Part 17

2118 Kata
“Kau baik-baik saja?” Lamunan Lana kembali dipecahkan oleh suara Evans yang duduk di samping Lana. Menunggu Sonia yang masih berada di ruang ganti. Saat Lana dan Sonia sampai di butik, Evans ternyata sudah menunggu di sana. Dan rupanya itu adalah rencana mama Evans yang meminta sang putra datang dengan membawakan sebuket bunga untuk Sonia. Yang kini tergeletak begitu saja di meja kaca di depan Lana dan Evans. Lana menoleh ke samping, tatapannya bertemu dengan Evans yang seolah menyelami kedalaman emosinya yang terlalu terbuka untuk pria itu. Ya, dua bulan mengenal Evans, hubungan mereka memang menjadi semakin dekat. Dan menjadi lebih dekat lagi karena Evans yang dijodohkan dengan Sonia. Perjodohan yang menjebak Evans dan Sonia, dan membuatnya menjadi penengah di antara adiknya dan pria itu. Dan kedekatan tersebut ternyata membawa keduanya menjadi teman dekat. Lana kemudian menggeleng pelan dengan seulas senyum yang terbersit di ujung bibirnya. Evans mengernyit, memutar tubuhnya menghadap Lana sehingga pandangannya menatap lurus ke arah wanita itu. Kepalanya bergerak menggeleng mengikuti Lana. “Tidak baik-baik saja? Atau …” “Aku tak tahu, Evans.” Seulas senyum yang hambar muncul di bibir Evans. “Tidakkah kau merasa kita berada di tempat yang sama. Terjebak. Tak punya arah dan tujuan, dan tak ke mana-mana. Semua terasa berhenti meski waktu terus berjalan di sekeliling kita.” Sejenak Lana mencerna kemudian mengangguk singkat. Apa yang ia rasakan sama persis dengan yang dikatakan oleh Evans. “Kalau begitu setidaknya kau harus merasa baik-baik saja, Lana.” Evans mengulurkan tangan ke kedua tangan Lana yang saling menggenggam di pangkuan wanita itu. Evans mengelus punggung tangan Lana bersamaan senyum ketulusan di bibirnya untuk menguatkan Lana. “Apa yang benar-benar kau inginkan dari situasimu saat ini?” ‘Bercerai dari Liam,’ jawab Lana dalam hati. Tetapi semua itu akan ia dapatkan dalam satu bulan lagi “Bagaimana denganmu?” Lana balik bertanya. “Aku?” Evans menghela napasnya. Tampak memgerutkan kening sejenak untuk berpikir, kemudian hanya mampu mengedikkan bahunya. “Kurasa aku hanya perlu menjalaninya saja. Mencari tahu apa yang akan kudapatkan ke depannya. Jatuh cinta lagi? Aku tak tahu.” “Lalu apa yang akan terjadi dengan pernikahan kalian jika pada akhirnya kau menemukan seseorang yang membuatmu jatuh cinta?” Evans tampak menarik napas dalam-dalam, kemudian menggeleng. “Kupikir aku dan Sonia akan membuat kesepakatan yang saling menguntungkan dalam pernikahan ini. Kau tahu, Sonia masih sangat mudah dan ia pasti menemukan seseorang di luar sana. Sonia pasti akan jatuh cinta dengan seseorang. Kupikir ini akan adil untuk kami berdua.” Kali ini Lana yang bernapas lebih berat. Pernikahannya dan Sonia yang tak kalah rumitnya. “Apa ini?!” Suara bentakan Sonia terdengar dari arah ruang ganti. “Aku tidak mau mencobanya. Aku ke sini untuk mencoba gaun pertunanganku, bukan gaun sialan itu!” Suara Sonia yang semakin keras dan mulai diselimuti amarah tentu saha membuat Evans melepaskan tangannya dari Lana dan keduanya menoleh kea rah ruang ganti. Sonia yang sudah mengenakan gaun berwarna pink salmon, dengan ekor gaun sekitar satu meter, melangkah keluar dari gorden yang disentakkan penuh amarah. Wanita itu bahkan meninggalkan sepatu hak tingginya dan melangkah mendekati Lana dan Evans yang saling pandang penuh tanya sebelum bersama-sama kembali kepada Sonia. “Ada apa, Sonia?” “Kita pulang, Lana. Sekarang.” Sonia menyambar tasnya di meja tetapi kemudian langkahnya ditahan oleh Evans. “Ada apa?” Sonia menurunkan pandangannya dengan sinis ke arah tangan Evans kemudian menyentakkannya. “Lepaskan!” Evans pun menarik tangannya. Kemudian pandangannya dan Lana beralih ke arah ruang ganti. Salah satu pelayan butik menggeser gorden, menampakkan kedua pelayan lainnya yang membawa gaun putih besar yang dipenuhi gemerlap kristal yang bertaburan. Dan tentu saja itu bukan gaun untuk acara pertunangan. “Gaun apa itu?” Lana bertanya lebih dulu pada salah satu pelayan yang kini sudah berhenti di depannya dan Sonia. “Ini gaun pernikahan untuk nona Sonia. Nyonya Leandra dan nyonya Jonas yang memilihkan gaun ini sebagai kejutan untuk kalian berdua.” Evans dan Sonia saling pandang. Sonia tampak merah padam oleh amarah dan Evans terlihat lebih tenang menghadapi kejutan ini. “Apa maksud kalian? Bukankah adikku ke sini untuk fitting gaun pertunangan yang akan dipakai besok?” Pelayan tersebut tampak kebingungan. Dan Lana mengerti bahwa ini perbuatan mamanya. Ia pun mendekati Sonia dan merangkul pundak sang adik. “Tenanglah, Sonia.” “Bagaimana aku bisa tenang. Satu bulan lagi aku akan menikah dengannya dan aku tidak mencintainya, Lana. Dia juga tidak mencintaiku. Apa yang akan kami lakukan dalam pernikahan ini? Apa gunanya pertunangan ini jika pada akhirnya aku tetap akan menikah dengannya.” Lana saking bertukar tatapan dengan Evans. “Aku bersumpah tak tahu menahu tentang hal ini. Aku bahkan tak tahu tujuan kedatanganku di tempat ini sampai aku bertemu kalian di sini,” jelas Evans. “Duduklah dulu. Kita bicarakan permasalahan ini baik-baik. Mungkin kau dan Evans bisa memiliki sedikit jalan keluar untuk permasalahan ini.” “Aku tidak mau!” Sonia setengah membentak, nyaris menangis. Kemudian wanita itu menjatuhkan wajahnya di pundak sang kakak dan menangis. “Aku tidak mau menikah, Lana. Aku bahkan tidak ingin melakukan pertunangan ini. Apa kau tidak bisa membujuk mama dan papa untuk membatalkan semua ini?” “Kau tahu aku sudah berusaha, Sonia. Mereka menjadi lebih keras kepala, terutama setelah …” Lana berhenti sejenak. Menelan ludahnya dan melanjutkan. “Setelah pernikahanku dan Dennis yang gagal.” Sonia mengangkat wajahnya, dengan kedua mata yang sudah digenangi air mata. “Setidaknya kau dan Liam sudah saling mengenal. Liam juga masih mencintaimu. Tapi aku, aku dan dia tidak saling mengenal, Lana. Kami benar-benar orang asing.” “Kalau begitu kau hanya perlu mencoba dekat dengannya.” Sonia menggeleng-gelengkan kepalanya. Bersikeras menolak saran tersebut. Sekali lagi Lana menghela napas, menatap Evans dan kembali kepada Sonia lagi. Membawa sang adik duduk di kursi lebih dulu dan membiarkan meluapkan tangisan di pundaknya. Setelah beberapa menit, akhirnya tangisan Sonia mereda dan emosi wanita itu sudah lebih tenang. “Sepertinya kita memang tak memiliki jalan lain selain terikat dalam pernikahan ini, Sonia.” Evans memulai, dengan suara yang lebih lunak. Tangan Lana tak berhenti mengusap punggung tangan Sonia, agar wanita itu tak kembali kalut dengan situasi yang memojokkannya dan Sonia. “Aku sendiri tak bisa menolak keinginan kedua orang tuaku.”  “Semua ini salah …” “Tidak ada salah benar dalam situasi ini, Sonia.” Lana menyela kalimat Sonia. “Kau dan Evans sama-sama tak berkutik di bawah tekanan kedua orang tua kita. Mau tak mau kalian harus menerima keadaan ini. Seperti yang kau katakan padaku dua bulan lalu.” Mulut Sonia sudah membuka, tetapi kemudian menutup kembali. Mengerang pelan lalu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. “Kita hanya perlu menikah seperti yang mereka inginkan.” Evans kembali bicara. “Setelah menikah, kita sendiri yang akan mengurus ke mana pernikahan ini akan berjalan. Aku berjanji tak akan mengganggu urusanmu. Kau bisa melakukan apa pun sesukamu dan apa pun yang kau inginkan. Seperti yang biasa kau lakukan sebelum kita menikah. Tak akan ada bedanya dengan kehidupanmu sebelum perjodohan ini.” Telapak tangan Sonia perlahan turun, keputus asaan perlahan luntur dari wajah wanita itu. Digantikan harapan yang perlahan muncul di kedua mata Sonia. “Kau berjanji?” Evans mengangguk dengan yakin. “Kita hanya perlu menjadi suami istri di hadapan kedua orang tua kita. Selebihnya, kehidupan kita tetap sama. Kau menjalani hidupmu, begitu pun denganku. Aku tak akan ikut campur.” “Sampai kapan?” Kening Evans berkerut, tampak berpikir sejenak kemudian menggeleng. “Sampai kau menemukan seseorang yang tepat untukmu? Atau … entah. Kita akan membahasnya nanti. Sepertinya ini akan berlangsung lebih lama. Dan sekarang, kita hanya perlu memikirkan pertunangan ini besok.” Sonia tampak terdiam, kemudian menatap sang kakak yang tampak menimbang-nimbang meski masih dipenuhi ketidak yakinan. “Bagaimana pandapatmu, Lana?” Lana yang duduk di antara Evans dan Sonia tampak mengerjap. Kemudian menoleh ke samping dan kanan bergantian. “Keputusan ada di tangan kalian sendiri. Aku tak akan ikut campur.” “Baiklah,” sahut Sonia tepat setelah Lana menutup kalimatnya. “Kalau begitu kau hanya cukup pura-pura tak tahu isi pernikahan kami yang sebenarnya saja, kan? Dan sebaiknya kau bisa menjaga rahasia ini, Lana. Perhatikan wajahmu di hadapan mama dan papa.” “Memangnya kenapa denganku?” “Wajahmu seperti buku yang terbuka. Semua jawaban ada di sana.” Lana mendelik, dengan wajah merah padam kemudian ia menggeleng dengan payah. “Aku tidak.” Sonia mendengus. Kemudian berdiri sembari menggerutu. “Kalau begitu aku akan mencoba gaunnya. Untuk memastikan berapa kilo aku harus menambah berat badanku.” Lana seketika membelalak. “Sonia?” peringatnya. “Biarkan saja, Lana. Sesekali mama perlu dibuat pusing,” ucap Sonia sebelum menghilang kembali di balik gorden ruang pas. Lana menghela napas pelan, kemudian menoleh ke arah Evans yang tampak menahan senyum. “Biarkan dia sedikit bersenang-senang, Lana. Dia membutuhkannya.” *** Besok malamnya, Lana baru saja selesai merapikan rambutnya dan memastikan polesan lipstiknya merata di bibirnya ketika Liam muncul. Pria itu tampak terkejut menemukan Lana dengan gaun pesta. “Kau ingin keluar?” tanya Liam mengamati penampilan Lana dari ujung kepala hingga ujung kaki dengan kedua mata yang memicing tajam. Gerakan tangan Lana yang baru saja menutup lipstiknya terhenti, menatap pantulan tubuh Liam yang berjalan mendekat di belakangnya. Ah, dia lupa memberitahu tentang pesta pertunangan Sonia pada Liam. Ia pikir Liam terlalu sibuk mengingat hampir setiap malam pria itu selalu pulang larut. Dan juga sibuk berkencan dengan wanita-wanita pria itu. “Aku tak ingat ada undangan pesta untuk malam ini.” Liam berhenti tepat di belakang Lana, tatapannya menajam menyadari kebekuan di wajah sang istri. Tubuh Lana perlahan bergerak memutar, menelan ludahnya ketika wajahnya sedikit mendongak dan bertatapan dengan kedua mata Liam secara langsung. “Maaf. Aku lupa memberitahumu.” Mata Liam menyipit. “Ada apa?” “M-malam ini … sebenarnya adalah pertunangan Sonia.” Keterkejutan segera melintasi kedua mata Liam. Pria itu benar-benar kehilangan kata-kata untuk pemberitahuan tersebut. Kemudian keterkejutan tersebut lenyap seketika, digantikan oleh seringai di salah satu ujung bibir Liam. “Kau lupa atau kau sengaja melupakan diriku sebagai bagian keluargamu, Lana?” Kedua mata Lana mengerjap-ngerjap dengan gugup. Suara Liam terdengar begitu halus, tetapi tentu saja menyimpan kemarahan yang teramat besar di baliknya. Ya, ia tak sungguh-sungguh melupakannya. Hanya saja, dengan perceraian mereka yang hanya menunggu waktu tak lebih dari satu bulan, untuk apa Liam mengetahui tentang pertunangan adiknya. Lagipula, di pesta pernikahan Sonia bulan depan. Ia sudah tak menjadi istri seorang Liam Isaac lagi dan tak ada alasan bagi Liam untuk datang di pesta pernikahan Sonia dan Evans. Ditambah, Lana tahu betul pernikahan macam apa yang akan dijalani oleh Sonia dan Evans ke depannya. Rasanya kehadiran Liam pun tak sungguh-sungguh diharapkan, kan? “Jika kau lupa, aku masih suamimu, Lana.” Tangan Liam menyentuh dagu Lana, sedikit mengangkatnya hingga pandangannya dan Lana bertemu dalam garis miring yang lurus dan tajam. “Apa kau perlu diingatkan kembali posisiku di hidupmu saat ini?” Lana menelan ludahnya. Degup jantungnya mendadak berjumpalitan ketika dalam sentakan yang kuat, pinggangnya disambar tangan Liam dan ditarik hingga menempel di tubuh bagian depan pria itu. Kini kemarahan terlihat jelas menyelimuti kedua mata pria itu, menenggelamkan Lana dalam kepasrahannya. Liam tidak mengajukan pertanyaan, melainkan pernyataan. Dan satu-satunya cara Liam untuk mengingatkan posisi pria itu di hidup Lana adalah dengan menelanjanginya. Di antara ketegangan tersebut, ponsel Lana yang tergeletak di meja rias mendadak berdering. Liam melirik dan melihat nama Sonia di layarnya. Pria itu melepaskan sentuhannya di dagu Lana dan mengambil ponsel tersebut. “Sonia?” “…” “Maaf aku harus mengatakan ini, tetapi sepertinya kami akan terlambat datang di acaramu. Kami ada urusan yang mendadak dan mungkin akan melewatkan acara utamanya. Apakah tidak apa-apa?” “…” “Ya, kami baik-baik saja. Hanya sedikit urusan.” Tatapan Liam bertemu dengan Lana yang tampak memucat. “…” “Tentu saja kami akan datang untuk memberimu ucapan selamat.” “…” “Satu jam. Aku berharap tak lebih dari itu.” “…” “Oke. Bye.” Liam menurunkan ponselnya dari telinga dan meletakkannya kembali ke meja rias. Saat tangan pria itu kembali naik, kali ini berhenti di bagian tengkuk Lana. Menemukan mata resleting gaun Lana dan menariknya turun dalam gerakan yang sangat perlahan. Bersamaan seringai di bibir Liam yang semakin naik. Perut Lana melilit, merasakan kulit telanjang punggungnya yang bersentuhan dengan ujung jemari Liam yang bergerak turun. Sentuhan tersebut menciptakan gelenyar asing yang melelehkan kedua kakinya. Ditambah dengan tatapan Liam yang tak lepas memaku kedua matanya, Lana benar-benar dibuat tak punya pilihan selain jatuh tak berdaya di bawah pusara gairah yang mulai menyelimuti pria itu. Dan tak lebih dari beberapa detik kemudian, kedua tubuh mereka bergumul di tengah tempat tidur dengan tanpa sehelai benang pun yang memisahkan keduanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN