Tiga Brandal

1512 Kata
Sudah berjam-jam Alaric membolak-balikkan berkas di tangannya. Ia tampak gelisah memijat pangkal hidungnya tampak berat memikirkan sesuatu. Sedangkan di atas meja ponsel pintar miliknya berdenting tanpa henti. Faullina, ya itu pasti istrinya, pikir Alaric. Semenjak pertengkaran satu jam lalu Faulina memang tidak henti menghubunginya, itu disebabkan rasa bersalah pada lelaki yang kini sedang memikirkan seorang gadis semenjak semalaman yang mengganggu pikirannya. Harusnya ini tidak boleh terjadi, iya tidak seharusnya perasaan datang di waktu salah. Tapi semenjak semalam Alaric tidak bisa menghentikan otaknya untuk memikirkan, dia, gadis yang meminta pertolongannya. Laura. Tanpa diduga kedua sudut bibir Alaric refleks tertarik ketika wajah Laura terlintas di kepalanya. "Tidak, tidak, ini sudah gila." Ia segera menggelengkan kepala untuk menepis perasaannya. Apa lagi masih terasa bagaimana bibir ranum itu ia nikmati hingga kini membekas. Rasanya begitu manis dan membuat candu ingin sekali mengulang lagi. "Selamat siang, Boss." Tanpa mengetuk pintu Maikel langsung masuk membawa sebuah tablet berwarna hitam. Lamunan liar Alaric tentang Laura seketika buyar ketika sekretaris kepercayaannya itu masuk, berjalan mendekat menunjukkan sebuah tabel harga pasar kepadanya. "Bagus, ini kemajuan yang luar biasa." Alaric menyandarkan punggung di kursi kebesarannya. "Mereka tidak boleh ada yang tau, kalau kedatangan kita karena mencurigai Wilson. Kita harus berpura-pura seolah tidak mengetahui apa-apa." "Baik, Boss." Alaric menyatukan kedua telapak tangan menyelipkan hidung di antaranya, mata tajam itu terpejam. "Boss, Nona Faullina meminta saya datang ke New York mengurus perusahaan yang di sana. Bagaimana menurut Anda, saya harus pergi atau tetap di sini bersama Anda?" Butuh waktu sejenak untuk Alaric berpikir. Kemudian membuka matanya menatap laptop yang masih menyala. "Pergilah. Tapi ... sebelum pergi ada tugas untukmu." Jika Faullina sudah meminta tidak akan ada yang bisa menolaknya. Padahal Alaric sangat membutuhkan Maikel di sampingnya untuk menjadi sekretaris. "Tugas apa itu, Boss?" "Aku ingin kau mencari informasi tentang gadis semalam." Mata Maikel membulat. "Maksud Anda, gadis semalam, yang kemarin baru saja kau pecat?" tebaknya. "Iya, dia." Maikel bingung, ada urusan apa sampai-sampai Boss sekaligus temannya itu meminta dia mencari informasi tentang gadis itu? "Datanglah ke rumahnya, dan minta dia untuk menjadi sekretarisku, untuk menggantikan kau." Maikel mengerjap, tidak yakin dengan apa yang barusan dia dengar. "Apa Anda tidak salah, Boss? Atau ... Anda sedang bercanda?" Lagi pula mana mungkin, kemarin lusa Alaric benar-benar murka dengan gadis itu sekarang ingin mengangkat jadi sekretaris. "Apa wajahku terlihat sedang main-main, hah?!" Alaric tidak suka banyak bicara. Wajah tegas tidak pernah tersenyum seolah karakter yang sudah terbentuk mulai kecil hidup dengan seorang mafia. "Baik Boss, aku akan ke rumahnya." Setelah berucap Maikel membungkukkan kepala kemudian membalik badan berjalan meninggalkan Alaric. "Tunggu!" Langkahnya terhenti saat Alaric memanggil. Tanpa membalik badan ia menoleh ke belakang. "Kalau dia menolak, katakan dia tidak ada hak akan itu, sebab dia masih berhutang budi padaku. Ingat, katakan padanya aku tidak suka penolakan!" "Baik Boss." Setelah menggeleng Maikel berlalu pergi dari ruangan Alaric. Ia benar-benar tidak memahami sifat boss-nya itu kali ini. Sedangkan Alaric melirik ke arah ponsel yang terus saja bergetar hingga mengganggu ketenangannya. Ia mengulurkan tangan kemudian meraih ponsel itu. "Kau dari mana saja, tidak kah kau mendengar aku dari tadi meneleponmu?" Alaric menjauhkan ponsel itu beberapa senti dari telinganya. Belum juga ia menjawab Faullina sudah bicara tanpa henti. "Alaric, aku baru saja sampai di New York setelah ini aku akan pergi ke beberapa tempat untuk melakukan riset tentang produk-produk yang akan kami produksi nantinya. Aku dan--" Alaric begitu malas mendengar, dia pasti lelaki kepercayaan Faullina yang selalu ikut menemani ke mana pun dia pergi. Tanpa memberi tahu sebelumnya ia mematikan sambungan telepon. Bahkan, karena curiga Alaric diam-diam tanpa sepengetahuan Faullina meminta salah satu anak buahnya untuk melacak kebenaran. "Nona Faullina cekin ke hotel Washington bersama lelaki itu, mereka tidur dalam satu kamar, Boss." Alaric juga menemukan bukti-bukti lain melalui ponsel Faullina. Tapi saat dia menanyakan dan memberikan bukti, bukan pengakuan yang dia dapat. Melainkan sebuah alasan. "Aku dan dia hanya partner," ucap istrinya itu. "Apa kau ingin mencari alasan untuk menceraikan aku dengan cara seperti ini? Perlu kau ingat, Alaric. Kau bukan siapa-siapa kalau bukan karena Ayahku." Lidah Alaric tidak bisa berkilah lagi ketika Faullina selalu menggunakan cara seperti itu. Ya, ia tidak berdaya jika diungkit tentang budi, tidak ada yang bisa membalas budi dengan mudah. Terlebih lagi, Alaric sudah berjanji pada Edward--Ayah Faullina akan menjaga putrinya itu bersamanya apa pun yang terjadi. Di saat ia bertengkar dengan Faullina, Bar lah yang menjadi tempat hiburannya. Banyak wanita-wanita yang siap menghibur dan melayaninya hingga rasa penat dalam pikirannya menghilang. "Kau berstatus suami, Boss. Tapi nasibmu seperti seorang lajang yang mengenaskan." Maikel kini bertingkah selayaknya teman pada Alaric. Memang seperti itu hubungan mereka. Jika di kantor mereka begitu formal, tapi pada di luar kantor seperti saat ini mereka layaknya teman. Duduk di sofa menyandarkan punggung dan kepalanya mendongak ke atas, Alaric menghisap dan menghembuskan asap rokok ke udara. Sedangkan Maikel duduk menyilang satu tangan memegang unstem glass berisikan whisky coke, dan satu lagi di pinggiran sofa sambil menyesap minumannya ia memandang pole dance (penari tiang) berlenggak-lenggok mengitari tiang besi terlihat seksi sejenak tatapan Maikel terarah dan hanyut. "Bagaimana dengan gadis itu?" "Dia sangat seksi." Mata Maikel masih terpaku menatap penari itu. Sebelum kemudian Alaric melempar batang rokok yang masih menyala hingga membuat tersentak. "Maaf, maaf, Boss. Ku kira kau sedang menanyakan gadis di sana." Alaric mendengus. Sebelum kemudian Maikel sadar tentang Laura. "Aku tidak menemukan dia, sepertinya gadis itu tidak tinggal di sana lagi." "Apa yang kau maksud dia membohongi kita, menyuruh mengantarkan ke alamat palsu?" Maikel mengangkat kedua pundak seraya menyunggingkan bibir. "Aku tidak tahu." Kemudian menyesap minuman lagi. "Saat aku datang ke sana, hanya ada satu orang laki-laki di sana. Dan dia bilang gadis bernama Laura itu tidak pernah tinggal di sana." Kini giliran Alaric menuang whisky ke dalam gelas kemudian menenggak semua minuman yang terasa panas di tenggorokannya itu. "Besok kau harus cari lagi, aku sangat--" Alaric menghentikan kalimatnya. Mengamati minuman yang baru saja ia tuang diguncang-guncang sebelum berucap lagi. "Aku rasa dia adalah gadis yang cocok untuk menjadi sekretarisku." "Apa kau menyukainya, Boss?" tanya Maikel tanpa basa-basi. Ia paham betul sifat bossnya itu. Tidak pernah selama ini memilih seorang perempuan untuk menjadi sekretaris. "Kau ini bicara apa? Tentu saja tidak," elak Alaric tersenyum kaku. "Kalau pun iya itu tidak masalah, Boss. Kau juga berhak bahagia." Maikel tahu kalau Alaric tidak mencintai Faullina. Pernikahan mereka hanya karena Alaric menghormati Edward saja. Detik berikutnya pipi sekretaris tampan itu berkerut. "Tidak perlu ragu mengakui perasaan. Aku akan membantumu jika kau mau." Alaric menggeleng terkekeh. "Selamat malam, Tuan, Tuan." Obrolan mereka berdua terhenti ketika dua orang wanita berpenampilan seksi dengan pakaian kurang bahan menghampiri duduk di samping Maikel dan satunya lagi di samping Alaric. "Maikel, katakan padanya kalau aku sedang tidak berselera, dan jangan coba untuk mendekatiku." Maikel menyunggingkan bibir sambil menatap wanita di samping Alaric. Wanita itu mengangguk kemudian pergi dengan perasaan kecewa. ** Langit Berlin sudah menggelap menembus dinginnya malam, Alaric mengemudi mobil sendiri tanpa Maikel sebab sekretarisnya itu sedang menghabiskan malam dengan wanita penari tiang yang sejak tadi dikagumi. Hari menjalang dini hari saat tiba di depan mansion, ia berhenti sejenak menatap gerbang tinggi menjulang lelaki bertubuh seratus delapan puluh sentimeter itu menghela kemudian memutuskan untuk menjalankan mobil berbalik arah. Rumah itu sangat besar, tapi tidak ada kebahagiaan di dalam sana. Alaric memilih pergi ke apartemen rahasia tanpa satu pun anggota keluarga yang tau. Ia lebih tenang berada di sana menatap langit-langit seperti saat ini. Dari balkon apartemen ia menatap jalanan sudah sepi seperti hatinya. Setidaknya Alaric mempunyai tempat ini untuk menghabiskan waktu luang. Ketika hendak membalik tubuh, netra hazel dengan alis tebal itu menyipit melihat segerombolan pemuda jalanan sedang mengganggu seorang gadis yang sedang berjalan membawa kantong plastik di tangannya. Awalnya Alaric tidak mau tahu, dan berpikir itu pasti bagian dari teman-temannya. Lagi pula siapa suruh seorang wanita berkeliaran tengah malam. Ia memandang malas kemudian menoleh. Alaric memilih masuk dan tidak memperdulikan pemuda-pemuda brandal itu. "Aku bilang, menjauh dari sini!" Gadis itu merasa risih dengan tiga pemuda di sekelilingnya. "Kenapa terburu-buru? Ayolah temani kami sebentar, hanya malam ini saja," pinta seorang lelaki berpenampilan memakai kupluk hitam di kepala, memakai sweater hijau tosca dan celana jeans biru robek-robek bagian lutut. "Kalau kalian tidak mau pergi, Sekarang biarkan aku pergi." Laura melangkahkan kaki, tapi pemuda di hadapannya menghalangi. Ia memandang malas, hingga sebelum kemudian tersentak saat kedua tangannya dicekal oleh dua orang pemuda brandal itu. Laura panik, memberontak mencoba melepaskan tangan. Mungkin kejadian kemarin dengan Alex dia bisa lolos karena bisa melawan nyatanya 1 berbanding 1. Tapi kini? Laura dihadapkan dengan tiga orang lelaki bertubuh besar sekaligus. "Kumohon lepaskan aku." Ia memelas berharap mereka melepaskan. Satu orang pemuda mengedipkan mata, memberi kode. Dan satu pemuda lainnya sigap menaikkan kaos yang dikenakan Laura hingga tersisa dalaman saja. Sontak hawa dingin menyergap Laura. Gelak tawa tiga orang pemuda itu memekikan telinga. Laura benar-benar tidak berdaya dengan mereka. Entah mengapa, akhir-akhir kejadian seperti ini selalu menimpanya. Tidak hanya sekali bahkan saat kini keluar dari rumah Alex dipikir akan merasa aman justru sebaliknya. "Tolong! Tolong!" Hanya itu yang bisa Laura lakukan. Namun sebelum ia membuka mulutnya lagi satu pemuda membekap mulutnya hingga ia kehilangan kesadaran.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN