Seira masih terdiam di dalam taksi, pikirannya melayang jauh sementara matanya menatap nanar ke luar jendela. Hatinya berkecamuk, berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi dan apa yang akan datang. Udara di dalam taksi terasa berat, penuh dengan kegelisahan yang tak terucapkan. Langit malam yang gelap di luar seakan mencerminkan kebingungannya, dan bayang-bayang lampu kota yang terpantul di kaca jendela hanya menambah kesuraman suasana.
‘Nggak, nggak ... Seira, kamu pasti menemukan jalan. Ayo berpikir!’
Situasi ini sudah sampai pada titik di mana tak ada jalan untuk kembali. Seira merasa seperti berada di tepi jurang, dipaksa untuk melompat tanpa tahu apa yang menunggunya di bawah. Ia hanya bisa pasrah, mengikuti alur yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Menyerahkan nasibnya pada keberuntungan yang entah ada atau tidak.
Saat matanya melirik ke luar jendela, sekelebat perasaan tak nyaman menggelitik benaknya. Sebuah mobil hitam terlihat mengikutinya dari jauh, berbaur dengan kendaraan lain di jalan, namun cukup dekat untuk menimbulkan kecurigaan. Seira sadar, mereka yang menginginkan sesuatu darinya tidak akan melepaskannya begitu saja. Jika ia gagal malam ini, tidak mungkin mereka akan memberinya uang yang dijanjikan.
‘Pokoknya, ayo lakukan. Apapun itu ... uang seratus juta ... aku membutuhkannya.’
Seira mencuri pandang ke pria yang duduk di sampingnya. Wajahnya yang tak dikenal tampak tenang, namun kesan dingin itu membuatnya semakin cemas. Setidaknya, pria ini masih bersikap jujur sejak mereka masuk ke dalam taksi. Tapi bagaimana nanti? Bagaimana ia harus menghadapi pria ini ketika semua sudah mencapai klimaksnya? Pertanyaan itu terus berputar di kepalanya, mengisi setiap detik perjalanan yang sunyi.
Taksi akhirnya berhenti di depan hotel mewah. Seira menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian yang tersisa. Suasana canggung menyelimuti mereka saat keduanya keluar dari taksi dan berjalan menuju lobi. Setiap langkah terasa seperti beban, seakan-akan seluruh dunia tengah mengamati mereka dengan penuh rasa ingin tahu. Pintu kamar yang terbuka menyambut mereka dengan kemewahan yang tak biasa. Anggun jelas mengeluarkan banyak uang untuk memastikan segala sesuatunya sempurna. Kamar itu dilengkapi dengan fasilitas terbaik, seolah-olah dirancang khusus untuk menyenangkan mereka berdua.
“Dek, kamu ... baik-baik saja?”
Seira menatap pria itu, dia menarik napas, “ya nggak apa-apa, Mas.”
Begitu pintu tertutup, Seira merasa dinding kamar seakan-akan semakin mendekat, menghimpitnya dengan keheningan yang mencekam. Ia melangkah pelan, memeriksa setiap sudut ruangan, memastikan tidak ada mata-mata tersembunyi yang bisa memata-matai gerak-geriknya. Kepastian itu memberinya sedikit ketenangan, tapi hanya sejenak. Setelah yakin kamar itu aman, ia berbalik, dan dengan secepat kilat mendorong pria itu ke dinding. Tindakannya begitu tiba-tiba, membuat pria itu terkejut.
"Astaga!" gumam Seira dalam hati, menyadari perbedaan tinggi badan mereka yang mencolok. Pria itu, yang tingginya mendekati 190 cm, menunduk memandangnya dengan tatapan penuh tanya. Wajah Seira yang mungil harus mendongak untuk bisa bertemu mata dengan pria asing itu.
Dalam kekacauan pikirannya, Seira mencoba merangkai kata-kata. "Mas, sebenarnya saya terpaksa melakukan semua ini!" katanya dengan suara gemetar namun tegas, "Bisa nggak tolong pura-pura aja? Saya bersedia membayar Anda!"
Pria itu memandangnya dengan alis yang berkerut. "Pura-pura? Bayar? Adek cantik, bukannya kamu ngajak saya buat one-night stand?" Tangan pria itu mulai bergerak, menyusuri pinggang ramping Seira dengan lembut namun penuh maksud.
Seira tersentak, cepat-cepat menepis tangan besar itu. "Saya tahu saya cantik, tapi one-night stand? Saya nggak bisa lakukan hal kayak gitu!" katanya dengan nada serius. Matanya mencoba membaca niat pria itu, namun ia hanya menemukan kebingungan di sana. "Dari penampilan kamu yang kelihatan biasa aja, gimana kalau kita buat kesepakatan? Kalau kamu mau pura-pura sama saya, saya kasih kamu lima ratus ribu. Gimana? Penawaran yang bagus, kan?"
Dalam hatinya, Seira merasa semakin tertekan. Taruhan seratus juta itu menghantuinya seperti bayangan kelam. Tapi di balik semua itu, hanya satu hal yang terus terngiang di kepalanya: uang itu bisa menyelamatkan ayahnya yang terbaring lemah di ICU. Pikiran itu memberinya dorongan untuk terus maju, meski jalannya terasa sangat berat.
Pria itu menatapnya semakin dalam, keraguan di matanya semakin jelas. "Tapi kenapa kamu ngelakuin ini? Apa mungkin…"
"Jangan dipikirin! Saya mulai duluan!" potong Seira dengan suara yang bergetar namun tegas. Ia meraih kerah pria itu dan menariknya mendekat, kemudian dengan cepat menunduk untuk mencium d**a pria itu. Sentuhan itu membuat pria itu terdiam, terkejut dengan keberanian gadis mungil di hadapannya.
Pria itu mengerang pelan, matanya terbuka lebar saat ia menatap Seira yang berada di pelukannya. Apa yang sebenarnya wanita ini coba lakukan? Sebelum ia sempat memahami situasinya, Seira sudah mendorongnya ke tempat tidur dengan tenaga yang tak terduga dari tubuhnya yang kecil.
Tempat tidur itu berderit ketika Seira melompat ke atasnya, membuat suara yang nyaring di tengah keheningan. Dengan cepat, Seira membuka mulutnya, memulai drama yang sudah direncanakannya, "Ah… Pelan-pelan… Aku benci ini… Jangan…" Suaranya terdengar begitu meyakinkan, penuh dengan emosi yang dibuat-buat.
Pria itu hanya bisa terpana, tidak percaya dengan apa yang didengarnya. ‘Apa ini sebuah akting?’ pikirnya, bingung.
Seira tidak memberi pria itu waktu untuk berpikir. Dia segera duduk di sampingnya dan mulai mengeluarkan suara-suara yang lebih dalam, seolah-olah dia sedang dalam adegan film dewasa yang penuh gairah. "Sini… sini… AH… mmm… Kamu hebat… Jangan jilat… Oh! Oh! Rasanya enak banget! Masuk pelan-pelan… AH – pelan-pelan… Ouuhhhh…" Suaranya begitu mendesak, penuh dengan intensitas yang memaksa.
Sementara itu, di luar kamar, Reygan dan Anggun berdiri dalam keheningan yang penuh amarah. Reygan mendengar semua suara dari dalam kamar, dan setiap kata yang terucap dari bibir Seira membuat darahnya mendidih. Dengan amarah yang tak terbendung, ia memukul dinding dengan keras, merasakan rasa sakit yang hanya sedikit mengurangi kemarahannya.
Anggun segera meraih tangannya, mencoba menenangkannya. "Rey! Jangan kayak gini! Dengar tuh si Seira penuh nafsu gitu, dia nggak pantas dapatkan hati kamu sama sekali!" katanya dengan suara yang lembut namun tajam, mencoba menyusupkan keraguan ke dalam hati Reygan.
Namun, Reygan tidak bisa menahan kemarahannya lebih lama lagi. Suara-suara samar dari dalam kamar terus menghantuinya, membuatnya tidak ingin berada di tempat itu lebih lama. "Ayo pergi!" serunya akhirnya, berbalik dengan penuh kemarahan. Anggun buru-buru mengikutinya, terus berbicara dengan nada merendahkan tentang Seira sepanjang jalan keluar.
Di dalam kamar, Seira yang masih berada di tempat tidur, merasakan firasat yang kuat. Dengan hati-hati, ia turun dari tempat tidur, berjalan mengendap ke pintu. Ia mengintip melalui lubang pintu, memastikan bahwa Reygan dan Anggun benar-benar sudah pergi. Setelah melihat mereka meninggalkan koridor, Seira menghela napas panjang, merasakan beban berat yang sedikit terangkat dari pundaknya.
Saat berbalik, ia melihat pria itu menatapnya sambil tersenyum—senyuman yang membuat Seira merasa canggung. Namun, di balik senyuman itu, ada rasa terima kasih yang tulus. Pria ini telah membantunya dengan cara yang tak terduga.
"Terima kasih. Nama saya Seira, saya benar-benar terbantu tadi. Kalau Anda, Mas?" Seira akhirnya membuka percakapan, mencoba menutupi rasa malunya.
Pria itu membalas senyumnya. "Nama saya Ervano Wijaya. Apa orang yang ngikutin kamu sudah pergi?"
Seira mengangguk, merasa sedikit lega. "Iya, mereka nyuruh saya melakukan ini. Saya benar-benar nggak punya pilihan lain selain merepotkan Mas…" kata Seira, suaranya penuh dengan rasa syukur.
Ervan mengangguk pelan. "Nggak apa-apa, saya senang bisa membantu." Balasnya dengan nada hangat, seolah memahami betapa putus asanya situasi Seira.
Seira merasa sedikit lega dan ingin berterima kasih lebih dalam. Matanya tertuju pada botol anggur merah di atas meja. Dengan senyum kecil, dia membuka botol itu, menuang dua gelas untuk merayakan kemenangan kecil yang baru saja mereka raih.
"Terima kasih, Mas Ervano.”
“Ervan aja.” Pria bernama Ervan itu tersenyum tipis.
Seira kemudian menggaruk tengkuknya dengan salah tingkah, “hmm... Mas Ervan, maaf, tapi ... apa boleh lima ratus ribunya saya bayar nanti, pas kita ketemu lagi?”
“Nggak usah, sudah kamu simpan aja uangmu.” Ervan mengangguk maklum.
“Nggak, jangan!” Seira merasa tak enak, “nanti pasti saya bayar. Tapi sekarang saya nggak bawa uang....” Seira melanjutkan dalam hati, ‘bukan nggak bawa sih, tapi nggak punya uang sama sekali.’
-TBC-