesini untuk p********n harian atas jasamu," cetus Kirana setuju.
Ade buru-buru membungkukkan badan, lalu ijin undur diri untuk bisa langsung memulai pekerjaannya.
“Hanya ada security dan istrinya sedang hamil di rumah. Tidak ada penjagaan lain lagi," bisik Ade melaporkan pada Raffa melalui alat kecil seperti kancing baju pada leher kemejanya.