Memilih Pergi

1321 Kata
Plak! Pipi berkulit putih dan mulus milik Laura seketika memerah. Telinganya berdengung mata coklat pekat itu tiba-tiba memanas mengeluarkan cairan bening. Pulang ke rumah dan berharap memberi tahu semua perbuatan Alex pada Viona tapi sebuah tamparan yang dia dapat. Gadis berambut cokelat itu hanya tertunduk di bawah kaki Viona dan juga Alex. Laura pikir setelah menceritakan kebenaran kalau Alex berencana menodainya setelah itu akan menjualnya pada lelaki hidung belang. Viona akan membelanya dan memberi pelajaran pada lelaki kurang ajar itu. Melainkan kini berbeda, Viona lebih percaya apa yang semua dikatakan oleh Alex. "Aku tahu rencana Alex membawamu ke Bar untuk tujuan apa, Laura." Laura mendongak. Iya tidak mendengarkan begitu jelas, dia ingin mendengar sekali lagi. "Apa kau bilang tadi?" Apa Viona tahu rencana Alex untuk melecehkannya? "Iya, aku tahu rencana Alex untuk menjualmu pada teman-temannya yang kaya." Laura benar-benar tercengang, mana ada kakak mengetahui seseorang berniat jahat pada adiknya sendiri justru semakin mendukung. Bibir Laura bungkam seolah tidak bisa percaya perkataan yang baru saja dia dengar. "Alex mengatakan akan menjualmu, tapi aku tahu dia tidak akan pernah menyentuhmu." "Kenapa?" Kenapa kakaknya sungguh tega padanya? "The price of a virgin is very expensive, do you know? (harga perawan sangat mahal, apa kau tau?)" Laura tidak percaya ini. Bagaimana bisa? Gadis berambut coklat itu menutup mulutnya sendiri dengan tangan sangking begitu terkejutnya. Kemudian ia menaikkan pandangannya lagi. Menatap Alex penuh kebencian hingga bola matanya hampir-hampir keluar. Tangannya mengepal erat ketika Alex menyeringai seolah mencemooh dirinya yang sungguh ironis. Laura bangkit dia tidak tahan lagi melihat wajah Alex sangat membuat harga dirinya sebagai wanita merasa diinjak-injak. Ia raih kedua kerah kaos yang dikenakan Alex kemudian membabi buta. "Kau dasar, b******k! Aku tidak akan memaafkanmu, sampai kapan pun!" "Laura lepaskan dia!" Viona menarik tangan Viona hingga tersentak kebelakang namun tidak terjatuh. "Seharusnya kau bersyukur dan berterima kasih, karena Alex sudah membantumu mencari pekerjaan. Bukan malah seperti ini," imbuhnya lagi. "Berterima kasih katamu, Viona? Apa aku harus berterima kasih atas tindakan dia yang ingin memperkosaku?" Laura benar-benar ingin gila berhadapan dengan Viona. Entah dengan cara apa Alex mencuci otaknya sehingga membuat selalu mempercayai semua kata-katanya. "Aku sudah bilang, Laura. Alex tidak akan berbuat seperti itu, dia hanya ingin menjualmu, dan itu demi keluarga kita. Kamu pikir biaya bulanan, obat Ibu dan kebutuhan lainnya dari mana kita dapat. Kau sudah dipecat, kalau bukan menjual diri apa lagi yang harus kita lakukan?" "Aku tidak menyangka mempunyai seorang kakak gila sepertimu?" "Aku bukan kakakmu, harusnya kau tahu itu." Laura yang sebelumnya memandang malas kini menatap tajam Viona. "Apa kau bilang?" "Aku bukan kakakmu!" Oh good. Laura tersenyum getir seolah menertawakan dirinya sendiri yang seolah terjebak dalam labirin kehidupan. Berputar-putar tanpa arah. "Dan sekarang aku meminta imbalan karena kau sudah tinggal di rumahku, apa aku salah? Di dunia ini tidak ada yang gratis, Dear." Viona berjalan ke arah Laura disertai sorot mata mengintimidasi. Kedua tangannya dilipat mata coklat dengan bentuk wajah oval rambut pendek sepundak menelisik tubuh Laura dari atas sampai bawah. "Sekarang pilihan ada di tanganmu, Laura." Ia jambak rambut Laura hingga sang empu mendongak langsung bertatap wajah dengannya. "Kau harus menuruti kami, atau membiarkan Ibumu itu kelaparan dan mati akibat tidak bisa membeli obat?" Mata Laura memicing. Kemudian ia pegang tangan Viona yang masih menarik rambutnya. Ia putar hingga terlepas dan membuat kakaknya meringis. "Kau jangan berlaku kasar pada istriku!" Alex mendorong Laura hingga terjatuh lagi ke atas lantai. "Kau berani melawanku rupanya?" Viona mendekat sontak membuat Laura berteriak atas aksinya yang menginjak betis Laura dengan keras. "Apa kau masih melawanku, hah?" Laura meringis saat merasakan nyeri pada tulang kakinya. Ia ingin melawan, menggeser tubuhnya sebelum kemudian Alex duduk di belakangnya memegangi kedua tangannya di belakang. "Lepaskan aku!" Viona semakin menjadi, menendang kaki dan bagian paha Laura tanpa ampun. "Lepaskan aku, sakit!" Laura menangis pasrah karena Alex di belakangnya memegang erat. "Aku tidak akan melepaskanmu sebelum kau menuruti perintahku, Laura!" "Viona berhenti!" teriak Ibu Laura yang baru datang dari arah luar. Sontak membuat Viona