Hawa dingin membekap Berlin, suhu udara menunjuk angka 5° Celcius. Matahari yang sejatinya bersinar terik tak mampu mengusir hawa dingin yang menyelimuti Ibukota Jerman itu. Di pinggiran kota jalanan lenggang dan orang-orang sibuk berjalan cepat tanpa peduli. Laura berdiri memakai coat membalut tubuhnya tampak berdecih di samping motor saat tiba-tiba mati di tengah jalan. Sudah berulang kali ia mencoba menghidupkan mesin dengan cara manual hingga kakinya hampir-hampir putus rasanya motor itu tidak kunjung menyala.
Hanya motor itulah yang dia punya, mengantar pulang pergi bekerja setiap hari. Benar-benar setia kawan dari pada teman yang hanya mengajaknya bergosip.
Gadis yang sudah rapi memakai pakaian ke kantor itu mulai menarik napas, mungkin sepeda motornya itu ingin kata-kata lembut darinya. Laura melakukan apa yang biasa dilakukan biasanya..
Setelah menghela napas membuangnya kemudian mendekat dengan posisi setengah memeluk motor kesayangannya, seperti halnya merayu seorang kekasih.
“Ayolah … apa kamu tidak kasihan denganku, aku berjanji setelah ini akan membawamu ke bengkel, tapi untuk saat ini please … hiduplah, hiduplah. Kumokekasi
Laura bicara seperti layaknya seperti bicara dengan seseorang. Sedangkan seorang pria dari seberang sana, di dalam mobil memperhatikan dari belakang tingkah Laura yang begitu aneh menurutnya.
“Rupanya seiring bertambah majunya jaman, bertambah pula orang tidak waras di dunia ini.” Pria itu menyeringai mencemooh kemudian kembali menatmenurutnya
Sedangkan sopir yang diajak bicara turut tersenyum saat melihat gadis konyol itu. “Ayo kita jalan!” perintah pria itu. Sopir itu pun melajukan mobil Lamborghini berwarna hitam itu meninggalkan jalan yang sudah lenggang.
Sementara pria itu sedang sibuk menerima telepon dari klien penting sesekali menjelaskan kalau ia sebentar lagi akan segera sampai di tempat tujuan dengan sesekali melirik arloji di tangannya.
Akan tetapi tanpa diduga mobil yang dikendarai sopir itu tiba-tiba berhenti. Pria itu mendesah memejamkan mata, bagaimana sopir bodohnya itu bisa menghentikan mobil disaat ia terburu-buru seperti ini.
“Maaf, Tuan. Sepertinya mesinnya bermasalah, saya akan segera memeriksanya.” Sopir itu melepas sabuk pengamannya kemudian mendorong pintu untuk keluar.
Cukup lama sopir itu keluar tapi tak kunjung juga masuk, sementara ponsel pria itu sudah dari tadi tidak berhenti berdering. Detik berikutnya pria itu keluar menghampiri sopir yang sedang memperbaiki mesin.
“Bagaimana?” tanyanya mendekat menengok bagian mesin.
“Sepertinya ada kerusakan di bagian mesin, Tuan,” jawab sopir itu, “Sepertinya kita perlu memanggil montir.”
“Berapa lama?”
“Dua puluh menit, Tuan.”
Dua puluh menit? Mana mungkin pria itu bisa menunggu sebegitu lamanya.
“Ayolah … kenapa kau berhenti di saat waktu tidak tepat seperti ini, kumohon hiduplah, please ….”
Pria itu menempelkan kepalanya di atas pintu mobil bagian depan. Sopirnya mengulum senyum hingga terlihat oleh pria itu.
“Kau menertawakanku, hah?” tanyanya tidak terima.
“Tidak, Tuan, hanya saja saya mengingat kata-kata Anda, bahwa semakin bertambah kemajuan jaman, bertambah juga orang tidak waras.
“Jadi kau bilang aku tidak waras?!”
Tidak ingin berdebat dengan sopir menyebalkan itu ia masuk ke dalam mobil menutup dengan kasar sehingga membuat ia sendiri tersentak.
“Tunggu apa lagi, ayo cepat masuk! Apa kau tidak tahu aku sudah terlambat!” dengkusnya.
“Tapi Tuan, bagaimana kita bisa pergi kalau mobilnya saja sedang mogok.”
Pria itu mengusap wajahnya gusar. Alaric William Hernandez, pria memiliki wajah tampan di dengan rahang kokoh tampak berwibawa itu dikenal sebagai pebisnis profesional selalu datang tepat waktu. Tapi saat ini justru terjebak di tengah jalan seperti ini.
“Sekarang pesankan aku taxi,” ujarnya.
“Baik, Tuan. Tapi di sini akan sangat lama jika menunggu taxi sampai sini, Tuan,” jawab sopirnya.
“Terus kau ingin aku pergi naik apa?” tanyanya menggertakkan gigi.
Sopir itu memutar bola mata tampak memikirkan jalan keluarnya. “Ada dua pilihan, Tuan. Ini solusi bagus untuk Anda.” Alaric menoleh akhirnya sopir yang ia anggap bodoh itu mempunyai jalan keluar untuknya.
“Satu, Anda harus menunggu montir datang. Kedua Anda harus menaiki bus sepertinya tidak jauh dari sini sebuah halte.”
“Apa itu yang kau namakan, jalan keluar?”
Sopir itu mengangguk ragu. Alaric turun dari mobil. “Itu namanya bukan jalan keluar, apa kau mengerti?”
Meski pun begitu Alaric tidak mempunyai pilihan karena dia harus segera sampai. Lelaki itu berdiri tegap merapikan jasnya.
“Katakan pada Maikel, suruh dia langsung saja menemuiku di kantor!” ucapnya kemudian meninggalkan sopir sendirian berjalan menuju halte yang tidak jauh dari sana.
Ini adalah untuk pertama kalinya dalam seumur hidupnya menaiki bus umum. Semua ini hanya gara-gara sopir itu pasti tidak merawat mobil dengan benar. Kalau saja lelaki itu bukan sopir pilihan Edward ayah mertuanya pasti Alaric sudah membuangnya ke jurang dari jauh-jauh hari.
Setelah beberapa kali tersingkir oleh penumpang yang akan memasuki bus, akhirnya walau sebagai orang terakhir Alaric berhasil masuk. Di hadapannya ada seorang laki-laki dengan posisi duduk menatap gadis yang sedang berdiri dari atas sampai bawah dengan tatapan nakal.
Alaric maju berpindah mengambil posisi tepat berada di belakang gadis itu sehingga menghalangi pria yang berniat tidak baik tersebut. Alaric menyeringai saat pria itu mengetahui kalau ia mengetahui rencana buruknya.
Tanpa diduga tiba-tiba sopir bus mendadak menginjak rem dan membuat berhenti dengan mendadak. Membuat tangan Laura terlepas dari pegangan beruntung tangan kekar Alaric segera merangkul tubuhnya hingga tidak terjatuh.
“Aaaaaaa!” teriak Laura saat merasakan tangan pria yang tidak ia kenal itu berada di atas gundukan dadanya.
Alaric seketika menarik tangannya saat merasakan benda empuk itu dalam telapak tangannya. Dan anehnya ia suka itu mengekspresikan wajah dengan cara menyeringai.
“Dasar, om-om m***m! Bukanya minta maaf, justru membuang wajah tanpa dosa,” oceh Laura berkacak pinggang menghampiri.
Alaric memicingkan mata. Dengan sebutan apa gadis di hadapannya tadi memanggilnya?
“Om? Berani sekali kau memanggilku seperti itu!” Ia berdiri tepat di hadapan Laura.
“Memang kau sudah tua, aku harus memanggilmu apa?” tanya Laura ketus, kemudian berpindah posisi ke saat mendapati bangku kosong.
Alaric memutar bola matanya tampak berpikir. Apa benar yang dikatakan gadis itu, apa aku memang terlihat tua? Setelah menoleh ke arah Laura berikutnya orang-orang di sekelilingnya, detik berikutnya ia mengambil ponsel dari saku celana, melihat pantulan dirinya sendiri dari layar gelap smartphone mahal miliknya itu diam-diam.
Sedangkan Laura yang melihatnya tanpa dia sadari itu hanya mengulum senyum. Setelah beberapa saat kemudian bus telah sampai di tempat tujuan. Alaric menarik napas lega akhirnya setelah melewati di dalam bus penuh perjuangan jiwa dan raga kini telah sampai. Para penumpang ada sebagian turun, sementara sebagian lagi melanjutkan perjalanan. Saat akan turun Alaric melirik ke arah sepatutnya terdapat debu, saat di ambang pintu ia berjongkok mengelap sepatu dengan sapu tangan..Secara bersamaan karena terburu-buru Laura berlari dari posisinya di belakang menuju pintu keluar.
Bruk!
Seketika Laura membekap mulutnya sendiri karena menabrak Alaric hingga tersungkur ke depan keluar bus.
“Maaf.”
Alaric benar-benar dibuat geram, tangannya mengepal, rahangnya mengeras. Ia tidak akan memaafkan siapa pun orang yang sudah mendorongnya hingga wajahnya basah terkena air di kubangan.
“Maaf,” ucap Laura lagi. Meringis menunjukkan deretan giginya yang putih dan bersih.
“Kau ….” Geramnya, wajah Alaric sudah tidak bisa ditebak lagi kini. Sangat menyeramkan dari pada apa pun membuat Laura menciut.
Lelaki itu melangkah maju membuat jantung Laura berdegup kencang karena takut.
“Boss!” panggil seorang lelaki berpenampilan formal mengenakan jas dan celana dengan tampilan nada yang selaras.