Hamburg-Berlin, Jerman.
Tahun 1994
Sebulan telah berlalu sejak kapal yang membawa lebih dari 500 penumpang itu lenyap tanpa bekas di samudra antartika. Tim pencari sudah berusaha keras, baik dari negara Brazil sendiri maupun Jerman, tapi tak membuahkan hasil sedikitpun.
Musim dingin sudah berlalu, masuk musim semi, pencarian tak berhenti dari situ. Seharusnya beberapa hari sejak berlayar pertama kali, kapal itu berlabuh di Hamburg, dan menurunkan penumpangnya termasuk kru milik proffesor Ricard, tapi hal itu tak terjadi.
Jika benar kapal itu tenggelam akibat badai dan air gelombang, seharusnya bangkai manusia atau puing-puing kapal terhanyut tak jauh dari tempat tenggelamnya, tapi nyatanya tidak ada siapapun di sana, bahkan nahkoda dan anak buah kapal pun tak ada.
Hampir setiap hari nyonya Este menunggu Alison sang anak perempuannya pulang, ia terus pergi kepelabuhan Hamburg yang tak jauh dari rumahnya di temani Yahte anak lelakinya adik Alison.
Ia berharap Alison tiba-tiba muncul dan memeluknya erat, ia juga tak akan memarahi perempuan itu karena tak datang kerumah ke acara peringatan kematian sang ayah, karena biasanya ia akan marah jika salah satu anaknya melupakan hari itu.
“Bu, ayo kita pulang, udara disini tidak baik untuk kesehatanmu,” ujar Yahte berusaha membuat ibunya bangkit dari duduknya. Ia juga lelah menunggu sang ibu terus menerus seakan masih yakin sang kakak masih hidup, ia juga berpendapat begitu, tapi jika hidup seharusnya sang kakak kembali sejak lama.
“Aku ingin menunggunya pulang, bagaimana jika aku kembali ia datang bersama rombongannya,” kata nyonya Este dengan wajah sendunya, wajah yang jarang sekali Yahte lihat, karena selama ini sang ibu begitu tegar dan kuat, keras kepala dan sulit di lunakkan.
“Alison tahu rumahnya, jika ia dan teman-temannya sampai, ia pasti akan langsung pergi kerumah, dan memohon untuk Ibu tidak marah padanya.”
Nyonya Este memandang wajah anak lelakinya, sambil menghembuskan napas pelan, lalu mengenderkan pandangan lalu pada hamparan pesisir laut di pelabuahn Hamburg.
“Ibu ingin ke Berlin,” ujar nyonya Este kemudian.
“Untuk apa, Bu?” tanya Yahte.
“Ibu ingin mengambil barang milik kakakmu, jika ia sudah kembali dari pekerjaannya, Ibu ingin ia tinggal di Hamburg bersama Ibu.”
Yahte mengangguk, lalu membantu nyonya Este berdiri, dan berjalan perlahan, kakinya yang terkena rematik kadang masih terasa nyeri untuk berjalan jauh.
Keduanya berjalan mnujujalan lalu mencari taksi untuk menuju stasiun, mereka ingin menggunakan kereta api untuk pergi ke Berlin, meskipun itu memakan waktu yang cukup laam untuk sampai di sana.
Setelah emndapatkan taksi, dan mengatakan tujuannya, taksi itupun berjalan dengan langkah yang tak begitu lambat, nyonya Este dengan suara kerasnya memaksa si supir untuk membawa taksi itu lebih cepat.
Si supir tak bisa membawa taksi itu melebihi kecepatan batas maksimum karena hal itu akan membahayakan jalanan, si supir juta tak mau berurusan dengan polisi karean berpikir ia membawa mobil dengan ugal-ugalan.
“Sabarlah Bu, ini sudah ketentuan jalanan, nanti juga sampai stasiun kok,” ujar Yahte menenangkan sang ibu yang sejak tadi berteriak pada si supir.
“Tapi Ibu ingin sampai ke Berlin secepatnya!” kini suara nyonya Este menyambangi telinga Yahte dengan kerasanya menyentuh gendang telinganya yang seketika berganti tabuhan.
Tak berapa lama mereka sampai di stasiun kereta, mereka membeli tiket tujuan Berlin, dan membutuhkan waktu beberapa jam untuk sampai di sana, karena jaraknay saja lebih 110 km dari Hamburg.
***
Beberapa jam berlalu Yahte dan nyonya Este sampai di Berlin, setelah itu mereka menggunakan taksi dan pergi keapartemen tempat di mana Alison tinggal selama beekrja di sana. Meskipun jarang sekali ke Berlin, tapi nyonya Este ingat alamat tempat tinggal sang anak, selain itu Yahte juga tahu.
Saat sampai di sana ia bertemu dengan Lolita yang baru saja membeli pengharum ruangan itu apartemen Alison.
“Anda, adik dari nona Alison bukan?” tanya Lolita begitu matanay melihat Yahte saat mereka berpapasan di depan lift.
Yahte mengamati wajah Lolita sesaat, “Ah iya, aku Yahte adik dari Alison, dan ini Ibu kami.”
Lolita tersenyum sambil menunduk pada nyonya Este, “saya Lolita, asisten nyonya Alison.”
“Bagus sekali kita bertemu di sini, aku pun ingin ke apatemen Alison, bisa antar kami kesana,” ujar nyonya Este.
Lolita mengangguk dan mengajak kedua orang itu mengunjungi kamar Alison. Sudah hampir dua bulan kamar itu kosong, sejak di tinggal Alison bergi ke Brazil, dan sebulan lalu ia mendapat kabar bahwa majikannya hilang begitu saja bersama dengan krunya.
Karena sudah mendapat bayaran full satu tahun, ia terus menjaga apartemen milik Aliosn, ia berharap majikan sebaik itu bisa pulang dalam keadaan sehat dan memlihat kamarnya tetap rapi serta bersih.
Dan Lolita akan sejak jika Alison pulang tinggal jenazahnya saja, karena itu akan menghancurkan segalanya, bagi Lolita Aliosn bukan hanya majikan tapi juga guru terhebat yang pernah ada.
“Ini apartemen nona Alison, Nyonya,” ujar Lolita setelah membuka pintu apatemen Alison, masih nampak rapi dan harum.
“Lolita malam ini aku dan Yahte akan menginap di sini, besok kami ingin membawa pulang barang-barang milik Alison ke Hamburg,” kata nyonya Este yang membuat raut wajah Lolita berubah.
“Kenapa Nyonya?” tanya Lolita bingung.
“Aku ingin sekali setelah Alison kembali, ia akan memulai hidup barunya di Hamburg.”
Lolita menarik napasnya, jika Aliosn hidup baru di Hamburg bersama keluarganya itu berarti ia tak bekerja lagi di Berlin dan meninggalkan apartemennya, berarti akan memecatnya.
Dengan elusan d**a sesaat Lolita tersenyum dan berlalu pergi, memberikan salah satu kunci dan membiarkan adik serta ibu Alison berada di sana. Sepertinya ibu Alison juga begitu sedih, itu yang ia tangkap dari wajahnya.
Setelah Lolita pergi, Yahte dan nyonya Este mulai membereskan dirinya, untuk beristirahat sesaat. Di dalam apartemen itu, ada banyak sekali kenangan Alison, mulai dari barang-barang, foto hingga pakaiannya, yang membuat nyonya Este begitu kembali sedih.
Melihat semua itu rasanya ia kembali rindu dengan anak perempuannya yang dulu sering sekali ia omeli karena memilih bekerja jauh dari ibunya yang telah menjanda, tapi itu nyonya Este tahu bahwa itu pilihan yang tepat dari Alison.
“Bu, berhentilah menangis, kita berdoa saja Alison kembali dengan selamat,” ucap Yahte menenangkan nyonya Alison.
“Aku rindu kakakmu, Yahte. Aku mungkin dulu terlalu keras padanya, apa mungin di kabur karena takut aku marahi?” ujar nyonya Este.
“Jangan berpikir begitu, Bu. Ibu memang galak dan menakutkan, tapi tidaka ada anak yang mau pergi dari Ibunya, lagi pula pemerintah mengatakan bahwa semua orang yang ada di kapal itu menghilang. Tapi...” Yahte memotong ucapannya, “Jika Alison hanyut di laut kemungkinan ia tak akan selamat, tapi jika ia terdampar kemungkinan kecil ia masih hdiup, Ibu berpikir positif saja ya.”
Nyonya Este mengangguk mendengar ucapan dari Yahte itu.
***
Sidir, Ingerdia
Tahun 2045
“Dokter bilang kau boleh pulang sore ini,” ujar Costa begitu masuk keruangan Alison sambil membawa makanan.
“Berita bagus itu, tapi... aku akan tinggal di maan setelah keluar dari sini?” tanya Alison ragu, ia bingung akan tinggal di mana setelah keluar dari rumah sakit karena tak memiliki tempat tinggal.
“Tenang saja, aku memiliki seorang teman yang sangat kaya, ia memiliki apartemen yang kosong, kau bisa tinggal disana, sampai kau bisa kembali.”
“Benarkan? Aku sanagt beruntung,” kata Alison begitu bahagia mengingat dirinya akan pulang, lebih tepatnya bahagia karena keluar dari rumah sakit, “kau mambawa makanan untukku kan?”
Costa mengangguk dan memberikan makanan itu pada Alison, dengan lahap Aliosn menikmati makanannya.
“Rasanya enak sekali, apa ini?” tanya Alison begitu mulutnya berhenti sesaaat dari mengunyah makanan itu, memang tak bisa di pungkiri selama ini ia terlalu banyak makan-makanan rumah sakit yang tak begitu enak.
“Rumput laut,” jawab Costa sambil bermain dengan gadgetnya.
“Kau bohong, bentuk rumput laut tak seperti ini, dan ini enak sekali,” kata Alison tak percaya jika itu rumput laut.
“Itu rumput laut yang di fermentasi, selain menajdi makanan pendamping itu juga bisa di buat cemilan, teksturnya kenyal ada juga yang panggang.”
“Bukankah lebih enak jika rumput laut di buat makanan cepat saji ataupun di goreng?”
“Terlalu kuno, dan lagi pula Ingerdia mengurangi makanan ceoat saji maupun di goreng, untuk menekan angka kolesterol maupun diabetes, jadi ya di buat fermentasi.”
Alison mengangguk-angguk tanda paham dengan ucapan Costa, meskipun mulutnya terus mengunyah makanan itu. Padahal jika berada di Berlin ia tak ingin menyentuh cemilana ataupun makanan cepat saji, ia lebih memilih makanan yang ia masak sendiri, lebih lagi ia vegetarian, sebegitu cintanya ia dengan tumbuhan.
“Bagaimana dengan angka penyakit HIV?” tanya Aliosn lagi kini, sambil melap mulutnya yang sudah mulai memperlambat kunyahannya karena habis.
Costa mengangkat kedua pundaknya bersamaan. “Entah, aku tak begitu yakin, tapi sepertinya masih di tahap mengkhawatirkan dan ya itu bukan porsiku untuk mengomentari penyakit seperti itu.”
“Tapi kau dosen, bagaimana jika mahasiswamu terkena penyakit itu, itu sangat mematikan, bukan?”
Costa mengangguk, ia harus berbicara apalagi, karena Alison sepertinya tertarik membahas soal penyakit, sementara ia masih berhenti pada dua kata ‘kau dosen’. Ia berpikir sesaat bagiamana jika Aliosn nantinya tahu bahwa ia bukanlah dosen melainkan seoang senat yang sangat berpengaruh di negara ini, apa itu akan mengacaukan segalanya.
Tapi, kenapa ia harus kepikiran soal itu? Rasanya ia tak ingin berpisah dengan Alison, apa ia menyukai perempuan misterius ini? Sangat aneh sekali.
“Hei, kau melamun!” sambung Aliosn mengagetkan Costa perlahan, Costa sadar kemudian tersenyum. “Aku lihat senyummu manis, wajahmu juga tampan dan terawat, kau perawatan berapa kali seminggu?”
“Hah, perawatan? Aku tidak pernah melakukan itu, hanya rajin mencuci wajah, kalau tampan ini Anugrah dari Tuhan,” Costa menahan tawanya hingga membuat pipinya menggelembung karena begitu lucu.
“Lalu apa yang aku tak cantik ini kutukan dari Tuhan, begitu?” Alison memanyunkan bibirnya.
“Kau cantik, dengan wajah khas orang Eropa dan mata birumu begitu indah, rasanya ingin aku congkel dan masukkan kedalam toples kaca. Aku penasaran apa itu akan menyala jika malam hari,” ujar Costa, Alison yang ketakutan dengan omongan Costa menutup matanya dengan kedua telapak tangannya.
