"Seira, saya nggak butuh uang. Tapi, boleh nggak saya minta nomor kontak kamu aja?" Ervan menatap Seira dengan mata yang penuh harap, suaranya lembut, namun mengandung ketegasan yang tak bisa disangkal.
Seira mengerjap, tersenyum lembut, dan tanpa ragu menjawab, "Ya, tentu!" Suara Seira terdengar riang, senyum tipis yang terukir di bibirnya menambahkan kehangatan pada suasana di antara mereka. Dia merasa bahwa pemberian nomor kontaknya adalah hal yang paling wajar setelah semua bantuan yang telah diberikan Ervan.
Mereka berbincang-bincang ringan, dan seiring berjalannya waktu, beberapa gelas anggur pun diminum tanpa terasa. Semakin lama, mereka mulai merasakan sesuatu yang berbeda—sebuah kehangatan yang bukan berasal dari anggur, tetapi dari kehadiran satu sama lain. Suasana di antara mereka berubah perlahan, seolah-olah udara di ruangan itu mulai memanas.
Seira, yang biasanya selalu tenang, tiba-tiba merasakan jantungnya berdegup kencang. Dia merapikan kerah bajunya yang sedikit terbuka, mencoba menenangkan diri. Matanya tertuju pada pria di hadapannya. Ervan, dengan postur tubuhnya yang tegap, memiliki pesona yang sulit diabaikan. Meski matanya sedikit tersembunyi di balik kacamata, hidungnya yang mancung dan bibir tipisnya yang berwarna merah membuat Seira tertegun. Ada sesuatu yang tak terlukiskan dalam penampilan pria itu—sebuah daya tarik yang liar dan tak terduga.
‘Kata orang, kalau hidung pria gede, bagian lain juga gede,’pikiran liar itu tiba-tiba muncul di benak Seira. Dia hampir saja tertawa karena betapa tidak masuk akalnya pemikiran itu. ‘Dan katanya lagi, kalau bibirnya tipis dan merah, biasanya nafsunya kuat,’ lanjut pikirannya, membuat pipinya merona tanpa ia sadari. Seira menggigit bibirnya, mencoba mengusir pikiran-pikiran aneh yang mulai merayap masuk.
‘Apa aku udah mulai mabuk?’ gumamnya dalam hati. Tetapi, matanya tetap terpaku pada bibir Ervan. Tanpa disadari, dia menelan ludah, berusaha mengendalikan hasrat yang mulai membara dalam dirinya.
Ervan, di sisi lain, tak bisa mengalihkan pandangannya dari Seira. Dalam sekejap, dia menyadari betapa Seira adalah sosok yang mempesona. Setiap gerakannya, senyumannya, dan caranya menatapnya dengan tatapan lembut dan penasaran, membuat Ervan merasa tertarik lebih dalam. Dia adalah gadis chinese yang tak hanya cantik, tetapi juga memiliki aura misterius yang sulit ditolak.
Ketika jarak di antara mereka semakin dekat, pandangan mereka mulai kabur, dan tanpa sadar bibir mereka nyaris bersentuhan. Sebuah momen yang begitu intens hingga waktu seolah berhenti. Tetapi, seperti kilatan petir yang menyambar di tengah malam, mereka berdua mendadak tersadar. Seira seketika mendorong Ervan menjauh, dengan tangan gemetar menutup mulutnya sendiri, matanya melebar karena syok. "Apa yang barusan aku lakuin?!" pikirnya, tak percaya dengan apa yang hampir terjadi.
Ervan juga tersentak, bingung dengan perasaannya sendiri. Sesuatu terasa salah. Nalurinya menuntunnya untuk melihat ke arah botol anggur merah yang tadi mereka minum. Matanya menyipit, penuh kecurigaan. "Jangan-jangan... anggur merah ini udah dikasih obat?" pikirnya dengan tegang. Kesadaran itu membuat dadanya berdebar keras.
Di saat yang sama, Seira mulai menyadari hal yang sama. "Anggun pasti nyiapin ini buat Reygan!" bisiknya dengan penuh kemarahan. Wajahnya memerah karena marah dan malu. "Sialan!" umpatnya dalam hati, namun tubuhnya mulai merespon sesuatu yang tak bisa ia kendalikan.
Seira merasa tubuhnya semakin panas, dan rasionalitasnya mulai memudar. Gerakannya tiba-tiba menjadi agresif. Dia melempar Ervan ke tempat tidur, membuatnya terkejut, lalu duduk di pinggangnya dengan posisi yang penuh d******i. "Panas banget..." suaranya terdengar parau, dengan mata yang berkabut dan sedikit berair, membuat penampilannya semakin memikat.
Ervan, meskipun masih memiliki sedikit kesadaran, tidak bisa menahan diri dari godaan yang ditawarkan oleh Seira. "Seira, sadar... Oh!" Ervan mencoba berbicara, tetapi suaranya terputus ketika Seira dengan cepat menanggalkan kacamatanya, lalu menunduk untuk mencium wajahnya.
Bibir Seira, yang panas dan penuh gairah, mulai menyusuri wajah Ervan, mencari-cari seperti seseorang yang tersesat dalam badai keinginan. Dia bahkan tidak tahu siapa pria ini sebenarnya, tetapi hasrat dalam dirinya mengabaikan semua itu. Dia menemukan bibir Ervan dan menutupnya dengan ciuman yang dalam dan penuh gairah. Lidahnya menjelajahi setiap sudut mulut Ervan, seolah mencari sesuatu yang bisa menenangkan gejolak dalam dirinya.
Seira merasa ada sesuatu yang aneh di dalam tubuhnya, seperti ada ribuan serangga yang merayap di seluruh tubuhnya. Gatal yang dimulai dari hatinya perlahan menyebar ke seluruh tubuh, membuatnya gelisah. Tanpa berpikir panjang, dia mulai membuka pakaiannya dengan kasar, merobek pakaiannya dengan kecepatan yang hampir tidak terkendali, dan segera mencoba melepaskan kemeja Ervan.
Ervan, yang terjebak dalam keadaannya sendiri, merasa kesulitan untuk menolak apa yang terjadi. Ketika Seira menunduk lagi dan menekannya ke tempat tidur, Ervan hanya bisa mengangkat tangannya, menyerah pada nasibnya. Mulut mungil Seira kembali mencium bibir Ervan, menggigitnya tanpa irama, namun penuh dengan hasrat yang tidak terkendali.
Pada saat itu, Ervan merasakan sesuatu yang lembut dan hangat menekan dadanya—itu adalah p******a Seira, yang terasa lembut di balik lapisan pakaian terakhir yang masih ada. Dengan cepat, bagian bawah tubuh Ervan bereaksi, tumbuh tegak dan kuat. "Sialan!" pikirnya, sadar bahwa situasi ini hampir keluar kendali.
Dengan keberanian terakhir yang ia miliki, Ervan menggigit ujung lidahnya sendiri dengan keras, rasa sakit yang tiba-tiba itu menusuk tubuhnya, membuatnya tersadar kembali. "Seira, sadar dong!" serunya, suaranya penuh dengan keputusasaan.
Tanpa ragu lagi, Ervan bangun dari tempat tidur dan, dengan hati-hati, membawa Seira yang kehilangan kendali ke kamar mandi. Seira yang masih terjebak dalam gairahnya hampir tidak bisa bereaksi ketika Ervan menempatkannya di dalam bak mandi. Tanpa berpikir panjang, Ervan membuka shower dan membiarkan air dingin mengalir, membasahi tubuh Seira yang panas.
Seira berteriak ketika air dingin itu menyentuh kulitnya, sebuah jeritan yang mencampurkan rasa terkejut dan ketidaknyamanan. Namun, air dingin itu sedikit membantu menyadarkannya, menariknya kembali dari tepi jurang keputusasaan.
Dia memeluk tubuhnya sendiri, meringkuk di dalam bak mandi, gemetaran karena air dingin dan emosi yang bercampur aduk. Dalam keadaan seperti itu, Seira terlihat begitu kecil, begitu rentan, namun dalam kepolosannya, ada keindahan yang membuat Ervan tergerak.
Ervan tidak bisa menahan diri untuk tidak mengelus kepala Seira dengan lembut. "Seira, kamu nggak apa-apa?" tanyanya dengan suara yang penuh perhatian.
Seira perlahan mengangkat kepalanya, menatap Ervan dengan mata yang masih berkaca-kaca. Pipinya yang memerah karena gairah masih terasa panas, dan tanpa sadar dia menempelkan pipinya ke telapak tangan Ervan. "Panas banget... Mas Ervan... Aku mau..." suaranya hampir tidak terdengar, tetapi cukup jelas bagi Ervan untuk menyadari betapa dalamnya perasaan yang sedang menguasai Seira.
Keinginan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya sekarang sepenuhnya menguasai dirinya, menenggelamkan setiap jejak rasionalitas. Di hadapan tatapan Seira yang penuh nafsu itu, Ervan merasakan tekadnya mulai runtuh. Nafasnya semakin berat, dan meskipun dia tahu dia harus menghentikan semua ini, dia tidak bisa menahan diri lagi.
Dengan dorongan yang penuh gairah, Ervan melemparkan showerhead ke dalam bak mandi dan dengan cepat masuk ke dalamnya. Dia mengangkat Seira dengan lembut, mendudukkannya di pangkuannya, dan tanpa ragu menunduk untuk mencari bibirnya. Ketika bibir mereka bertemu lagi, ciuman itu tidak lagi dipenuhi dengan kebingungan, tetapi dengan keinginan yang mendalam dan tak terbantahkan. Ujung lidah mereka bersentuhan, mengeksplorasi satu sama lain dalam tarian yang lambat namun penuh gairah, seolah-olah mereka adalah sepasang kekasih yang telah lama menunggu momen ini.
Ciuman mereka terdengar dengan bunyi klik yang samar, namun cukup keras untuk menciptakan getaran di antara mereka. Seira, yang sekarang sepenuhnya tenggelam dalam kehangatan ciuman itu, hanya bisa memikirkan satu hal: betapa nikmatnya sensasi ini. Dia merasa seolah-olah sedang melayang di atas awan, terbawa oleh arus gairah yang tak terduga.
"Ah… jadi begini rasanya ciuman," pikir Seira dalam hatinya, hampir tertawa di tengah-tengah ciuman mereka. Ini adalah sesuatu yang baru baginya, sebuah pengalaman yang menggetarkan dan menakutkan sekaligus. Namun, semakin dalam mereka terlibat, semakin kuat keinginan untuk tidak pernah berhenti.
Di bawah bimbingan Ervan, Seira akhirnya mulai memahami ritme dari ciuman itu. Bibir mereka saling mengejar, saling menjilat, dan menghisap satu sama lain, seolah-olah mereka telah berlatih selama bertahun-tahun. Sentuhan lidah mereka yang lembut namun penuh gairah menciptakan kehangatan yang menyebar dari bibir mereka ke seluruh tubuh mereka, seperti api yang mulai membara.
Ervan, yang awalnya berusaha keras untuk menahan diri, kini telah benar-benar menyerah pada perasaannya. Tangannya bergerak dengan sendirinya, membuka kancing bra Seira dengan cekatan, membebaskan sepasang p******a yang besar dan kenyal. Ketika bra itu terlepas, p******a Seira jatuh ke dalam genggamannya, terasa hangat dan lembut.
Ervan menundukkan kepalanya, menatap p******a Seira dengan pandangan yang mabuk oleh gairah. Ia tidak bisa menahan diri untuk tidak membuka mulutnya dan menghisap salah satu putingnya yang berwarna pink itu. Rasanya lembut dan manis, membuatnya semakin tergila-gila. Sementara itu, tangan satunya tidak tinggal diam, dengan lembut meremas dan memainkan p******a yang satunya lagi, memberikan sensasi yang luar biasa pada Seira.
"Ah…," Seira mengerang pelan, kepalanya terangkat secara tidak sadar, membiarkan rasa nikmat itu mengalir melalui tubuhnya. Suara itu menggema di ruangan kecil itu, seperti musik yang manis di telinga Ervan. Dia semakin terbuai oleh suara erangan itu, membuatnya ingin memberikan lebih banyak lagi.
Seira, yang tadinya berada di ambang kesadaran, kini sepenuhnya larut dalam gairah yang mendalam. Sentuhan Ervan membuat tubuhnya bergetar, membangkitkan sensasi yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Setiap kali Ervan menyentuhnya, dia merasakan gelombang kenikmatan yang mengalir melalui tubuhnya, membuatnya semakin panas dan terdesak oleh keinginan yang tidak bisa dia kendalikan.
-TBC-