Ketika mobil berhenti di basement gedung apartemen. Liam turun lebih dulu, memutari bagian depan mobil dan membukakan pintu mobil untuk Lana.
“Apa yang kau lakukan, Liam?”
Lana beringsut mundur ketika Liam membungkuk dan hendak menggendongnya.
“Kau baru saja mengalami kecelakaan, dan sepertinya kau butuh …”
“Tidak perlu, Liam. Aku bisa berjalan sendiri. Kakiku baik-baik saja.”
“Aku memerlukannya.” Liam tak menggubris penolakan Lana, pria itu tetap menyelipkan kedua lengannya di balik punggung dan lutut Lana. Membawa wanita itu dalam gendongannya.
Lana benar-benar nyaris kehabisan napasnya sepanjang perjalanan menuju lift dan masuk ke dalam lift.
“Bernapaslah, Lana,” bisik Liam lirih tepat di depan telinga Lana.
Wajah Lana merah padam. Bernapas sepelan mungkin sedikit melonggarkan paru-parunya.
“Apakah jantungmu masih berdegup kencang untukku?”
Lana menelan ludahnya. “Itu tidak mungkin, Liam. Hubungan kita sudah lama berakhir.”
Liam hanya mendengus tipis. “Ya, siapa yang tahu. Masih ada getaran-getaran itu lagi di dadamu. Yang tersimpan rapat-rapat di dasar hatimu yang terdalam. Kita tak pernah tahu apa yang mungkin saja terjadi.”
“Itu tidak akan terjadi, Liam.”
Sekilas emosi berkilat di kedua mata Liam. Senyum pria itu yang membeku di ujung bibir perlahan berubah menjadi sebuah seringai yang gelap. “Kita akan lihat.”
Lana tak tahu apa maksud yang terpendam dalam kalimat Liam. Hanya sedetik ia memikirkannya, sebelum kemudian kata-kata Liam kembali menghempaskannya.
“Ya, kau tak perlu melibatkan perasaan dalam pernikahan kita, bukan. Hanya akan membuatmu menjadi wanita yang menyedihkan.”
Lana dibuat membeku, wajahnya berpaling dan pandangannya menunduk.
“Rasanya tak ada yang lebih menyedihkan selain ditinggalkan kekasihmu di hari pernikahan kalian dan berakhir menjadi istri pria yang sudah kau campakkan.”
Lagi-lagi d**a Lana serasa diremas. “Aku sedang mencoba memperbaiki apa yang sudah kulakukan padamu, Liam. Tidak bisakah kau berhenti mengungkit dan mengorek masa lalu itu?”
Liam tersenyum. “Ya, baiklah.”
Hening lagi.
“Aku tak tahu ternyata hubunganmu dan Dennis adalah jenis hubungan yang sehat.” Liam memecah keheningan tersebut.
“Apa maksudmu?”
“Aku tidak bisa tidak membanggakan diriku sendiri saat ini. Kita putus karena kau mencintai pria lain, dan kau kembali ke pelukanku dalam keadaan utuh.”
“Aku tak tahu apa yang kau bicarakan, Liam.”
“Kau masih perawan.”
Wajah Lana rasanya tak bisa lebih merah padam lagi daripada ini. Bagaimana mungkin semudah itu pria itu membicarakan keperawanannya di depan wajahnya secara terang-terangan seperti ini.
Pintu lift terbuka, Liam melangkah keluar dan hanya butuh beberapa langkah sebelum mereka sampai di depan pintu apartemen. Tetapi pria itu masih tak berhenti mengusik Lana.
“Melihat bagaimana bernafsunya pria itu merebutmu dariku, aku tak menyangka pria itu terlalu takut untuk menyentuhmu. Apakah ada alasan lainnya?”
“Hentikan, Liam.”
Liam tentu saja semakin mengusik Lana. “Apakah dia tak bernafsu denganmu? Kupikir ada yang bermasalah dengannya.”
“Turunkan aku!” Lana berusaha meronta dengan menggoyang-goyangkan kedua kakinya. Tetapi pegangan Liam di tubuh wanita itu lebih kuat dari yang Lana perkirakan. Saking jengkelnya, membuat Lana tanpa sengaja mengucapkan kata-katanya yang kasar. “Dennis bukanlah seseorang sepertimu.”
Kontan saja hal tersebut membuat seluruh permukaan wajah Liam mengeras, kemudian menggelap. Seringai jahat membentuk di ujung bibirnya. “Kau bilang kau baik-baik saja, kan?”
Lana bisa merasakan bulu kuduknya yang merinding di balik tengkuknya. Pertanyaan Liam sangat datar, tetapi begitu dingin hingga membuatnya menggigil. Seolah ada sesuatu yang mengintai di balik pertanyaan tersebut, dan Lana tahu itu bukanlah hal yang baik.
“Tidak ada luka lecet pun di tubuhmu. Kau baik-baik saja, kan?” Liam mengulang kelimatnya.
Lana terdiam selama beberapa detik, sebelum kemudian ia menggeleng pelan. Gelengan yang begitu tipis dan nyaris tak terbaca, tetapi Liam bisa mengenali gelengan tersebut sebagai jawaban bahwa Lana baik-baik saja. Bahkan mungkin baik-baik saja.
Dan di detik Lana menggeleng, di detik berikutnya tubuhnya melayang di udara dan sebelum wanita itu sempat memekik terkejut, punggungnya sudah mendarat di kasur yang empuk. Lana bahkan tak menyadari bahwa mereka telah sampai di kamar tidur.
Tubuh Lana terpental sekali, dan kemudian tubuh Liam menyusulnya. Menindih sebagian tubuh Lana dengan kedua tangan yang terpaku di sisi kepala wanita itu.
Lana benar-benar menahan napasnya, wajah Liam perlahan mendekat hingga hembusan napas pria itu menerpa wajahnya. Lana dibuat sesak napas. Ia menelan ludahnya demi membasahi tenggorokannya yang kering. “A-apa yang kau lakukan, Liam?” Lana sungguh tak bisa menahan getaran yang menjalari pertanyaannya. Beserta degupan jantungnya yang begitu hebat, nyaris meledak.
Seringai di ujung bibir Liam naik semakin tinggi. “Aku menginginkanmu,” jawabnya dalam bisikan yang memberat. Lalu wajahnya bergerak semakin turun.
Sebelum bibir Liam sempat menyentuh Lana, wanita itu bergerak memalingkan wajahnya ke samping, membuat bibir Liam mendarat di pipi.
Liam memejamkan matanya, dengan bibir yang masih menempel di pipi Lana. Membisikkan kata-katanya yang dilumuri ancaman yang begitu kental. “Jangan pernah menolakku, Lana.”
Seluruh tubuh Lana membeku.
“Ingat kesepakatan kita?” tambah Liam kemudian.
Lana pun tak berkutik, membiarkan Liam menangkap bibirnya dan melumatnya. Menyesap rasa dirinya. Pria itu sedikit menggigit bibirnya, hanya untuk memancing mulutnya terbuka dan lidah pria itu mulai menelusup ke dalam mulutnya. Menjelajahi setiap baris gigirnya, mencicipi rasa manis mulutnya dalam erang kenikmatan.
Liam begitu ahli, dan Lana serasa kewalahan mengikuti permainan tersebut. Hingga ia nyaris kehabisan napasnya, tetapi rupanya pria itu masih memberinya kesempatan untuk meraih udara sebanyak mungkin. Saat pria itu sudah puas, ciuman Liam berpindah ke rahang, dagu, leher, dan tulang selangka.
Tak hanya bibir pria itu yang aktif bergerak, melainkan telapak tangan Liam. Entah sejak kapan, kerah kemeja di bagian depannya sudah nyaris sepenuhnya terbongkar.
Lana pun membiarkan tubuhnya ditelanjangi di bawah pria itu. Liam mulai menurunkan kerah bajunya, menampilkan d**a Lana dan bahkan dengan lihainya melepaskan ikatan bra di balik punggung wanita itu. Yang membuat wajah Lana dibakar hidup-hidup. Hingga ia sepenuhnya telanjang bulat di bawah tubuh Leo yang sudah siap.
Liam menyentuhnya lagi dan lagi, menuntaskan hasrat pria itu di tubuhnya dalam pelepasan yang begitu hebat. Meledak di dalam tubuh Lana.
Beberapa saat setelah pria itu sudah selesai dengan Lana, Liam membanting tubuhnya berbaring di samping tubuh telanjang Lana. Dengan napas yang terengah-engah dan keringat di seluruh tubuh, tetapi tampak begitu puas.
Sedangkan Lana, begitu pria itu memisahkan tubuh mereka, wanita itu menarik selimut menutupi ketelanjangannya kemudian berbaring miring memunggungi Liam.
Matanya terpejam, menghentiken setetes air mata yang hendak tumpah, sekaligus melenyapkan rasa lelah yang perlahan mengabur dengan matanya yang terpejam.
Lana baru saja memejamkan matanya ketika suara ponsel di nakas berdering pelan. Lana tahu siapa yang menghubungi pria itu meski tanpa perlu ingin tahu. Tentu saja Marissa. Wanita itu menghubungi Liam tentu saja karena tertahan oleh dirinya yang kecelakan. Lana sudah ingin memberitahu Liam bahwa pria itu bisa pergi sekarang, meski Lana pun tahu ijinnya pun tak diperlukan oleh Liam. Pria itu bebas melalukan apa pun, kan?
“Ya?”
“…”
“Sepertinya aku tidak bisa. Sesuatu terjadi dan aku tidak bisa pergi.”
“…”
Kening Lana berkerut mendengarkan jawaban Liam. Tetapi ia tetap berpura tertidur. Sampai kemudian panggilan terputus dan suara ponsel diletakkan di nakas terdengar.
Lana bisa merasakan tubuh Liam yang beringsut mendekatinya. Tangan pria itu menyelinap di balik selimut menyentuh pinggang Lana. Dan telapak tangannya bergerak mengelus dalam sentuhan lembut. Yang seketika membakar diri Lana oleh sesuatu yang tak ingin wanita itu rasakan.
Liam menenggelamkan wajahnya di antara helaian rambut Lana, menghirup aroma wanita itu dalam-dalam dan berbisik dengan suaranya yang perlahan memberat. “Kau lelah?”
Lana menggeleng pelan. Dan seketika menyesali jawabannya ketika karena jawabannya tersebut, Liam malah menempelkan wajah pria itu lekukan lehernya, kemudian berbisik dengan hasrat yang mengentali suara pria itu. “Aku menginginkanmu, lagi.”
Dan Lana tak punya hak untuk menolak keinginan pria itu. Sedikit pun.
***
Esok paginya, Lana sedikit bangun terlambat dengan tubuh yang rasanya remuk redam. Ia baru saja terlelap ketika hari menjelang pagi dan teringat akan rencana yang sudah ia susun untuk hari ini.
Liam benar-benar tak pernah puas hanya dengan menyentuhnya sekali dua kali. Pria itu benar-benar berhenti ketika Lana mengeluh kelelahan, dan dengan enggan Liam menurut. Kemudian mendekap tubuh Lana dengan erat hingga pagi hari. Dan ia ikut terbangun ketika Lana berusaha mengurai pelukannya.
“Apa hari ini kau ada rencana keluar?” tanya Liam hanya sekedar basa-basi.
Lana mengangguk singkat. Menahan selimut tetap menempel di d**a demi menutupi ketelanjangannya dan menurunkan kedua kakinya menyentuh lantai.
“Dan apa itu rencanamu?” Liam menahan lengan Lana sebelum wanita berhasil turun dari tempat tidur.
Lana menatap wajah Liam. “Rumah sakit?”
“Rumah sakit?”
“Aku perlu memeriksakan kandunganku sebelum mengetahui kontrasepsi apa yang akan kupakai.”
Kening Liam berkerut, sejenak mencerna dan terkesiap pelan.
“Kau enggan menggunakan pengaman karena kau bilang mengganggu, sepertinya akulah yang perlu melakukannya.” Lana diam sejenak. “Kita akan bercerai dalam waktu tiga bulan. Aku perlu melakukan kontrasepsi untuk mencegah kehamilan, bukan? Melihat bagaimana menggebunya dirimu setiap menyentuhku, dan tidak hanya satu kali dalam semalam.”
Liam mengerjap dan tertegun selama beberapa saat, sekilas emosi melintasi wajahnya yang dengan cepat menghilang. Liam tersenyum, meski lebih mirip seringai. “Kau benar. Kita tak perlu melibatkan anak dalam pernikahan ini yang ke depannya akan merepotkan kita berdua.”
Lana mengangguk, menarik lengannya dan turun dari tempat tidur. Meraih pakaiannya di lantai dan mengenakannya di balik selimut. Dan ia baru saja selesai berpakaian ketika ia mendengar ponsel milik Liam bergetar. Lana menghela napas pelan dan bangkit berdiri menuju kamar mandi. Tak ingin mendengar pembicaraan Liam dengan siapa pun itu, meski sangat sadar diri bahwa ia pun seharusnya tak perlu merasa terpengaruh dengan hal tersebut.
Lana menutup pintu kamar mandi dan menguncinya. Menyandarkan punggung di balik pintu dan menghela napas panjangnya. Ia tak pernah mengira menjadi salah satu wanita Liam akan memberikan reaksi yang sedalam ini untuknya.
Dengan cepat Lana menyadarkan diri dengan menggelengkan kepala beberapa kali, seraya berusaha menepis pemikiran semacam itu.
Ia punya sesuatu yang lebih penting yang harus ia pikirkan hari ini. Mencari tahu ke mana menghilangnya Dennis, tujuan utamanya. Lana pun mulai menyusun rencananya untuk hari ini. Ke rumah sakit, ah mengurus mobil Evans sebentar, dan mungkin menemui salah satu teman Dennis. Satu per satu. Mungkin saja salah satu dari mereka bisa memberinya sedikit informasi.
Untuk memulai semua rencana tersebut, Lana perlu mengawalinya dengan membersihkan tubuhnya terlebih dahulu. Melunturkan keringat Liam yang menempel di sekujur tubuhnya.