berhenti dan Alex melepaskan tangannya. Laura beranjak dari posisinya dengan berjalan pincang menghambur memeluk Ibunya. Seolah mencari perlindungan. Perempuan berdarah Indonesia berambut hitam bercampur putih karena uban itu memeluk Laura sambil memicing arah Viona dan Alex berada. "Apa yang kalian lakukan pada Laura?" tanyanya. Tidak ada yang menjawab. Wajah Viona dan Alex bahkan seolah seperti menganggap tidak ada orang di sana. Laura menangis meraung dan menceritakan semua pada Ibunya. Semua tentang kejadian di Clab berikut juga tentang Viona mengaku kalau bukan kakaknya. Ibu Laura menggeleng tidak habis pikir. "Aku tidak percaya kau tega melakukan ini, Viona," ucapnya. Kebenaran Viona bukan anak kandungnya belum pernah dia ungkap pada siapa pun selain Viona sendiri. Itu pun karena Viona tidak sengaja menemukan foto-foto lama tentang Ibunya. "Ibu seharusnya mendukungku, kalau tidak dengan cara seperti itu bagaimana kita bisa mendapatkan uang?" "Bukan kita, tapi kau!" Butuh waktu jeda untuk Ibu mulai bicara lagi. "Aku tahu, kau dan suamimu memiliki hutang yang begitu banyak." Wajah Viona memegang. Mata suami istri itu saling bertatapan. "Aku tahu Alex kalah dalam perjudian. Dan dia harus membayar uang yang cukup besar pada lelaki yang selama ini dia anggap sebagai boss itukan?" "Ba--" "Aku tahu! Aku mendengar semua!" Mimik wajah Viona berubah dari sebelumnya terlihat tegang kini menjadi santai, bahkan perempuan itu tersenyum tersungging. "Baguslah kalau kau sudah tahu, jadi ... aku tidak perlu repot-repot lagi memberi tahu." Dengan langkah santai Viona mendekat ke arah Laura dan Ibunya. "Turuti permintaanku atau kalian pergi dari rumah ini?" tanyanya dengan santai. "Viona, apa kau sadar dengan apa yang kau katakan?" tanya Laura. Mungkin kalau dia diusir dari rumah ini tidak akan masalah. Tapi Ibu? "Aku tidak butuh kata-katamu, Laura. Aku hanya butuh jawaban." Viona tahu betul kelemahan Laura saat ini adalah tempat tinggal karena dia tahu adiknya itu tidak memiliki uang. Dengan begitu pasti Laura akan menuruti perintahnya. "Kami akan pergi dari sini." Ralat perasaan Viona. Semula sudah menjadi senang kini berubah ketika mendengar jawaban Ibu. "Oh good, baiklah kalau kalian ingin seperti itu. Tapi kalau ada apa-apa jangan pernah sekalipun menghubungiku!" Alex yang melihat pertengkaran mereka berdua hanya diam. Ia menyeringai ketika anak dan Ibu itu memutuskan keluar dari rumahnya. Setidaknya ia bisa lebih leluasa mengganggu Laura jika di luar rumah. Ibu dan Laura mengemasi barang-barangnya, bukan, bukan barang yang sesungguhnya. Tapi hanya pakaian dimasukkan ke dalam tas berukuran sedang berwarna coklat. Sebelum mereka keluar dari rumah Viona dan juga Alex menggeledah tas yang dibawa. Takut jika membawa barang-barang berharga dari rumahnya. Setelah memastikan semua aman Viona meninggalkan tas Laura dan Ibunya berantakan begitu saja masuk ke dalam kamar. Laura memasukkan lagi pakaian yang berserakan ke dalam tas satu persatu. Tangannya mengepal saat melihat Alex duduk dengan santai di sofa sambil menikmati asap nikotin memandang Laura penuh gairah. "Andai saja, kau mau menuruti permintaanku semalam kau pasti bahagia hari ini." Laura berdiri, kemudian menatap tajam. Ia tatap baik-baik penuh dendam akan mengingat wajah itu sampai kapan pun sebagai lelaki b******k dan kurang ajar. Tanpa ingin membalas kata-kata Alex, Laura menunduk menutup tas kemudian menghampiri Ibunya. "ayo Bu, kita pergi dari sini." Padahal ia tak tahu harus pergi ke mana setelah ini. Tidak ada satu tempat pun yang menjadi tujuannya. "Berhenti!" Alex berjalan dari arah belakang Laura yang berjalan di belakang Ibunya. "Aku ada untukmu kalau kau berubah pikiran." Ia berbisik sebelah tangannya memegang gundukan tubuh Laura bagian belakang meremasnya pelan. Laura memekik melayangkan sebuah tamparan. "Lelaki yang berasal dari sampah akan dibuang dari sampah. Kau akan tau akibatnya nanti setelah aku kembali!" Alex menyeringai menganggap perkataan Laura bagai seekor lalat. Nyatanya yang dia tahu saat ini Laura baik pun Ibunya tidak memiliki uang. "Ponselku akan selalu aktif, ingat, kalau kau membutuhkan sesuatu jangan sungkan-sungkan untuk menghubungiku, oke?" Setelah kemudian lelaki itu masuk sambil bersiul dengan langkah santai seperti setelah mendapat kemenangan. "Ayo Bu, kita pergi." Laura beserta Ibunya pergi meninggalkan rumah yang sudah mereka tinggali selama beberapa tahun itu. Laura berjanji pada dirinya sendiri tidak akan pernah masuk ke dalam rumah itu lagi seumur hidupnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN