Ketika Liam selesai menuntaskan seluruh hasratnya dan mengangkat tubuhnya dari Lana, ponsel di nakas berbunyi. Masih dengan napasnya yang terengah, ia mengangkat panggilan tersebut sambil berbaring telentang di samping tubuh telanjang Lana.
Sedangkan Lana, wanita itu segera berbaring miring memunggungi Liam. Menyembunyikan rasa sakit di pangkal pahanya.
“Ya?”
“Pagi, sayang. Aku di depan pintu apartemenmu.” Suara manja dan mesra yang terdengar membuat Lana menoleh. Liam tersenyum sembari mencari pakaiannya sedangkan Lana menarik selimut menutupi tubuhnya yang telanjang seraya bangkit terduduk. Melongok ke lantai dan menemukan pakaiannya teronggok di bawah sana. Ia membungkuk dan memungutnya, sembari berusaha mengabaikan perbincangan mesra Liam dengan teman wanita pria itu.
Lana menepis segala macam emosi yang timbul di dalam hatinya. Mengenakan pakaiannya sambil sesekali meringis ketika pangkal pahanya terasa sakit setiap kali ia bergerak.
“Segeralah keluar dan buatkan teh untuk kami,” pintah Liam ketika pria itu sudah selesai mengenakan celana karetnya. “Biasanya pelayan hanya datang jam delapan sampai jam lima saja.”
Lana tertegun sejenak menatap pintu kamar yang tertutup tempat Liam menghilang. Ia berjalan menuju pintu kamar mandi. Membersihkan dan merapikan diri sebelum keluar dari kamar. Melihat Liam duduk di tengah sofa U, dengan lengan menjulur di punggung sofa dan seorang wanita berambut lurus panjang bersandar di lengan itu. Tangan wanita itu bermain-main di d**a Liam.
Cubitan keras lagi-lagi membuat Lana menahan diri. Baru beberapa menit yang lalu pria itu berkeringat di ranjang bersama tubuh telanjangnya, dan sekarang ada wanita lain yang menempel di tubuh pria itu.
Liam telah berubah, dan dirinyalah yang merubah pria itu. Lana menyesalkan perbuatan, tapi sudah terlalu terlambat untuk memperbaikinya. Hanya inilah yang bisa ia berikan pada Liam sebagai bentuk penyesalannya. Yang ia harap mampu mengobati luka hati pria itu.
“Siapa dia?” Sengit wanita itu yang langsung mengangkat kepalanya dan menatap Liam penuh tanya.
“Istriku,” jawab Liam ringan.
“Istrimu? Kau tak pernah mengatakan sudah menikah.”
“Ya, kemarin kami menikah.” Liam menunjukkan cincin di jari manisnya. Dengan ketenangan yang luar biasa.
Wanita itu memberengut tak suka. “Lalu kapan kau akan menikahiku?”
“Segera.” Liam melirik ke arah punggung Lana yang berjalan menuju pantry, mencari panci, dan berdiri di depan kompor setelah menemukannya. “Kami akan bercerai.”
“Lalu apa yang kaulakukan di dalam kamar bersamanya?”
“Aku memacarimu bukan untuk tahu urusan ranjangku, kan? Sejak awal kau tahu siapa diriku, Marisa.”
Marisa membungkam protesnya. “Baiklah. Aku tak akan membantah.”
Liam tak terlalu mendengarkan. Lana tampaknya sudah selesai membuat teh.
“Tapi ... malam ini, apa kau tak ingin menginap di apartemenku?”
Tatapan Liam melekat ke raut wajah Lana yang tampak datar. Wanita itu berjalan menghampirinya dan Marisa. “Baiklah,” jawabnya kemudian, tanpa melepaskan pandangannya dari wajah Lana.
Lana meletakkan cangkir teh ke meja dan secepat kilat menghilang dari pandangan Liam di balik pintu kamar.
Liam menyusul tak lama kemudian setelah Marisa pergi. Melihat Lana duduk muram di sofa dengan pandangan kosong ke arah dinding kaca. Ia mengambil kartu yang tadi tidak diambil oleh Lana dari nakas, lalu berjalan menghampiri wanita.
“Kau membutuhkan ini.” Liam meletakkan kartu itu di meja. Sengaja memecah lamuan Lana. “Apa semua barang-barangmu masih di rumahmu?”
Lana tersentak pelan, menatap kartu di meja dan mengangguk.
“Aku akan menyuruh seseorang untuk mengambilnya.”
“Aku akan melakukannya sendiri.”
Liam diam sejenak. “Baiklah. Kau bisa menata semua barangmu di beberapa tempat yang kosong di ruang ganti. Meja riasmu, aku akan menyuruh seseorang untuk mengirimnya nanti siang.”
“Aku hanya tinggal untuk sementara. Kau tak perlu membelikanku ...”
“Bukan untukmu,” penggal Liam. “Jika kapan-kapan salah satu keluargamu berkunjung dan melihat di kamarku tak ada meja rias, mereka akan berpikir aku terlalu perhitungan pada istriku sendiri.”
Hati Lana terasa dicubit, tapi ia tahu dirinya tak berhak merasakan cubitan itu dan akal sehatnya menyuruhnya untuk mengabaikan.
“Malam ini aku tak akan pulang. Mungkin kau bisa beradaptasi dengan rumah ini selama aku tak ada. Jangan sungkan jika kau tak menyukai beberapa hal dan ingin menggantinya. Aku jarang di rumah, jadi buat dirimu senyaman mungkin.”
Lana hanya diam. Mendengarkan. Tak akan pulang, itu berarti malam ini Liam akan bermalam di apartemen wanita itu.
“Aku sudah mengatakan padamu pelayan datang jam 8 sampai jam 5 sore. Kau bisa mengatakan pada mereka kebutuhanmu. Makanan atau apa pun.”
Lana merasa tak punya hak untuk mengeluh, tapi ia tetap mengangguk. Apartemen ini lebih dari cukup baginya untuk tiga bulan ke depan.
“Hanya itu saja. Sekarang, bisakah kau membantuku menyiapkan pakaianku. Aku harus terburu ke kantor.”
Lana pun bangkit berdiri, menuju ruang ganti dan Liam masuk ke kamar mandi. Sepertinya, tiga bulan di penthouse ini tak akan berlalu dengan mudah.