“Kau menakutkan, persis seprti seorang pembunuh berantai,” ucap Alison masih menutup matanya.
“Aku hanya bercanda.”
“Bercandamu membuatku takut. Setelah ini kau tak berniat menjualku sebagai b***k kan, atau menjual ginjal, hati dan jantungku ke pasar gelap?”
“Terlalu mengada-ada. Hati dan jantung tak akan berfungsi setelah lepas dari tubuhmu untuk beberapa saat.”
“Betul juga,” kini Alison yang tergelak, lama sekali rasanya ia tak tertawa begitu setelah berpisah dari krunya, biasanya yang membuatnya tertawa jika tidak Brian pasti si muda Gustaf.
Menginagt mereka, ia penasaran bagaimana kabarnya, apa mereka selata atau malah tidak? Jika benar tidak, bagaimana rasanay nanti kembali bekerja tapi kru konyolnya, pasti akan sangat hampa.
Meskipun proffesor Richard sedikit kaku sebagai seorang kepala Lab, tapi ketiga krunya masih bisa membuat suasana yang hancur makin hancur. Lab bisa menjadi riuh karena mereka, jika belum di tegur prffesor Richard mereka tak akan berhenti.
***
Sorenya Alison sudah boleh pulang, Costa membantu mengemas barangnya meskipun itu hanya tas kecil dan obat-obatan, karena tak ada yang tersisa dari Alison setelah di temukan mengambang, bajunya pun di buang perawat karena dianggap sudah tak layak lagi.
Bajunya tinggal seperti pakaian yang di gunakan orang-orangan sawah yang sudah terkena tiupan angin topan berulang kali, compang-camping.
“Masuk,” ujar Costa menyuruh Alison masuk kedalam mobil terbang miliknya, tapi Alison nampak begitu ragu, “Sudah jangan takut, masuk dan duduk saja.”
Alison masuk dengan perlahan lalu duduk di samping Costa, di depannya sudah ada seorang supir virtual yang akan membawa benda itu.
“Benda apa ini? Dan kenapa tak ada supirnya?” tanya Alison begitu mobil itu mulai berjalan, lebih tepatnya mengambang beberapa meter diatas permukaan tanah. Karena ada batas lalu lintas untuk mobil itu terbang, agar tidak menganggu pesawat dan benda lainnya.
“Ini mobil terbang, dengan tenaga uap dan air, bisa terbang. Supirnya tidak ada karena virtual, yang artinya di gerakan dari jarak jauh,” ujar Costa menjelaskan pada Alison. “Untuk taksi vitual sepertinya sudah ada sejak puluhan tahun lalu di UEA, lalu berkembang.”
“Negaramu terlalu canggih, sampai aku berpikir ini Cuma hayalan. Aku seperti masuk kedunia film,” kata Alison sambil mengetuk-ngetuk kepalanya perlahan.
Alison masih bingung, apalagi kini sudah melihat dengan jelas bahwa didepannya kota Sidir yang begitu indah. Dari atap rumah sakit memang terlihat tenang, saat sampai di sini menjadi begitu riuh, banyak sekali masyarakat yang seperti tumpah di jalanan, tapi anehnya tak ada kemacetan atau bising suara kendaraan yang saling sahut menyahut.
“Kotamu benar-benar indah,” sambung Aliosn lagi.
“Kau sudah mengataakn itu berulang kali, sebegitu indahnya kah kota ini, smapai kau terus takjub. Bukannya Berlin juga indah,” ujar Costa.
“Iya memang indah, tapi kotamu indah karena kecanggihannya, tatanan kotanya juga begitu sempurna sekali, Costa.”
Costa hanya mengangguk mendengar ucapan Alison yang masih kagum, sementara Costa sudah mulai berbenah dirinya, karena di depan sana ia sudah melihat apartemennya yang nampak terang dengan warna putihnya. Mungkin apartemennya akan membuat Alison semakin kagum nanti, meskipun Costa tak begitu suka dengan kekaguman Alison, nampak seperti orang desa.
Tapi, sikap ddesanya itu tak sedikitpun membuat Costa merasa malu ataupun merasa aneh, ia anggapi itu hal biasa, karena beberapa orang yang baru pertama akli datang ke Ingerdia pasti juga akan melakukan hal serupa, seperti orang yang tak pernah melihat sebuah kota besar.