08. Alison dan Costa

1003 Kata
 “Bagaimana keadaanmu?” tanya Costa begitu masuk kedalam ruangan Aliosn dan mendapati Aliosn tengah menikmati buah apel di ranjang sakitnya. “Keadaanku membaik, tapi sepertinya aku mulai bosan di sini, berbaring di ranjang seperti orang lumpuh,” ujar Aliosn kini begitu ramah dan nampak sehat tak seperti beberapa hari lalu setelah ia bangun dari pingsan. “Kakimu sudah baikan? Kalau sudah seharusnya kau meminta perawat mengantarkanmu untuk berjalan-jalan meliaht taman atau helaty room, agar kau bisa mencium udara segar.” Aliosn menarik napasnya perlahan, “Aku sudah meminta hal itu pada perawat, tapi ia mengatakan tak bis amembawaku pergi tanpa persetujuan dari seorang Tuan Costa. Sebegitu berpengaruhnya kamu pada orang-orang di sini, kau pemilik rumah sakit ini?” “Hah? Apa?” ujar Costa gugup mendengar ucapan Alison itu, meskipun nampak hanya penasaran tapi Costa tak bisa menyembunyikan rasa keterkejutnya. Melihat pergantian wajah Costa, Alison menahan tawanya sendiri dengan telapak tangan. “Aku hanya bercanda, mana mungkin seorang dosen sepertimu punya rumah sakit. Aku pastikan gajih dosen tak begitu besar, mungkin tinggalmu saja hanya di sebuah apartemen murah.” Costa hanya menggaruk kepala belakangnay sambil tersenyum aneh dan tak menentu. Costa bisa menarik napasnya dengan lega karena Aliosn tak tahu bahwa rumah sakit itu memang miliknya, warisan dari keluarga Rapsada yang dulu milik ayahnya, tapi kini menjadi miliknya sejak sang ayah meninggal. Costa belum ingin bahkan mungkin tak ingin jika Alison tahu bahwa diirnya adalah orang penting dari Ingerdia, entah kenapa ia ingin saja menyembunyikannya. “Kapan aku boleh pulang setidaknya keluar dari ruamh sajit ini?” sambung Alison lagi, kini ia sudah menaruh apel itu di atas meja. “Dokter belum mengatakan apapun padaku, mungkin sebenatar lagi, karena katanya kamu sudah sangat baik.” Alison mengangguk-angguk tanda paham. Jika pulang pun ia harus kemana? Ia tak bisa kemana-mana karena di negara ini ia tak memiliki rumah. “Ajak aku jalan-jalan Costa,” minta Alison pada Costa. “Aku ajak kamu menghirup udara segar ya, mau ke Healty Room atau taman?” ujar Costa memberi saran pada Alison. “Bagaimana kalau taman saja, aku lama tak berinteraksi dengan tumbuhan.” “Kau seperti mengerti bahasa mereka,” Costa tertawa, lalu membantu Alison naik kekursi roda uapnya, meskipun sudah nampak sembuh tapi Alison tak bisa berjalan jauh lagi. “Aku tak ingin melewati portal sihir lagi, aku ingin mengelilingi rumah sakit ini sekaligus,” kata Alison. “Boleh, berarti kita menggunakan lift saja, karena taman ada di lantai paling atas, sebelah timur, cahaya pagi ini bagus untuk kulitmu.” “Pagi, apa matamu buta? Sekarang sudah hampir pukul sebelas siang, aku bisa terkena kanker kulit jika terlalu banyak terkena sinar UV.” Costa tergelak mendengar ucapan Alison itu, lalu dengan tersenyum simpul Costa mendorong kursi roda milik Alison, karena Alison bilang ia tak inginn terbang. Aliosn melihat rumah sakit kota Sidir dengan sangat takjub, karena rumah sakit ini begitu besar, sudah mirip hotel paling mewah yang pernah ada, banyak alat canggih yang ada di sana, robot pekerja kesehatan juga terlihat. Fasilitas juga sudah memadai, benar-benar teknologi yang sudah berkembang dengan pesat. “Apa itu?” tanya Alison begitu matanya tertuju pada sebuah ruangan berkaca, dimana banyak dokter dan alat yang ada di ruangan itu. “Kami sedang membuat rahim buatan, alat yang memungkin proses pembuahan tanpa rahim sebenarnya,” ujar Costa. “Maksudnya? Kalian melakukan kloning?” “Apa kloning? Mesin itu nanti