3. Sebuah Panggilan

1055 Kata
Yudha melepas dasinya yang terasa mencekik. Ini masih di kantor, tapi rasanya sudah sangat menyesakkan. Terlebih lagi kalau dia teringat sikap Gladys semalam yang menurutnya sangat menyebalkan dan menyakitkan. "Dia 'kan bisa ya, nolak gue pakai kata-kata biasa aja gitu. Nggak harus bentak dan pakai kata yang nyakitin," desahnya seraya menumpukan kedua sikunya di atas meja kerjanya. Seharian ini, Yudha tidak fokus bekerja. Perkataan Gladys membuat Yudha tidak bisa berpikir positif. Banyak pikirkan negatif menyerangnya sejak semalam. Benar-benar Yudha tidak bisa berkonsentrasi. Semua pekerjaan yang seharusnya hari ini sudah selesai, jadi belum tuntas. Yudha tidak lagi memikirkan tentang penolakan Gladys, tapi dia terus-menerus berburuk sangka. Takut kalau penolakan Gladys akhir-akhir ini karena faktor lain. Bukan karena Gladys yang merasa kelelahan secara fisik. Melainkan karena Gladys yang sudah tidak memiliki perasaan lagi kepada Yudha. Cepat-cepat Yudha menggelengkan kepalanya. Menepis semua pemikiran jeleknya. "Arhk! Gladys bikin gue gila!" Yudha mengerang. Saat melihat jam di depannya, ternyata sekarang sudah pukul dua siang dan belum ada satu pun pekerjaan yang beres. Yudha merutuki kebodohannya sendiri yang sulit diajak fokus tanpa terdistraksi. "Apa jangan-jangan Gladys emang udah nggak ada hasrat lagi sama gue? Secara 'kan dia emang lebih tua dari gue?" Yudha mendadak menyangkut pautkan urusan ranjangnya dengan usia mereka yang berbeda tiga tahun, lebih tua Gladys. Untuk ke sekian kalinya, Yudha menggelengkan kepala. Kali ini, Yudha sampai mencari tahu di usia berapa perempuan mulai tidak memiliki nafsu berhubungan badan. Setelah mendapat jawabannya, Yudha jadi yakin kalau penolakan Gladys bukan karena faktor usia. Dalam penjelasan yang Yudha baca, perempuan mulai kehilangan hasrat berhubungan di usia 40 tahun dan usia Gladys masih belum ada 30 tahun. Yudha dilanda frustrasi, dia lempar ponselnya ke sembarang arah dan berusaha tidak memikirkannya lagi. Namun nyatanya tidak semudah itu. Biasanya Yudha bisa profesional, tidak mencampur dua urusan ini. Namun entah kenapa, kali ini Yudha sama sekali tidak bisa mengabaikannya. Pasangan suami istri ini memang sedang dilanda gelisah. Bukan hanya Yudha saja yang uring-uringan di kantor, tapi Gladys juga sama. Bergumam sendiri, marah sendiri, gelisah sendiri dan semuanya dia lakukan serba sendiri. "Mama kenapa?" Eunha, putri pertamanya dengan Yudha yang sudah berusia delapan tahun. "Aku perhatikan, Mama murung terus akhir-akhir ini." Alvin menyambung. Gladys menggelengkan kepala. Memaksakan senyumnya di depan kedua buah hatinya yang baru pulang sekolah. Alvin, adik Eunha itu sudah bisa membaca situasi dan kondisi orang-orang di sekitarnya di usianya yang masih empat tahun. "Enggak kok, Mama nggak kenapa-napa. Kalian mending sekarang langsung ke kamar," titah Gladys seraya memanggil pengasuh kedua buah hatinya. Tidak ada penolakan, Eunha maupun Alvin sama-sama menurut. Meninggalkan Gladys sendirian di meja pantry. Sejak siang tadi, Gladys berada di sana sambil menikmati kopi. Tanpa Gladys sadari, dia sudah menghabiskan tiga gelas kopi dingin ukuran large yang dibuatkan oleh seorang asistennya yang memiliki sertifikat sebagai barista. Gladys mendengar ponselnya berdering, tapi kali ini dering pesan masuk. Ada beberapa pesan masuk, tapi Gladys enggan melihatnya. Sepertinya dia tahu itu pesan dari orang yang sama, pasti mamanya. Namun kali ini bukan lagi suara getar dari pesan masuk, tapi dari sebuah panggilan. Anehnya, Gladys tidak menyimpan nomor tersebut dan itu kode nomor ponsel dari Indonesia. Gladys jadi was-was saat akan menerima panggilan. Belum sampai Gladys menggeser gambar gagang telepon berwarna hijau, panggilan dari nomor baru itu sudah lebih dulu mati. Rasa penasaran dan takut bercampur menjadi satu. Ternyata pesan masuk beruntun tadi bukan dari Jihan, tapi dari nomor yang barusan meneleponnya. Gladys membuka pesan itu dan saat dilihat-lihat ternyata itu fotonya Zalle yang bermain bersama teman-temannya. Gladys masih penasaran dan terus menggeser ke bawah, sampai akhirnya Gladys melihat fotonya Teo dengan background Zalle yang jaraknya lumayan jauh. "Kalau kamu masih nggak mau ninggalin suamimu, aku nggak akan segan-segan untuk mencelakai gadis itu," baca Gladys pada pesan teks yang dikirim paling terakhir. Gladys kaget bukan main. Teo tidak main-main dengan kata-katanya. Sekarang saja Teo sudah mengincar Zalle dan sudah tahu kalau Zalle adiknya Yudha. Ponselnya mendadak berdering, nomor baru yang diketahui nomor ponselnya Teo memanggil. Saking kagetnya Gladys, dia melempar begitu saja ke sembarang arah. Namun yang pasti, deringan ponselnya berhenti saat itu juga. Jantung Gladys rasanya benar-benar hampir lepas dari tempatnya. Keringat dingin merembes di pelipisnya tanpa diminta. "Glad, kamu kenapa?" Yudha yang memang baru saja masuk rumah, kaget melihat Gladys melempar ponselnya. Yudha menopang tubuh Gladys yang hampir roboh. Persis seperti orang hampir pingsan, tapi berhasil ditahan oleh Yudha. Gladys merasa kakinya gemetar hebat, ditambah lagi di sini sudah ada Yudha. "Kamu kenapa, Glad?" Yudha menepuk-nepuk pelan pipi Gladys yang terbengong menatap ke arah ponselnya yang terlempar jauh. Perlahan-lahan Yudha membantu Gladys duduk di sofa yang jaraknya tak jauh dari sana. Kini Yudha berjalan menuju ponselnya Gladys yang tergeletak tak berdosa. Gladys harap-harap cemas, takut kalau Yudha melihat isi pesan dari Teo tadi. Bisa-bisa Yudha marah dan Gladys takut Yudha menyalahkannya atas semuanya. "Nanti bisa aku ambil sendiri HP-nya," cegah Gladys, supaya Yudha tidak lanjut mengambil ponselnya. "Cuma ngambil HP doang, Glad," balas Yudha. Napas Gladys tercekat di kerongkongan. Sekarang ponselnya sudah benar-benar berada di tangan Yudha. Gladys cuma bisa pasrah, dia akan menerima semua yang akan Yudha keluarkan. Entah itu cacian, makian, amarah, umpatan dan segala macamnya akan Gladys terima tanpa mengeluh. Belum sampai Yudha melihat ponselnya Gladys, ponselnya sudah berdering terlebih dahulu. Gladys semakin takut, siapa tahu yang menelepon Yudha sekarang ini Teo. Gladys tidak ingin hal itu sampai terjadi. Sayangnya saat Gladys akan mengambil alih ponselnya Yudha, suaminya sudah lebih dulu menerima panggilan masuk. "Hallo, Bun," sapa Yudha. Mendengar Yudha memanggil bunda, Gladys jadi lega. Alexa yang sekarang menelepon, ibu mertuanya yang ada di Jakarta. "Apa? Zalle dibawa ke rumah sakit karena kecelakaan?" Nada suara Yudha berubah seketika, ada kekhawatiran di dalamnya. Terdengar jelas di telinga Gladys. Baru saja Gladys merasa lega karena yang menelepon Yudha itu bukan Teo, tapi malah dikagetkan oleh kabar yang disampaikan Alexa mengenai Zalle yang katanya terserempet mobil saat akan menyeberang. Gladys bangun dari duduknya. Mendekati Yudha dengan sisa-sisa tenaganya. Kabar mengenai Zalle yang terserempet mobil pun membuat Gladys teringat Teo. Jangan bilang kalau yang nyerempet Zalle itu sebenarnya Teo? Batin Gladys penuh harap. "Nanti kalau Zalle udah selesai ditangani, jangan lupa kasih kabar lagi ya, Bun," pinta Yudha, khawatir akan kondisi adik perempuannya yang sangat dekat dengannya. Awas aja kalau sampai Teo benar-benar melakukan ini ke Zalle, aku nggak bakal tinggal diam gitu aja. Gladys bertekad dalam hati akan membalas Teo menggunakan caranya sendiri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN