Seratus Juta
"Jadi gimana, Seira? Asal kamu mau tidur sama aku, aku langsung kasih kamu seratus juta rupiah sekarang juga!" Reygan berkata dengan nada licik, suaranya tenggelam di tengah kebisingan bar yang penuh sesak malam itu.
Di sudut ruangan, di dalam bilik yang sedikit tersembunyi dari pandangan orang banyak, tiga orang tampak duduk bersama. Seorang pria dan dua wanita. Pria itu adalah Reygan, seorang pria muda dengan wajah tampan yang memancarkan aura sombong. Pakaiannya mewah, sesuai dengan statusnya sebagai anak dari keluarga kaya raya. Di antara jari-jarinya, ada sebatang cerutu yang menyala, dan asap putih yang tebal mengepul dari ujungnya, melayang-layang menuju wajah Seira, wanita yang menjadi sasaran kata-katanya tadi.
Seira, seorang gadis muda dengan wajah cantik namun kini penuh dilema, tersenyum kecut sambil mengepalkan tangannya di bawah meja. Hatinya diliputi perasaan malu yang luar biasa, tetapi dia berusaha keras untuk tidak menunjukkannya. "Reygan, aku tahu seratus juta itu bukan jumlah yang kecil. Tapi, nggak bisakah kamu meminjamkannya saja padaku? Aku janji, begitu aku lulus, aku akan mengembalikannya segera."
Namun, bukannya merespons dengan empati, Reygan malah memiringkan kepalanya sedikit, senyum jahat menyungging di bibirnya. "Pinjam? Hah. Seira, buat keluargaku, uang segitu cuma uang receh. Aku nggak butuh kamu balikin. Yang aku mau cuma satu hal... kamu."
Seira terdiam sejenak. Kata-kata Reygan menghujam hatinya. Dia tahu pria ini sudah lama mengincarnya. Sudah bertahun-tahun Reygan mengejarnya, bahkan mungkin sejak mereka pertama kali bertemu di kampus. Namun, selama ini Seira selalu menolak dengan halus, berusaha menjaga jarak dari pria yang penuh tipu daya ini. Tapi kini, situasinya berbeda. Seira tidak punya pilihan lain. Kebutuhan akan uang untuk pengobatan ayahnya yang sedang sakit memaksanya untuk mempertimbangkan tawaran yang sangat tidak manusiawi itu.
"Reygan!" Seira akhirnya berdiri dari tempat duduknya, matanya merah menahan amarah dan air mata yang hampir tumpah. Tapi di balik kemarahannya, ada rasa putus asa yang tak tertahankan. Ayahnya membutuhkan uang untuk perawatan medis, dan setiap detik yang berlalu adalah waktu yang berharga. Seira sudah kehabisan cara, tidak ada lagi yang bisa ia lakukan.
Sadar bahwa ini mungkin kesempatan terakhirnya, Seira berusaha memohon dengan nada suara yang lebih lembut. "Reygan, tolong jangan bercanda seperti ini di saat aku benar-benar butuh bantuan..."
Namun, sebelum Reygan sempat menjawab, Anggun, salah satu dari dua wanita di bilik itu, menyela dengan tawa sinis. "Hehe... Rey, dia masih nggak mau tidur sama kamu? Lihat deh, apa hak dia buat ragu-ragu? Banyak cewek lain yang ngantri buat bisa deket sama kamu, tapi kamu malah ngejar-ngejar dia yang jelas-jelas nolak kamu."
Anggun adalah wanita yang selalu ada di sisi Reygan, meskipun dia tahu pria itu tidak pernah benar-benar tertarik padanya. Sekarang, dia memeluk lengan Reygan lebih erat, seolah ingin menegaskan posisinya. Tatapannya penuh dengan rasa iri dan benci terhadap Seira, seorang gadis yang tampaknya dengan mudah mendapatkan perhatian pria yang selama ini ia incar.
‘Kenapa? Kenapa dia bisa begitu gampang menarik perhatian Reygan?’ pikir Anggun dengan getir. Di dalam hatinya, ada kebencian yang dalam terhadap Seira, seorang gadis yang terlihat biasa-biasa saja namun mampu membuat Reygan, pria impiannya, tergila-gila.
Wajah Reygan mengeras, ekspresinya berubah menjadi lebih gelap dan serius. "Kamu beneran benci banget dengan ide tidur sama aku, ya?" katanya, suaranya rendah namun penuh ancaman. "Baiklah, kalau gitu aku kasih kamu dua pilihan. Pertama, kamu tidur sama aku sepuluh malam, dan aku kasih kamu sepuluh juta per malam! Kedua..."
Reygan berhenti sejenak, kemudian mengarahkan pandangannya ke arah lain, ke ujung ruangan di mana seorang pria muda lain duduk sendirian di bar. Wajah Reygan menunjukkan senyum mengejek saat dia melanjutkan, "Atau, kamu tidur sama pria itu satu malam dan aku kasih kamu seratus juta, cash! Seira, kamu pilih yang mana?"
Mendengar pilihan yang diberikan Reygan, wajah Seira langsung pucat pasi. Dia perlahan menoleh ke arah yang ditunjuk Reygan, dan matanya tertumbuk pada sosok pria muda yang tampak tidak mencolok duduk di meja bar. Pria itu berambut coklat muda, namun rambutnya tampak berminyak dan tidak terawat, bahkan sebagian rambutnya menutupi kacamata berbingkai hitam besar yang ia pakai. Pakaiannya pun lusuh, hanya sebuah kaos abu-abu tua dan jeans yang robek di beberapa bagian, serta sandal jepit yang semakin menambah kesan bahwa pria itu benar-benar tidak peduli dengan penampilannya.
Pria itu jelas tidak menarik perhatian, dan dari penampilannya, dia terlihat seperti seseorang yang hidupnya penuh kesulitan. Seira bisa merasakan kepedihan yang datang dari pilihan yang diberikan padanya. Di satu sisi, ada Reygan, yang meskipun menjijikkan, setidaknya dia adalah seseorang yang sudah dikenal Seira. Di sisi lain, ada pria asing ini, yang tampak begitu tidak terawat hingga membuat Seira merasa mual hanya dengan memikirkannya. Tapi, Reygan tidak memberinya banyak pilihan. Entah itu sepuluh malam dengan Reygan atau satu malam dengan pria asing itu, semuanya sama-sama menjijikkan.
Namun, seratus juta adalah jumlah yang besar. Dengan uang itu, Seira bisa menyelamatkan ayahnya, dan mungkin, dia bisa melupakan semua ini setelahnya. Pilihan yang mudah, jika dilihat dari sisi praktis. Tetapi dalam hatinya, Seira merasakan kehancuran yang dalam. Reygan tidak hanya memaksanya untuk membuat keputusan ini, tetapi dia juga menghinanya secara brutal.
"Reygan, kamu beneran serius dengan yang kamu bilang tadi?" Seira bertanya, suaranya gemetar, meskipun dia berusaha keras untuk tetap tenang.
Ekspresi di wajah Reygan sedikit berubah. Dia tidak menyangka Seira benar-benar mempertimbangkan tawaran itu. Apakah dia benar-benar lebih memilih tidur dengan seorang pria asing yang tampak seperti pengemis daripada bersamanya?
Anggun, yang tampaknya menikmati situasi ini, segera merogoh tasnya dan mengeluarkan sebuah kartu hotel, lalu menyerahkannya kepada Seira. "Seira, sebenarnya kartu ini aku siapkan buat aku dan Rey. Tapi kalau kamu butuh, kenapa nggak kamu pakai dulu aja?"
Seira mengambil kartu itu dengan tangan gemetar, tetapi dia tidak langsung bergerak. Dia masih menatap Reygan, berharap untuk mendapatkan kepastian dari pria itu. Tapi yang dia temukan hanyalah wajah tanpa ekspresi yang dingin.
“Ya, ambil kartunya.” Reygan benar-benar serius. "Kalau kamu rela jual diri, aku nggak butuh kamu pakai uang sendiri untuk bayar kamar hotel demi jual tubuh kamu," katanya dengan nada datar.
Dengan berat hati, Seira mengambil kartu kamar itu dan, tanpa berkata apa-apa lagi, berjalan menuju meja bar. Dia tahu, setiap langkah yang dia ambil menuju pria asing itu adalah langkah menuju kehancuran dirinya sendiri. Tapi, apa lagi yang bisa dia lakukan? Pilihan lain tidak ada.
"Halo, Mas! Sendirian?" Seira berkata dengan suara sehalus mungkin, mencoba menghilangkan rasa jijik yang menghantuinya. Dia duduk di samping pria yang tampak tidak mencolok itu, mencoba bersikap ramah.
Pria itu menoleh dengan sedikit terkejut. Tidak ada yang pernah mendekatinya dengan cara seperti ini sebelumnya. Dia menatap Seira, mata birunya penuh kebingungan. "Kamu... ngomong sama aku?" tanyanya dengan ragu.
Seira hanya bisa mengangguk sambil tersenyum tipis. Di dalam bar yang penuh dengan orang berbagai ras, wajah chinese Seira yang diturunkan ibunya memang terlihat mencolok, dan kecantikannya yang alami membuatnya terlihat seperti bunga di antara duri. Dia tahu betul bahwa dia menarik perhatian banyak orang, tetapi tidak pernah terbayangkan olehnya bahwa dia akan berada dalam situasi seperti ini.
"Tentu saja aku ngomong sama kamu. Bisa beliin aku minum?" Seira melanjutkan, berusaha menjaga percakapan tetap ringan.
Tanpa berkata-kata, pria itu memberi isyarat pada bartender untuk membawakan segelas wiski. Seira menerima gelas itu, mengangkatnya, dan meneguk minumannya dalam satu kali tegukan. Cairan alkohol yang kuat mengalir di tenggorokannya, memberikan sedikit keberanian yang dia butuhkan untuk menghadapi apa yang akan datang.
Setelah itu, dia mengelap mulutnya dengan punggung tangan, lalu dengan senyum pahit, mengacungkan kartu hotel di antara jarinya ke arah pria itu. "Mas, mau aku traktir?" tanyanya dengan nada yang hampir penuh keputusasaan.
Pria itu menatapnya dengan mata yang melebar tak percaya. Apakah ini sebuah kejadian romantis yang tiba-tiba muncul dari film?
"Dek, kamu bercanda?" tanyanya, masih tidak percaya dengan apa yang sedang terjadi.
Pria itu benar-benar terkejut. Bagaimana mungkin seorang wanita secantik Seira tertarik pada pria sepertinya, seseorang yang bahkan tidak memiliki apapun untuk ditawarkan? Seira terlihat sangat mempesona dan penuh daya tarik, dan itu membuat pria itu merasa dirinya tidak layak untuk mendekatinya.
Namun, Seira hanya tersenyum tipis. "Mas, ini cuma buat semalam aja. Aku nggak bercanda," katanya dengan suara yang lembut, namun ada kesedihan yang dalam di balik kata-katanya.
Pria itu menundukkan kepalanya, mendorong kacamata berbingkai hitam yang sedikit turun di hidungnya. "Duh! Susah menolak undangan dari seorang gadis cantik," katanya pelan, masih dengan perasaan tidak percaya.
Pria itu akhirnya berdiri dan, dengan gerakan yang agak canggung, mengulurkan tangannya untuk menarik Seira keluar dari bar. Mereka berdua berjalan menuju pintu keluar, meninggalkan suasana bar yang penuh kebisingan dan tatapan penuh perhatian dari para pengunjung lainnya.
Di dalam hati Reygan, kemarahan membara. Dia tidak menyangka Seira benar-benar akan melakukannya. Dia hanya ingin menguji seberapa jauh gadis itu akan pergi demi uang. Namun, ternyata Seira benar-benar rela menjual dirinya demi seratus juta. Dalam hati Reygan, ada kekecewaan yang besar, tetapi di balik itu juga ada rasa kemenangan kecil. Seira telah menunjukkan bahwa dia bisa dibeli. Dengan sedikit rasa puas, Reygan mengamati mereka pergi.
Sementara Anggun, yang tidak bisa menahan kebenciannya lagi, mengumpat dengan kasar, "Dasar p*****r!"
Namun, tidak ada kata-kata yang bisa menghapus rasa sakit yang dirasakan Seira malam itu. Meskipun dia telah membuat pilihan yang paling logis untuk menyelamatkan ayahnya, dia tahu, dalam hatinya, dia telah kehilangan sesuatu yang lebih berharga dari sekadar harga diri. Malam itu akan menghantuinya selamanya.
-TBC-