Bruff ... "Siapa yang menyuruhmu membuat kopi seperti ini, hah?" Alaric menyemburkan kopi ke hadapan Laura hingga pakaian yang dikenakan basah terkena cipratan dari mulutnya.
"Maaf, maaf, Tuan, saya tidak tau kalau Anda tidak menyukai kopi yang saya buat." Laura seketika panik, dan berniat mengambil cangkir di atas meja.
Namun tangan yang gugup disertai gemetar membuat cangkir itu terjatuh dan mengenai laptop Alaric.
Ia mau pun Alaric seketika tersentak, sepasang bola mata itu saling bertatapan. Satu dipenuhi dengan kilatan amarah, dan satu lagi disertai rasa bersalah sambil meringis mengerutkan pipi untuk terpaksa tersenyum.
"Maaf, Tuan." Tangannya kembali terulur untuk mengambil cangkir dan berinisiatif untuk membersihkan kekacauan yang ia buat.
"Pergi." Suara Alaric terdengar dingin membuat Laura semakin gugup.
"Tuan, laptop Anda--"
"Apa kau tidak mendengarku? Aku bilang pergi!"
"I-iya, Tuan. Saya akan pergi." Dengan tubuh bergetar Laura meninggalkan ruangan Alaric.
Laura merutuki kejadian yang baru saja ia alami. Di depan kaca wastafel sambil membersihkan pakaiannya ia bergumam dalam hati.
Sebelumnya ia sangat semangat mengantar kopi untuk Boss yang baru saja dia temui itu. Berharap setelah membawanya sendiri akan mendapat maaf atas kesalahan yang tadi pagi ia lakukan.
Namun bukan alih-alih sebuah maaf yang dia dapatkan, melainkan kesalahan semakin bertambah ketika ia membuat kopi yang sangat dibenci Alaric.
Dan laptop itu?
Bahkan ia membuat kesalahan yang sangat besar hari ini.
Seharusnya di hari pertama boss-nya datang ia harus bersikap sopan, rapi dan mengambil hati supaya dia menyukai kinerjanya. Tapi apa yang sudah dia lakukan?
Laura menepuk dahinya sendiri, sebagai penyesalan sebab sudah banyak melakukan kecerobohan hari ini.
Sebelumnya ketika ia masuk Alaric tampak sibuk membaca lembaran kertas putih yang dipenuhi tulisan. Tidak memedulikan kedatangannya hingga ia mengatakan basa-basi.
"Silakan, Tuan." Setelah sedikit membungkukkan tubuhnya Laura berdiri menunggu sampai Alaric menerima cangkir itu.
Sukurlah ...." Dadanya merasa lega karena lelaki bertubuh kekar atletis itu tidak menoleh padanya.
Setelah meletakkan kertas ke atas meja, Alaric meraih cangkir tanpa menoleh. Ia menyesap tanpa menyadari kalau kopi yang dibuat oleh Laura adalah kopi selama ini tidak pernah ia konsumsi lagi.
Pria itu membelalakkan mata terkejut dengan apa yang ia rasakan di dalam mulutnya. Kemudian terjadilah penyemburan membuat pakaian Laura basah.
"Harusnya aku tidak percaya pada Bianca begitu saja jika tau akibatnya akan seperti ini." Laura masih sibuk membersihkan pakaiannya. Namun itu hal yang sulit karena noda begitu banyak.
Bola matanya memutar malas ketika sesosok Bianca muncul di sampingnya dengan wajah tanpa bersalah satu sudut bibirnya tertarik ke atas seolah mencemooh Laura.
Hal itu membuat Laura merasa yakin kalau wanita itu sengaja mengerjainya. Setelah mengerikan tangan di bawah Hand Dryer Laura melipat tangannya di d**a.
Alih-alih merasa takut atau merasa bersalah Bianca justru hanya melirik sekilas kemudian kembali menatap cermin lagi.
"Apa maksudmu menyuruhku membuat kopi hitam untuk Tuan Alaric, Bianca?"
Wanita itu mengangkat mengedikkan pundak sambil menyunggingkan bibir kedua telapak tangannya terangkat sejajar dengan pundak.
"I don't know what you're talking about."
Sambil berlalu pergi dari hadapan Laura dengan langkah sangat dan menyebalkan.
Damn it!
Ingin rasanya Laura melempar kepala wanita itu dengan heels yang dia kenakan. Namun karena sisi baik dalam dirinya mendominasi ia mengurungkannya.