tidak akan bekerja seperti itu. Mesin ini masih tahap perkembangan, jika sudah selesai akan membantu para perempuan itu memiliki ketuuranan dengan cepat dan baik.” “Mengerikan, seperti proses penelitian pada hewan.” Costa tersenyum, “Kamu tahu di dunia ini banyak sekali orangtua yang menginginkan anak, tapi banyak sekali kendala, dari proses pembuahan yang tidak baik sampai penyakit di rahimnya, nah alat ini berguna sebagai pengganti. Bukan kloning juga bukan rahim pengganti ataupun bayi tabung.” “Lalu?” “Aku pun tak begitu paham,” setelah mengucapkan hal itu Costa kembali mendorong kuris roda milik Aliosn, mereka kembali mengelilingi rumah sakit untuk melihat-melihat sekeliling. Tak berapa lama mereka sampai di lift untuk menuju lantai atas, tempat di mana taman berada. Taman yang sengaaj di desain berada di dalam ruangan, guna mengurangi penggunaan lahan berlebih di luar. Akhirnya mereka sampai di taman rumah sakit, berada di lantai atas tapi beda tempat dari tempat yang mereka kunjungi tempo hari. Taman itu begitu luas meski hanya di atap rumah sakit, ada sebuah pohon tinggi dengan atap kaca, tumbuhan dan bunga yang hampir menutupi seluruh tempat itu. Alison tak menyangka bisa melihat semua hal itu pada satu ruangan, lama sekali rasanya ia tak melihat tumbuhan-tumbuhan seperti itu, terakhir kali di Manaus, itupun masih menyisakan bekas sakit di hatinya. “Kau masih kepikiran soal asalmu?” tanya Costa saat mereka berhenti dan duduk di bangku taman. “Sedikit, kadang aku rindu Ibu dan saudara-saudariku, aku yakin mereka cemas menungguku pulang, tapi kau tak bisa melakukan apapun, jadi aku harus bersabar sampai aku benar-benar bisa pulang, meskipun aku takyakin akan hal itu,” kata Alison. Meski mengatakan hal itu, Alison tak lagi nampak sedih seperti tempo hari, mungkin ia mulai bisa menerima keadaanya. Costa mengangguk perlahan, Alison begitu dewasa untuk  paham situasinya. Karena terjebak pada masa berbeda saja itu sudah merupakan hal yang sangat aneh. “Costa simpan ini,” sambung Alison memberikan tabung miliknya yang ia keluarkan dari kantung bajunya. “Apa ini?” tanya Costa berlagak bodoh padahal ia tahu itu tabung penelitian yang isinya fungi jenis langka. “Saat aku melakukan penelitian di Manaus, aku menemukan fungi langka itu, aku sudah menelitinya dan itu bisa menjadi obat ampuh penyakit kanker dan juga HIV, kau bisa membawanya ke Lab kotamu dan kembangkan ia.” Costa menerima tabung itu, “Aku ingin tanya, dari mana kau mendapatkan tabung ini?” “Aku mendapatkannya dari seorang proffesor bernama Reinhard, salah satu kepala Lab di kota Manaus,” kata Alison. “Proffesor Reinhard? Maksudmu ini,” Costa menunjukkan foto seorang proffesor yang berdiri sejajar dengan Costa pada sebuah seminar. “Iya, dia proffesor Reinhard, kau mengenalnya?” “Cukup mengenalnya, saat aku menjadi salah satu mahasiswa, tapi ia meninggal tak lama setelah aku berfoto dengannya, oprang bilang ia terbunuh. Dan kamu tahu... tabung yang kamu gunakan untuk baru di produksi masal setelah proffesor Reinhard meninggal. Sekitar 15 tahun lalu.” “Tapi bagaimana dengan tabung ini? Apa ini hanya sebuah percobaan awalnya?” Costa mengangguk, sepertinya memang begitu. “Lalu siapa yang membunuh Proffesor Reinhard, padahal ia begitu baik padaku dan kru kami saat penelitian.” “Itu terjadi hanya seperti konspirasi, sepertiny ada orang yang tak suka dengan dirinya, dan ya sekarang banyak orang-orang ingin mengambil alih peneitian dan miliknya.” Alison mengangguk paham dengan ucapan Costa itu. Apalagi tentang Proffesor Reinhard.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN