Dia Laura
“Laura … lari! Jangan hiraukan kami, selamatkan dirimu, nak!”
Seorang gadis berusia 15 tahun berlari sekuat tenaga menghindari kejaran dua orang laki-laki bertubuh besar. Sesekali ia menoleh ke belakang karena kedua orang tuanya dengan. Keadaan tangan terikat dan duduk berlutut di antara bos mafia.
Dengan kaki telanjang ia terus berlari sekuat tenaga menghindari dua orang tersebut, napasnya memburu seolah tidak kuat lagi. Diliriknya sebuah mobil yang ada sebelahnya ia berjongkok di balik mobil tua nampaknya sudah lama di tinggal oleh pemiliknya itu. Tanpa menghilangkan kewaspadaan gadis itu melihat dari balik mobil, ternyata dua orang tersebut sudah ada di dekatnya celingukkan mencari keberadaannya.
Dia membekap mulutnya sendiri karena napasnya terengah takut terdengar oleh mereka. Matanya menyorot tajam ke arah dua orang tersebut yang mulai berjalan ke arahnya. Nyawanya dalam bahaya, karena ia mendengar dua pasang sepatu berjalan ke arahnya. Dipejamkan mata, memohon keselamatan untuk dirinya dan kedua orang tua yang masih dalam tawanan mereka.
Langkah kaki itu semakin mendekat, jantung gadis itu berdetak tidak karuan seperti ingin lepas. Ia tidak siap jika tertangkap oleh mereka, jika kemungkinan tertangkap di bunuh adalah hukuman paling ringan, karena kalau tidak ia akan diperbudak diperjual belikan sebagai seorang jasa pemuas nafsu para laki-laki hidung belang.
Ketukan sepatu itu semakin dekat, gadis itu memperkirakan sambil menutup mata pasti posisi orang itu tepat berada di belakangnya. Gadis itu semakin bergetar hebat karena ketakutan sudah dipastikan ia pasti tertangkap. Ia semakin kuat membekap mulutnya sendiri.
Dua orang bertubuh besar itu berdiri di seberang mobil gadis itu bersembunyi. Mereka mempunyai firasat bahwa gadis yang mereka cari pasti ada di sana. Salah satu dari mereka mendekat ingin memeriksa keberadaannya, siap untuk melihat ke arah balik mobil. Dan tiba-tiba ponsel dalam kantong celana dari salah satu anak buah mafia itu berdering. Segera seorang mengangkatnya yang ternyata dari bos mafia yang memeintahnya. Setelah menutup telepon dua orang terebut berlalu pergi meninggalkan gadis yang masih bergetar itu.
Setelah mengintip dua orang itu sudah berbalik. Akhirnya gadis kecil itu menarik napas lega setelah dua orang dewasa yang yang menyeramkan itu tidak terlihat lagi. Dengan berderai air mata ia masih memikirkan nasib kedua orang tuanya.
Mengumpulkan segenap tenaga yang masih tersisa ia bangkit dari posisinya, mengusap air mata yang dari tadi membanjiri wajahnya.
Dengan keberanian segenap jiwa ia berjalan mengendap-endap memasuki gerbang rumahnya sendiri yang kini dikuasai oleh para komplotan mafia itu.
Kebetulan tidak ada penjagaan di luar, itu mempermudahnya untuk masuk. Tiba-tiba saat ia di ambang pintu.
Dor! Dor!
Dua kali suara tembakan menggema di telinganya hingga ia menutup telinga dan memejamkan mata. Saat suara itu tidak terdengar lagi gadis itu melihat situasi perlahan membuka matanya.
Saat manik jernih berwana hitam pekat itu terbuka sempurna, sepasang suami istri terkapar di lantai tidak bernyawa dengan bersimbah darah.
“Ayah!”
Manik mata seorang gadis masih tertutup sempurna mencengkeram seprai berwarna abu-abu dengan gelisah. Laura menggeliat dengan peluh membasahi wajahnya. Ia sangat kesulitan membuka mata, klebatan demi klebatan mimpi itu terus saja menghantuinya selama bertahun-tahun.
Tok! Tok! Tok!
Sudah berpuluh-puluh kali seorang perempuan tinggi mengenakan rok dan kaos strit polos sambut lurus tergerai itu mengetuk pintu tapi tidak kunjung mendapat jawaban.
“Laura! Ini sudah siang, ayo cepat bangun!”
Seketika gadis berkulit putih, rambut lurus, bibir ranum membuka mata dengan sempurna.
“Aiihh, mimpi itu lagi,” dengusnya. Menyingkap selimut yang masih membalut setengah badan lalu turun dari ranjang dengan langkah gontai berjalan ke arah pintu. Diputar kunci yang masih melekat pada induknya, membuka pintu seukuran tubuhnya.
“Astaga Lau … apa kamu tidak melihat ini sudah jam berapa?” setelah Laura membuka pintu kakak perempuan yang bernama Viona seketika menyambut dengan ocehan.
“Mau sampai kapan kamu akan terus bermalas-malasan seperti ini, Laura!”
Gadis yang masih belum mengumpulkan kesadaran sepenuhnya itu melirik ke arah benda bulat yang menggantung di dinding.
“Astaga!” menepuk jidatnya sendiri. Ia sepertinya lupa kepala staf memerintahkannya supaya datang ke kantor lebih pagi. Setelelah sadar waktu sudah menjukkan pukul tujuh pagi ia segera menghambur menuju kamar mandi.
Sang kakak yang melihat tingkahnya hanya menggelengkan kepala lalu pergi meninggalkan tempat itu untuk pergi ke pasar. “Lau … sarapan ada di meja makan. Kakak mau pergi ke pasar dulu!” pekiknya sebelum melangkah pergi.
“Iya, kak!” jawab Laura dari balik kamar mandi. Gadis yang saat ini berusia 21 tahun melanjutkan aktifitas mandinya seraya menyanyikan lagu kesukaan disertai gemericik air yang mengalir dari keran. Seoang laki-laki berpostur tinggi mekai kaos berwarna hitam dan celana jeans bepenampilan cesual berjalan mengendap-endap masuk ke dalam kamar Laura. Tampa sepengatahuan dari sang pemilik kamar ia membuka pintu almari mencari keberadan tempat di mana Laura menyimpan b*a diambilnya benda berbahan spons itu lalu diciumi menikmati aroma dalam-dalam.
“Kakak ipar?”
Seketika lelaki itu tersentak saat Laura memanggilnya dari belakang. Dengan senyum gugup ia tampak kesulitan menjawab pertanyaan dari gadis itu.
“Sedang apa kakak ipar di sini?” Tanya Laura mendilik curiga.
“Lau, a-aku, ak-ku hanya ingin meminjam hp untuk menghubingi temaku. Tapi saat masuk kamu tidak ada, jadi … kuputuskan untuk mencari sendiri.”
Gadis itu tidak mau mempercayai seorang yang sudah ia anggap sebagai kakaknya sendiri itu. Pasalnya ini sudah kesekian kalinya ia memergokinya tiba-tiba di kamarnya dengan berbagai alasan. Hanya karena tidak mau menimubulkan yang menyebabkan keributan ia memilih bungkap tidak memberi tahu Viona.
Lelaki yang bernama Alex itu segera berlalu pergi tanpa memberi penjelasan pada Laura yang sedang mematung.Tidak mau ambil pusing Laura segera membuang pikiran buruknya dan segera bersiap karena ia sudah sangat-sangat terlambat.
Setelah selesai bersiap menit berikutnya ia keluar kamar terlihat ibunya yang sedang duduk di meja makan menyantap makanan.
“Selamat pagi, Bu,” sapanya menarik kursi di sebelah ibu yang sakit-sakitan itu lalu duduk. Segera mengambil makanan yang tersaji ia memasukan ke mulutnya dengan buru-buru.
“Hati-hati, Lau.” Sang ibu mengisi gelas kosong dengan air putih lalu memberikan pada Laura. “Bagaimana dengan pekrjaanmu di kantor, Lau?” tanyanya.
Laura meraih minum dari tangan ibunya meminumnya setelah kemudian meletakkan gelas ke atas meja lalu berkata, “Status Lau masih sebagai karyawan sementara, Bu. Mudah-mudahan setelah ini, aku bisa diangkat menjadi karyawan tetap.”
“Semoga saja, Nak. Karena biaya pengobatan ibu tergantung padamu.”
“Aku akan berusaha, Bu. Karena kebahagiaanku adalah ibu.”