Di ruangan Alaric.
Maikel seketika gugup saat mengetahui kalau kopi di tangan Alaric adalah berwarna hitam. Kopi itu sangat dijauhi oleh Alaric ia tahu itu.
Sudah dipastikan dia akan terkena masalah jika bosnya itu sudah marah. Maikel berdiri menundukkan kepala.
"Siapa yang menyuruh dia membuatkan aku kopi ini?" tanya Alaric mengintimidasi.
"Maaf Tuan, saya tidak tau kalau kopi yang dibawa gadis itu adalah--"
"Seharusnya kau memeriksa lebih dulu makanan atau minuman yang akan masuk ke dalam ruangan ini!"
"Sebelum meminum Anda seharusnya melihat, tapi kenapa aku yang disalahkan di sini?" batin Maikel.
"Maaf Tuan, lain kali kejadian ini tidak akan terulang lagi," ucapnya sambil berdiri menunduk dengan kedua tangan terlipat di depan.
"Temui gadis itu, beri dia peringatan! Karena kesalahan yang dia lakukan sangat besar!"
"Apa yang harus saya lakukan pada gadis itu, Tuan?"
"Beri dia peringatan, atau kalau perlu pecat dia!"
Pecat? Tentu saja Maikel tidak akan melakukan itu. Ia akan lebih memilih untuk memperingatkan gadis yang baru saja membuat kopi itu.
"Baik Tuan. Saya permisi."
Maikel hanya mengangguk entah apa yang membuat boss nya sepagi ini harus terkena kesialan. Pertama datang menaiki sebuah bus dengan keadaan wajah yang kotor, dan kini dia meminum kopi yang sangat dia benci karena warnanya.
Dan laptop yang terkana tumpahan itu, sudah dipastikan ada banyak kerugian jika rusak salah satu fungsinya. Gadis itu benar-benar merepotkan.
Laura menghela napas lega berulang-ulang setelah membersihkan pakaian saat berjalan menuju meja kerjanya. Gadis itu mengelus d**a saat sampai di kursinya. Ia menarik kursi berwarna biru itu kemudian menempelkan bokongnya di sana.
"Apa kau yang mengantar kopi ke ruangan tuan Alaric tadi?"
Baru saja Laura akan bersandar dalam duduknya, Maikel sudah mengagetkannya. Gadis itu mengangguk ragu sambil menarik kedua sudut bibirnya untuk tersenyum paksa.
'Ada apa sekertaris ini mendatangiku? Apa ini tanda-tanda aku dalam masalah besar?' batinnya dalam hati. Sambil mendongak menatap Maikel yang terlihat menyeramkan baginya itu.
"Tuan ingin menemuimu, sepertinya hidupmu akan berada dalam masalah kali ini."
Laura menelan saliva untuk membasahi kerongkongannya yang tiba-tiba tercekat. Ia mengerutkan keningnya. Mencerna apa yang dimaksud Maikel.
"A-pa maksudmu?"
"Apa kau tahu, Tuan Alaric sangat membenci kopi hitam. Bahkan kalau melihatnya pun dia akan membuangnya. Dan kau justru menyuguhkan untuknya." Suara sekertaris Maikel begitu terdengar menyeramkan bagi Laura hingga bulu-bulu halusnya berdiri.
Entah apa yang membuat kedua orang menyeramkan itu harus memegang perusahaan ini. Padahal sebelumnya boss dan sekretarisnya di sini sangat baik sangat berbeda dari mereka.
"Maafkan saya, Tuan. Tapi saya tidak tahu kalau Tuan Alaric tidak menyukai itu," balasnya.
"Dalam hidup tuan Alaric tidak ada kata maaf, apa kau tau?"
Lagi-lagi Laura merasa terancam posisi di perusahaan ini. Namun bagaimana pun ia harus berusaha untuk membela diri.
"Saya membuat kopi karena diperintahkan oleh--" Laura menatap tajam Bianca yang pura-pura tidak mendengar perkataannya.
"Sudahlah ... tidak penting siapa yang menyuruhmu membuat itu. Yang jelas kamu yang datang ke ruangan Tuan Alaric dan laptop itu?" Maikel mengerutkan dahinya dengan mata menyipit.
"Kamu sudah kembali membuat kesalahan besar. Maka dari itu gajimu akan terpotong 50% setiap bulannya."
"What?" Laura langsung menoleh dengan mulut yang terbuka sedangkan matanya membulat.
"This is crazy, Tuan."
Ini sungguh tidak adil bagi Laura. Bagaimana bisa ia membantu kakaknya untuk mencukupi kebutuhan bulanan mereka. Lalu bagaimana dengan obat-obatan ibunya yang harus dibeli dengan harga mahal?
"Kurasa itu lebih baik, dari pada kau harus dipecat," sambung Maikel.
Menurutnya ini adalah hukuman yang pas untuk Laura. Setidaknya gadis itu masih bisa bekerja dan mendapatkan separuh gajinya.
"Aku akan menemui Tuan Alaric." Laura beranjak dari kursi kecil berwarna biru itu dengan tangan mengepal panik.
"Boleh saja, tapi aku takut kau akan kecewa jika dia memberimu hukuman lebih berat dari pada saya." Maikel menengadahkan telapak tangan memberi jalan mempersilakan Laura bejalan ke arah ruangan bossnya.
Wajah Laura menegang ketika orang yang akan dia temui keluar dari lift yang akan dia masuki. Bibirnya tiba-tiba keluh ketika lelaki berbadan tinggi dan tegap itu berjalan melewatinya tanpa menoleh.
Hingga matanya mengerjap mengais sisa-sisa keberanian dalam dirinya untuk mengejar Alaric.
"Tuan, tunggu!" Ia mempercepat langkahnya namun tidak lari mengimbangi langkah Alaric yang lebar.
Laura dengan tergesa-gesa berjalan mendahului Alaric yang sama sekali tidak berniat untuk melihatnya. Hingga gadis itu merentangkan tangan mencegah boss nya untuk berhenti.
Maikel melihat tampak begitu terkejut, sebab menurutnya gadis itu begitu berani mencegah Alaric.
Tanpa sadar sepasang bola mata menyipit geram. Alaric tidak suka jika seseorang menghalangi langkahnya. Dan lebih membuatnya kesal dia adalah gadis pembuat masalah.
"Kau?" rahangnya mengeras sedangkan tangannya menunjuk Laura.
"Tuan, aku hanya ingin minta belas kasihan dari Anda. Bagaimana mungkin Anda tega berbuat seperti itu pada saya?" Wajah Laura memelas tatapan matanya sendu.
Tanpa ingin membalas Alaric memandang malas, detik berikutnya menoleh pada Maikel.
Sekretaris yang sudah 5 tahun bekerja untuknya itu segera maju selangkah mengerti apa yang dimaksud. Yaitu menyingkirkan Laura dari hadapannya.
"Kau harus segera menyingkir dari sini." Maikel menarik pergelangan tangan Laura menyingkir dari hadapan Alaric.
Meskipun begitu netra coklat Laura tidak berhenti menatap Alaric penuh permohonan.
Peduli apa Alaric dengan para karyawan itu. Baginya mereka sekelompok orang yang membutuhkan uang, dan akan menuruti semua perintahnya dengan patuh.
Setelah Maikel membawa Laura menyingkir ia berlalu pergi keluar kantor. Langkahnya yang lebar dengan perawakan angkuh tubuh tegap atletis dengan rahang tegas membuat hormon estrogen para karyawan wanita di dalam kantor itu bergejolak.
"Tuan, kenapa Anda mencegah saya bicara pada Tuan Alaric? Apa jangan-jangan potongan gaji saya anda mau mengorupsi nya? Karena takut saya bilang pada Tuan Alaric maka dari itu Anda langsung menarik saya?"
Ya ampun ... Maikel sejenak memijat pelipisnya. Berhadapan dengan gadis ini membuat kepalanya tiba-tiba pening.
"Anda diam, pasti benar bukan, apa yang kukatakan?" cerca Laura.
"Semua keputusan sudah disetujui oleh tuan Alaric. Apa kau tahu seharusnya hukuman apa yang diperintahkan dari untukmu?"
Maikel menunduk mendekatkan bibirnya ke telinga Laura. "Memecatmu," ucapannya dengan santai.
Sukses membuat mata Laura membelalak. Kemudian mengerjap ia menelan saliva bersusah payah kemudian berkata, "Its oke. Aku terima hukumannya, setidaknya itu lebih baik, bukan?"
No problem Laura pasti bisa walau hanya menerima separuh gajinya. Tapi pasti ada cara lain, di depan komputer setelah kepergian Maikel ia tidak bisa berhenti berpikir untuk meminta maaf pada Alaric.