Part 4

1618 Kata
Bruukkk … Lana tersentak kaget dan tubuhnya terhentak dengan keras ketika bagian depan mobilnya menabrak sesuatu yang keras di depannya. Matanya yang semalaman tak pernah beristirahat, rasanya begitu lengket. Kegelapan mulai memenuhi pandangannya. Dan semua menjadi gelap seketika. “Sial!!” umpat pria itu. Hentarakn dari arah belakang membuat ponsel di tangannya jatuh dan pembicaraannya seketika terhenti. Ia melirik kaca spion, menatap mobil merah yang baru saja menghancurkan bagian belakang mobilnya. Si pria melompat turun dan bergegas menghampiri mobil Lana. “Keluar!!” Pria itu mengetuk-ngetuk kaca mobil. Tiga kali dan tidak ada tanggapan, membuat si pria mengintip ke dalam. Terkejut menemukan Lana yang tak sadarkan diri. Pria itu pun mengetuk-ngetuk kaca mobil Lana. Tetapi Lana tak juga bergerak. Pria itu bergegas memutari bagian belakang mobil dan memecahkan kaca mobil di sisi lain. Membuka pintunya dan melepaskan sabuk pengaman Lana. Menepuk-nepuk pelan pipi wanita itu dan usahanya tak juga membuahkan hasil, membuat pria itu membawa Lana ke rumah sakit terdekat. Setengah jam kemudian, perlahan Lana terbangun dari pingsannya. Menemukan dirinya berbaring di ranjang di sebuah ruangan yang serba putih. Bau antiseptic menusuk hidungnya. “Kau baik-baik saja?” Pria yang sejak tadi menunggu Lana di samping ranjang, bangkit dari duduknya sembari mengambil botol air mineral di nakas dan membukanya sebelum kemudian mengulurkannya pada Lana. Kening Lana berkerut tajam menemukan orang asing tersebut. Mengenakan kaos polos berwarna putih dan celana jeans pendek berwarna biru laut. Kaca mata hitamnya tersangkut di kerah kaosnya. “Siapa kau?” Pria itu tersenyum. “Hai, namaku Evans.” Kerutan di kening Lana semakin dalam. “Hm, aku pemilik mobil yang kau tabrak.” Seketika Lana terkesiap pelan. Teringat bahwa ia sedang dalam perjalanan pulang ke rumah untuk mengemas barangnya. Tetapi rasa kantuk yang begitu pekat membuatnya menabrak mobil di depannya. “M-maafkan aku. Apa kau baik-baik saja?” Evans mengangguk dalam senyuman lebarnya. “Kecuali bagian belakang mobilku. Itu cukup parah.” “A-aku benar-benar minta maaf. Aku akan bertanggung jawab.” Evans mengangguk. “Ya, aku tahu kau orang yang baik. Kau sendiri, apakah kau merasakan rasa sakit di tubuhmu? Dokter mengatakan kau hanya pingsan karena syok. Tak ada luka apa pun di tubuhmu, kecuali mungkin sedikit lecet di jarimu. Tapi aku sudah memasangkan plester untukmu.” Lana mengangkat tangannya. Teringat ketika ia menyiapkan buah-buahan untuk Liam dan Marisa tadi pagi dan ia ujung jemarinya sedikit teriris. “Ah, bukan. Ini … ini sedikit kecelakaan di rumah. Bukan karena kecelakaan.” Evans manggut-manggut. Kemudian pandangannya beralih ke arah kuncil mobil Lana yang ada di meja kecil samping ranjang. “Ehm, aku tak bisa menemukan apa pun di mobilmu. Tas, dompet, ataupun ponsel untuk sedikit mengetahui tentangmu.” Ah, Lana mengangguk mengerti. Ia memang tak membawa apa pun dari apartemen Liam selain kunci mobil yang dipinjamkan oleh pria itu. Dompet atau apa pun miliknya masih ada di rumahnya dan ponselnya hancur dipecahkan oleh mamanya karena ia yang bersikeras menghubungi Dennis. Lana pun menatap Evans. “Bolehkah aku meminta sedikit bantuanmu?” Evans mengangguk tanpa ragu. “Ya, tentu saja.” “Aku butuh ponselmu untuk menghubungi keluargaku.” Evans pun merogoh ponsel di saku celananya dan memberikannya pada Lana. Hanya nomor Dennis dan Sonia yang sudah menempel di ingatannya. Karena Lana tak mungkin menghubungi Dennis, satu-satunya pilihan hanyalah adiknya tersebut. “Sonia, bisakah kau menjemputku. Aku terkena kecelakaan kecil dan sekarang di rumah sakit.” “…” “Ehm rumah sakit …” Lana menatap Evans yang langsung berbisik ‘Kasih Ibu’. Lana pun dibuat terkejut, tetapi Evans hanya memberinya cengiran kecilnya. “Kasih Ibu.” “…” “Sudahlah, Sonia. Cepat kemari.” Lana memutus panggilan tersebut. “Apakah ini ..” “Klinik persalinan,” ringis Evans melanjutkan pertanyaan Lana. “Maaf, hanya ini yang bisa kutemukan agar kau segera mendapatkan pertolongan.” “Tidak apa-apa.” Lana mengulurkan ponsel Evans kembali. “Apakah aku bisa mendapatkan nomormu untuk mengurus mobilmu?” “Ya, tentu saja.” Evans mengambil dompetnya dan mengeluarkan selembar kartu nama. Tetapi pria itu kembali mengangkatnya sebelum Lana berhasil menyentuhnya. “Kau sudah mendapatkan namaku, dan kartuku. Lalu bagaimana denganmu?” Lana menatap Evans lagi. “Namaku Lana.” “Hanya Lana?” Salah satu alis Evans terangkat. Butuh lebih dari sekedar Lana. “Lana Leandra. Leans Group, ayahku pemiliknya. Jika kau berpikir aku akan lari dari tanggung jawabku.” Senyum Evans mengembang lebar, tampak puas. “Aku tahu kau tak akan melarikan dirimu. Hanya saja … aku perlu namamu, kan? Aku tak mungkin memanggilmu Snowwhite, kan? Meski kau terlihat secantik Snowwhite.” Kening Lana berkerut. “Lupakan.” Evans mengibaskan tangannya di depan wajah. Hening sejenak. “Terima kasih.” “Bukan masalah.” Keduanya pun saling mengobrol ringan. Evans jelas lebih aktif dalam obrolan tersebut dan Lana hanya menjawab singkat dan seperlunya saja. Hingga setengah jam kemudian, Lana dikejutkan oleh seseorang yang tiba-tiba menggeser gorden putih yang mengelilingi ranjang pasien Lana. “Lana?” “Liam? Apa yang kau lakukan di sini?” “Sonia menghubungiku.” Seketika Lana menipiskan bibirnya. Menyumpahi sanga adik di dalam hati. “Dan ini …” Tatapan Liam seketika menajam menemukan pria yang duduk di samping ranjang pasien Lana. “Dia pemilik mobil yang kutabrak.” “Ah,” Liam mengulurkan tangannya. “Perkenalkan, saya Liam Isaac. Suaminya.” Evans terpaku sejenak, kemudian memasang senyum membalas. “Ah, sudah menikah.” Evans manggut-manggut. Bangkit berdiri dan membalas uluran tangan Liam dan berkata, “Saya Evans, Evans Jonas.” Liam menarik kembali tangannya dan menatap wajah Lana. Ujung bibirnya berkedut menemukan Lana bahkan tidak memberi tahu tentang status pernikahan wanita itu. “Bagaimana keadaanmu?” “Dia baik-baik saja. Tadi hanya pingsan karena syok. Dokter bilang karena kekurangan tidur dan terlalu lelah.” Evans mengambil alih jawaban Lana. Kali ini bibir Liam berkerut tak suka. Kekurangan tidur dan terlalu lelah? Terlihat sesal di matanya teringat bahwa setelah pesta pernikahan yang melelahkan dan Lana berkeliaran di luar. Kemudian apa yang mereka lakukan tadi pagi. Lana sepertinya memang belum sempat mendapatkan istirahat yang cukup. “Aku sudah mengatakan padamu untuk membawa sopir, kan?” Lana hanya memberikan seulas senyum tipis untuk Liam. Merasa malu jika harus berdebat di depan orang asing. “Aku akan menemui dokter …” “Tidak perlu, Liam. Dokter baru saja menemuiku. Aku sudah boleh pulang dan … dan semua administrasi sudah diurus oleh Evans.” Lana beralih menatap Evans. “Aku akan menghubungimu untuk semuanya.” Evans mengangguk. Liam terdiam, menatap ke arah Lana dan Evans bergantian. Tak bisa menahan kerutan di antara alisnya melihat bagaimana cara Evans ketika mengamati Lana. Liam pun bergerak ke samping mendekati sisi tempat tidur. Bergerak senormal mungkin di antara Evans dan Lana, membantu Lana turun dari ranjang dan memakaikan sepatu sandal Lana. Lana tersentak pelan, merasa canggung dengan Liam yang membungkuk di depannya untuk memperbaik sepatu sandalnya. “Anda sungguh beruntung memiliki istri secantik Lana. Bolehkah saya merasa sedikit iri hati?” Evans mengerlingkan matanya ke arah Lana dengan senyum setengah bercanda. Liam hanya tersenyum tipis, tak sampai di mata. Lengannya bergerak menyentuh pinggang Lana, menempelkan tubuh wanita itu di sisi tubuhnya. “Ya, saya sangat beruntung memiliki istri secantik Lana yang begitu mencintai saya.” Lana bisa merasakan nada tidak mengenakkan ketika Liam mengucapkan kata ‘mencintai’. Yang seolah menjadi sindiran yang begitu kental kepadanya. Ia pernah berselingkuh, ia menyesal dan ia menerima pernikahan ini demi membayar semua kesalahannya terhadap pria itu. Tidak bisakah Liam tak perlu mengungkit-ungkitnya lagi? “Kalau begitu, bolehkah saya mendapatkan kartu nama Anda. Untuk menyelesaikan …” “Aku sudah memintanya, Liam.” Kening Liam berkerut menatap Lana sejenak, kemudian tersenyum dalam anggukannya. “Baiklah, kalau begitu kami berpamit.” Evans mengangguk. “Kita bersama-sama ke depan.” Liam tak bisa menahan ekspresi risihnya. Evans berjalan di samping Lana, dan bahkan pria itu tak canggung mengobrol dengan Lana di depannya. Yang membuat Liam semakin mencengkeram pinggang Lana. “Apakah kau butuh tumpangan? Mobilmu …” Evans menggeleng. Menunjukkan ponselnya ke arah Lana. “Aku sudah menyuruh sopirku untuk menjemputku. Sepertinya masih dalam perjalanan.” “Hmm, baiklah.” Liam membuka pintu mobilnya untuk Lana, mengangguk singkat pada Evans dan bergegas duduk di balik kemudi. “Kenapa kau tidak menghubungiku?” sergah Liam begitu mobil keluar dari halaman klinik dan bergabung dalam kepadatan lalu lintas. “Ponselku hancur,” jawab Lana datar. Liam menoleh, dengan kerutan di kening. Lana hanya diam, tak memberi penjelasan lebih. Dan Liam pun tak menuntut lebih jauh. Tetapi dalam perjalanan pulang, mendadak pria itu berhenti di depan sebuah toko smartphone. Liam turun dari mobil sebelum Lana sempat mencegah. Dan tak lebih dari sepuluh menit, pria itu kembali. Mengulurkan sebuah ponsel ke arah Lana dan melempar kotaknya ke jok belakang. “Sekarang kau tak punya alasan untuk tidak bisa menghubungiku jika sesuatu semacam ini terjadi lagi, kan?” “Tidak perlu, Liam.” “Aku melakukannya untuk diriku sendiri, Lana. Apa yang harus kukatakan ada kedua orang tuamu jika aku sebagai seorang suami saja tidak tahu apa pun tentang istrinya. “Mungkin pernikahan ini terjadi begitu mendadak. Tetapi … aku bukan pria yang tak bertanggung jawab.” Hari Lana serasa diiris. Ia mengambil ponsel tersebut dan secepat mungkin berpaling dari Liam ketika merasakan panas yang mulai menjalari kedua matanya. Ia menarik napasnya dalam diam. Berusaha melepaskan ganjalan di tenggorokannya dengan susah payah. Liam benar-benar tak menyia-nyiakan sedikit pun kesempatan untuk menyakiti hatinya Liam mengambil ponselnya, menghubungi nomor baru Lana. “Itu nomorku,” ucapnya ketika panggilannya tersambung dan langsung mematikannya. Lana mengangguk tanpa menoleh ke arah Liam. Pandangannya tertunduk ke arah layar ponselnya dan menatap deretan angka di sana. Liam kembali menyalakan mesin mobil dan melaju ke apartemen mereka. Dan sepanjang perjalanan, keduanya sama sekali tak berbicara sepatah kata pun.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN