Part 19

1128 Kata
Liam mengangkat wajahnya. Dengan tanda tanya besar di kedua matanya yang tampak terkejut. “Adik Dennis?” Sonia mengangguk. “Namanya Denada. Evans adalah kakak sepupu Denada. Dia memiliki ayah yang berbeda dengan Dennis, ayah Denada adalah adik ibunya Evans. Ya, semacam itu. Tapi sepertinya hubungan keluarga mereka tidak baik.” “Apa Lana tahu tentang hal ini?” Sonia bekerut kening lalu menggeleng. “Lalu bagaimana kau tahu?” “Beberapa hari yang lalu ketika aku keluar bersama Evans, kami tanpa sengaja bertemu dengan ibu dan adiknya Dennis. Tidakkah menurutmu ada yang janggal dengan semua ini? Lana bilang Dennis menghilang dan mereka bahkan terlihat begitu tenang. Bukankah itu sudah cukup dijadikan isyarat bahwa Dennis tidak serius dengan Lana. Pria itu benar-benar pengecut. Dan bukan itu saja.” Sonia mengambil napas sejenak sebelum melanjutkan. “Aku juga tanpa sengaja mendengar pembicaraan kedua orang tuaku tentang Dennis, yang tiba-tiba menghilang karena permasalahan dengan sekretarisnya. Mereka mengatakan tentang bertanggung jawab. Bukankah ini menarik? Apakah menurutmu itu selama ini Dennis berselingkuh di belakang Lana?” Kernyitan di kening Liam semakin dalam, tetapi ia tak berkomentar sepatah kata pun. Hanya mendengarkan dengan saksama dan cukup tahu. Sonia menghela napas. “Aku sudah menduga ada yang tidak beres dengan pria itu. Tapi Lana selalu mengacuhkanku dan dibutakan.” Lagi-lagi Liam tak berkata apa-apa. Tentu saja ia tahu bagaimana Lana yang berusaha keras mencari-cari pria itu seperti orang t***l. Sonia menatap Liam. “Kenapa kau menatapku seperti itu? Apakah kau tidak tertarik tentang ini?” “Hmm, sedikit.” Liam mengedikkan bahunya singkat. Menampilkan ketenangan yang luar biasa apik. “Hanya saja, sekarang hubungan kami lebih dari sekedar baik.” ‘Amat sangat baik. Baginya,’ lanjut Liam dalam hati dengan senyuma yang tersamar. ‘Terutama dalam dua jam terakhir.’ Sonia melengkungkan bibirnya ke bawah, tetapi kemudian segera melengkung ke atas. “Ya, kalian sudah kembali bersama. Jadi tak ada alasan memikirkan titik terendah hubungan kalian.” Liam memasang senyumnya seapik mungkin sambil mengangguk. “Ya, tak ada lagi yang kuinginkan selain Lana berada di sisiku di dunia ini.” Liam bersungguh-sungguh dalam kalimatnya. Sonia mendesah panjang. “Kalian berdua benar-benar membuatku iri,” gerutunya. “Sonia?” Suara Anna Leandra menyela pembicaraan mereka. Kemudian ia menyadari keberadaan menantunya dan memasang senyum secerah mungkin. “Liam?” Liam maju, memberikan sambutan dengan mencium pipi kiri dan kanan sang mertua. “Maafkan Liam sedikit terlambat, Ma.” Anna mengangguk. “Ya, mama tahu kau orang yang sibuk.” Kemudian Anna tampak teringat sesuatu. “Sonia, ayo ikut mama. Ada tante Mira yang ingin bertemu denganmu.” “Siapa dia?” tanya Sonia dengan polosnya. “Mama akan menjelaskannya.” Anna kembali beralih pada Liam. “Liam, mama dan Sonia harus pergi sebentar.” Liam mengangguk. “Papanya Lana ada di depan.” Anna menunjuk ke arah ruang tamu. “Tadi ingin menemuimu. Sapalah.” “Ya, Ma.” Anna dan Sonia pun melangkah pergi sedangkan Liam mencari papa mertuanya sambil sesekali membalas sapaan beberapa orang. Setelah menyapa Joshua Leandra dan keduanya terlibat pembicaraan bisnis dengan klien yang secara kebetulan pun mengenal Liam. Dengan bangga, Joshua memperkenalkan Liam sebagai menantunya. Dan saat itulah pandangan Liam terhenti oleh seorang wanita bergaun merah cerah dengan rambut hitamnya yang dicurly dan warna lipstik yang senada dengan gaunnya. Mengenali wanita itu adalah Marisa Nathalie, seketika ekspresi di wajah Liam berubah datar. Marisa sengaja menampakkan diri, kemudian wanita itu melangkah di antara kerumunan para tamu undangan. Melewatinya begitu saja, dan Liam dibuat tak berkutik dengan keberdaaan papa Lana. Liam pun berpura mendapatkan sebuah panggilan dan merogoh ponselnya ketika berpamit pergi dari Joshua dan kliennya. Liam mengedarkan pandangannya mencari, menemukan Marisa yang baru saja menginjakkan kaki di halaman belakang. Pria itu pun bergegas menyusul. Dengan cepat menemukan Marisa yang menunggunya di samping pohon palem yang ada di sisi kanan halaman belakang dan kolam renang. Marisa menyandarkan tubuhnya di batang pohon yang besar, dengan posisi yang menggoda. Pencahayaan di sekitar halaman yang sengaja diatur begitu remang, menampilkan paha Marisa yang diselipkan keluar di antara belahan gaunnya terlihat semakin menggoda. “Hai, sayang?” sapa Marisa dengan bisikan dan lambaian tangan yang menggoda. Tak lupa Marisa mengerlingkan matanya. “Kejutaaannnn ….” “Apa yang kau lakukan di sini, Marisa,” desis Liam begitu ia berhenti tepat di depan Marisa. Wajah pria itu tampak mengeras dan terlihat marah. “Kenapa? Kau tak suka kejutannya?” Marisa mengulurkan tangan dan menempelkan telapak tangannya di d**a Liam, kemudian bergerak mengelus dengan lembut. “Bagaimana kau bisa ada di sini, Marisa?” Marisa tak menjawab, wanita itu hanya tersenyum. Kemudian bergerak lebih dekat dan menempelkan tubuhnya ke tubuh Liam dan kedua lengannya naik melingkari leher pria itu. “Itu kejutannya,” bisik Marisa di telinga Liam. Suaranya dibuat mendesah dan menggoda. Dan bibirnya sudah nyaris menyentuh leher Liam ketika menyela mereka. “Liam.” Suara pekikan pelan yang memanggil dari balik punggung Marisa membuat kepala Liam bergerak ke samping. Semakin menjauhkan lehernya dari bibir Marisa, yang sekarang menipis tajam dengan gangguan sialan tersebut. Keterkejutan tampak melintasi wajah Liam menemukan Lana yang berdiri membeku tak jauh darinya dan Marisa. Keterkejutan yang lebih besar melapisi ekspresi wanita itu. Bercampur kemarahan yang begitu besar di kedua mata wanita itu. Tatapan mereka bertemu hanya untuk dua detik, kemudian Lana memutar tubuhnya ke samping dan berjalan di pinggiran kolam sebelum masuk ke dalam rumah. Liam mendorong tubuh Marisa menjauh, tetapi wanita itu kembali melilitkan kedua lengannya di lengan Liam seperti lem. Menahan pria itu bergerak lebih jauh lagi. “Biarkan dia, Liam.” Wajah Liam seketika mengeras dan tatapannya menajam tepat ke kedua manik Marisa. “Apa kau tak tahu di mana ini, Marisa?” sergahnya. Ketajaman dalam suara Liam sejenak membuat wajah Marisa memucat, tetapi kemudian wanita itu tampak berpura tak mendengar. “Akhir-akhir ini kau sering mengabaikanku, Liam. Kita tak pernah punya waktu bersama dan …” “Aku sudah mengatakan padamu bahwa aku sibuk.” Marisa memberengut tak setuju lalu mencibir, “Bukan sibuk dengan mainan barumu yang sementara itu, kan?” Liam menggeram rendah dengan sindiran tersebut, berbanding terbalik dengan kemarahan yang menyelimuti kedua matanya. “Kenapa?” Marisa mulai kesal dan tak bisa menahan kecemburuannya. “Apa aku mengatakan hal yang salah? Bukankah kau bilang …” “Diamlah, Marisa,” desis Liam, dan kali ini Marisa dibuat memucat pasi. “Kita akan membicarakan ini besok. Sekarang pulanglah. Aku memiliki urusanku sendiri.” Liam tak butuh menunggu Marisa menjawab, pria itu berjalan melewati wanita itu begitu saja dan mengikuti langkah Lana. Kedua tangan Marisa mengepal kuat di sisi tubuhnya, dengan kecemburuan yang membakar kedua matanya. Tatapannya melekat pada punggung Liam yang bergerak menjauh. “Semua gara-gara wanita sialan Lana itu,” desisnya dengan bibir yang menipis tajam. Sekaranglah waktunya untuk membuat perhitungan untuk menyingkirkan Lana dari hidup Liamnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN