Part 18

1831 Kata
Tepat dua jam kemudian, Lana dan Liam baru sampai di halaman depan kediaman Leandra. Acara tukar cincin sudah berlalu sejak satu jam yang lalu. Kedua orang tua Lana tampak sibuk menyapa para tamu undangan. Dan di ruang tengah yang luas disulap sebaai ruang dansa. Evans dan Sonia tampil begitu sempurna dan menjadi pusat perhatian. Di kelilingi beberapa pasangan yang saling berpelukan untuk berdansa. Musik mengalun lembut dari orchestra di sudut ruangan, dengan pencahayaan yang remang-remang. “Kau ingin berdansa?” tanya Liam menoleh ke samping. Lana belum sempat membalas ketika lengan Liam yang menempel di pinggangnya semakin merapat dan pria itu langsung membawanya ke area dansa. Seluruh tubuh bagian depannya menempel di d**a Liam, membuat Lana kewalahan menahan napasnya. “Kenapa kau setegang ini, Lana?” Senyum tertarik ke ujung bibir Liam. Wajahnya sedikit menunduk dan membawa Lana bergerak ke kanan, ke kiri, ke depan, dan ke belakang dengan gerakan yang halus dan dalam ritme yang terlatih. Ya, tentu saja ini bukan dansa pertama mereka, dan kepuasan tersirat dalam tatapan Liam mengetahui bahwa Lana pun tak kesulitan mengikuti gerakannya. Meski dengan kegugupan yang membuat wanita itu tegang seperti senar yang ditarik hingga batas maksimum. “Ini hanya aku. Liam Isaac.” Lana menurunkan tatapannya. Berusaha bernapas tanpa suara. Sudah cukup jantungnya yang berdegup kencang, seakan menggedor-gedor dinding dadanya. Dan jika ia sedikit saja bernapas, Liam akan mengetahuinya. Rasanya ia tak bisa lebih menyedihkan lagi dari ini. Ialah yang telah mencampakkan Liam. Kemudian ia membayar semua bayaran tersebut dengan tubuhnya. Jadi bagaimana mungkin perasaan yang sudah terpendam ke kedalaman hatinya yang paling dalam, bisa semudah ini naik ke permukaan. Liam melingkarkan lengan Lana di lehernya dan kedua lengannya melingkari pinggang Lana dengan posesif. Membuat mereka terlihat seperti saling melilit, begitu intim mengingat aktifitas panas mereka sebelum datang kemari. Wajah Lana memerah, meyakinkannya bahwa apa yang ada di pikirannya sama persis dengan apa yang tengah wanita itu pikirkan. “Dulu kau selalu menyukai momen seperti ini,” bisik Liam tepat di wajah Lana ketika musik berubah menjadi lebih lembut dan setiap pasangan yang berdansa di sekeliling mereka pun saling bersandar satu salam lain“Kau akan langsung menjatuhkan wajahmu di dadaku, dan aku …” “Hentikan, Liam,” desis Lana. Berusaha keras menatap kedua mata Liam yang berbinar penuh kepuasan. Berusah menjauhkan kepalanya dari menyentuh d**a Liam, tetapi tentu saja pria itu tak membiarkannya. Seolah tak ingin dirinya menjauh sesenti pun.“Itu hanya masa lalu kita.” “Ya, kau benar.” Senyum Liam sama sekali tak memudar. “Tapi sekarang kita sedang menjadi pasangan suami istri.” “Dan tak lebih dari satu bulan kita akan bercerai.” Lana memastikan suaranya sangat lirih dan hanya Liam saja yang mendengarnya. Senyum di ujung bibir Liam semakin tinggi, menyimpan makna tersembunyi yang begitu gelap. “Kau benar-benar tak sabaran, ya?” decaknya mengejek. “Aku tahu kau pun tak sabar untuk menikahi kekasihmu, kan?” Liam hanya terkekeh pelan. “Lalu, apakah setelah bercerai kau akan mencari Dennis dan membawanya kembali pada kedua orang tuamu?” “Itu bukan urusanmu, Liam.” Segurat kekecewaan melintasi wajah Liam, tetapi senyum pria itu masih tak bergoyah sedikit pun. “Apakah aku perlu menjadikan itu urusanku?” Kening Lana mengernyit. “Apa maksudmu?” Liam hanya tersenyum, dan Lana merasa senyum itu bukanlah hal yang baik untuk dirinya. Perasaannya mendadak menjadi tak enak. Seolah ada sesuatu yang tak diharapkannya sedang mengintai dan menunggunya lengah sebelum mengejutkannya. “Sungguh tidak sopan. Sudah datang terlambat dan sekarang kalian menjadi bintang di acara pertunanganku,” gerutu Sonia yang mendadak muncul di belakang Lana, membuat Liam sedikit melonggarkan pinggangnya dan memberi Lana sedikit ruang untuk menoleh ke belakang. Menemukan sang adik dan Evans. Liam terkekeh. “Sepertinya ini bukan pertama kalinya.” “Ya, kau bisa melakukannya lagi di acara pernikahanku bulan depan lagi. Aku tak terbiasa mendapatkan perhatian sebanyak ini.” “Sonia?” panggil Lana untuk menahan kalimatnya. Mengingatkan sang adik bahwa kesepakatan apa pun yang ada di balik pertunangan dan pernikahan Sonia dan Evans bukanlah urusan Liam. “Kenapa?” Sonia maju satu langkah, menarik lengan Liam dan bergelayut di sana dengan manja. “Toh dia kakak iparku sendiri.” Liam tersenyum, meski belum sepenuhnya memahami arah pembicaraan adik kakak tersebut. Yang terasa seperti menyimpan sesuatu. Kemudian pandangannya beralih ke arah Evans, dan baru teringat bahwa ia belum mengucapkan, “Selamat untuk kalian berdua.” Sonia tampak memberengut, tak bisa menahan ekspresi ketidak sukaannya akan ucapan tersebut. Yang membuat Liam mengerutkan kening, dan kembali beralih ke arah Evans. Yang sedang saling bertatapan dengan Lana. Hanya dalam sekali tangkapan, ia sangat mengerti pandangan macam apa yang tersirat di kedua mata pria itu pada Lana. Menciptakan gemuruh yang mulai menggelegak di dadanya. Sialan … “Lana, bolehkah aku meminjam suamimu sebentar?” Dan Lana belum sempat menjawab, ketika pandangannya naik ke wajah Liam lalu Sonia menarik lengan pria itu menjauh dari pinggangnya. “Hanya sepuluh menit.” Sonia menarik Liam mundur dan menghilang di antara pasangan yang mengelilingi mereka. “Tampaknya mereka terlihat lebih akrab, ya?” Suara Evans membuat Lana menoleh dan baru teringat ada Evans di sampingnya. Lana mengangguk dengan seulas senyum tipis. Bahkan ketika ia dan Liam masih berkencan, Sonia memang sudah lengket dengan Liam. “Ya.” Evans mengangkat tangannya ke arah Lana. “Ingin minum?” Lana menatap telapak tangan Evans dan langsung memenuhi jemari Evans dengan jemarinya. “Ya, ide bagus. Sebenarnya kakiku sangat pegal.” “Kita ke sana.” Lana membawa Evans ke arah pintu ganda yang mengarah ke halaman belakang. Satu-satunya tempat yang jauh dari hiruk pikuk pesta. Dan ia memang butuh menghirup udara segara setelah Liam merenggut napasnya berkali-kali dan memberinya rasa sesak di sepanjang dansa mereka. Lana duduk di salah satu kursi di pinggiran kolam renang. Membungkuk dan melepaskan sepatu hak tingginya. Sedangkan Evans duduk di kursi sampingnya, memanggil salah satu pelayan yang kebetulan baru saja melayani pasangan tamu undangan di meja seberang kolam. “Kau ingin minum apa?” tanya Evans. “Apa pun.” Evans hanya melihat dua gelas sampanye yang tersisa di nampan pelayan tersebut. “Sampanye?” Lana mengangguk. Evans pun mengambil kedua gelas tersebut. Kemudian mengatakan untuk membawakan mereka sesuatu untuk dimakan. “Kau tidak melihat acara inti kami?” Lana mengambil gelas yang disodorkan oleh Evans dan menyeruputnya. Membiarkan rasa panas menggelitik lidah dan tenggorokannya. “Aku ada sedikit urusan.” Kening Evans mengerut, dan tiba-tiba saja pandangannya turun ke arah leher Lana. Menemukan tanda merah yang membekas di kulit putih wanita itu. Kerutannya semakin dalam ketika tatapannya semakin menajam dan mengenali tanda apa tersebut. Lana menurunkan gelas dari bibirnya. Menyadari arah pandangan Evans. Seketika wajahnya memerah, meletakkan gelasnya di meja dan menutupi lehernya dengan telapak tangannya. Tentu saja ia tahu apa yang ada di sana. Liam sengaja meninggalkan bekas tersebut, hanya untuk memastikan tidak ada pria mana pun yang cukup berani melirik ke arahnya. Bahkan pria itu tak mengatakan bahwa ia tak suka berbagi tubuh Lana dengan pria lain. Keposesifan pria itu tak berkurang sedikit pun, di balik keberengsekan yang semakin membuat Lana tak mengenali Liam yang dulu pernah begitu mencintainya. “Aku benar-benar tak bisa memahami hubungan macam apa yang tengah kalian jalani saat ini,” komentar Evans. Lana melengkungkan senyum yang tak mencapai matanya. “Kau tak perlu memahami, kan?” “Tidak adakah cara untuk memperbaikinya?” “Aku sedang melakukannya.” “Dan ini menyiksamu.” Sekali lagi Lana tersenyum. “Aku baik-baik saja, Evans. Dan jangan menatapku seperti itu, Evans. Membuatku terlihat begitu menyedihkan,” deliknya dengan nada peringatan yang setengah bercanda. Evans terkekeh, mendesah pelan dan meneguk sampanye miliknya. “Jadi, bagaimana pertunangan kalian?” “Hmm, Sonia bersikap lebih jinak. Meski aku tahu dia masih tak menyukai kehadiranku di hidupnya, dia tetap berusaha tidak menampilkannya secara terang-terangan di depanku.” Lana tertawa ringan. “Dia hanya butuh waktu untuk menerima semua ini.” Evans mengangguk. “Aku tahu. Aku harus bersikap lebih dewasa, kan?” “Ya. Kuharap dia tidak akan menyusahkanmu ke depannya.” “Aku hanya perlu menganggapnya sebagai adik, kan?” Obrolan pun berlanjut. Masih tentang Sonia, kemudian beralih tentang mama Evans yang mengeluhkan tentang pilihan kartu undangan. Menjadi obrolan ringan lainnya dan begitu saja keduanya saling tertawa. *** “Apa kau tahu kalau Evans sebenarnya dijodohkan bukan denganku?” Bibir Sonia melengkun dengan muram ketika berhenti di samping tangga dan berhasil mengambil segelas wine dari pelayan yang melintasi Salah satu alis Liam terangkat. “Dengan Lana?” Sonia langsung mengangguk. Meneguk satu gelas wine hanya dalam satu tegukan lalu tersedak. Liam mengelus punggung sang adik ipar. “Sepertinya kau benar-benar frustrasi dengan pertunangan ini, ya?” “Kami hanya saling mengenal selama dua bulan dan kedua orang tua kami benar-benar tak menyerah untuk menikahkan kami. Aku tidak mencintainya, Liam. Bukan hubungan semacam ini yang kuinginkan.” “Lalu?” “Aku ingin jatuh cinta. Hidup bahagia dengan pria yang kucintai. Seperti kau dan Lana. Dan semua rencana itu hancur karena Dennis.” “Dennis?” “Ya, karena mamaku tak ingin aku salah pilih pasangan seperti Lana.” “Apakah kau mengatakan jika hari itu aku tidak datang ke pernikahan Lana, maka Evans lah yang akan dijadikan suami Lana?” “Hm, aku tak bisa mengatakan tidak. Tetapi rencana perjodohan itu memang sudah dibicarakan sejak kau putus dengan Lana.” Dan tiba-tiba Liam teringat sesuatu. “Apa kau tahu sejak kapan Lana dan Dennis menjalih hubungan?” Sonia tampak berusaha mengingat dengan kerutan di kening. “Sepertinya beberapa bulan setelah kalian putus. Aku tak ingat berapa persisnya, tetapi hari itu tiba-tiba kedua orang tuaku membicarakan tentang perjodohan Lana dengan anak dari teman dekat mama. Sebelumnya aku tak tahu kalau itu ternyata adalah Evans. Tapi Lana tiba-tiba menolaknya dan seminggu kemudian dia memperkenalkan Dennis.” “Sejak awal mereka tidak menyukai Dennis. Aku bahkan terkejut dengan mama dan papa yang tiba-tiba menyetujui hubungan mereka. Lalu pernikahan itu tiba-tiba saja ditentukan.” Liam hanya manggut-manggut. Mendengarkan dengan saksama. “Lalu bagaimana denganmu? Selama kalian putus, apa saja yang kau lakukan?” Liam mendesah singkat. “Tidak ada yang special. Aku hanya menyibukkan diri dengan pekerjaan untuk melupakan Lana.” Sonia medecakkan lidahnya. “Dan tak pernah berhasil,” yakinnya diikuti tawa yang renyah. Liam tak menyangkalnya. “Dan kau bahkan semakin mencintainya,” tambah Sonia. Kali ini Liam hanya membalas dengan seulas senyum tipis. “Apakah terlihat sejelas itu?” Liam memasang ekspresi muram yang dibuat-buat. Sonia malah terbahak. Menghentikan pelayan lagi dan menukar gelasnya dengan yang baru. Langsung meneguknya tapi kali ini hanya setengah. “Aku iri pada kalian berdua.” Liam pun ikut terkekeh. “Aku ingin memberitahumu satu hal.” Sonia mendekatkan wajahnya ke arah Liam. “Hal baik? Buruk?” “Tidak keduanya.” Sonia menarik pundak Liam lebih dekat karena tingginya yang bahkan tak mencapai pundak pria itu. “Tapi ini sangat menarik.” Liam mengernyit ragu, tetapi tetap menunduk dan memberikan telinganya mendekati bibir Sonia. Mendengarkan dengan saksama dan kemudian mendadak keterkejutan melapisi permukaan wajahnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN