6. Spaghetti Lagi?

1250 Kata
Pertolongan Allah datang. Bukan melalui Bu Sukma atau Rustini. Mereka masih disibukkan urusan dalam negeri rumah keluarga almarhum Bapak Taruma Latif. Pertolongan pertama justru datang dari dua orang berbadan tinggi besar. Satu pria, berpakaian khas menukang. Kotor bekas cat, pun semen kering menempel di kaos putih yang tak lagi putih. Satu lagi, sosok pria berpakaian kaos putih bersih rapi, masih wangi meski sore hampir datang, memimpin agenda menjenguk hari ini. Ia mengetuk pintu renta rumah Naya. Aim membukakan pintu. Baru sekali ini Aim bertemu Laksa. Sopan, Aim menanyakan nama dan tujuan kedua lelaki itu datang. "Siapa, Im?" Seorang perempuan berkruk di lengan kanan dan kirinya, hasil pinjaman sementara dari Mak Urut, muncul dari dalam rumah. Tak perlu waktu lama sampai Aim masuk ke dalam dan mengabari Naya bahwa ada tamu di luar. Saking sempitnya kontrakan, suara bariton dari teras pun terdengar sampai ke dapur belakang. Hanya saja yang tak Naya sangka, pemilik suara tersebut adalah Laksamana Latif. "Ini, Tuan katanya anaknya Ibu Sukma. Majikan kita juga, ya, Buk?" tanya Aim menarik benang merah silsilah keluarga majikan Naya. "Iya. Silakan duduk, Tuan." Susah payah Naya membersihkan kursi santai berbahan bambu di teras dengan lap yang Aim ambilkan. Pun sekarang ia turut duduk di atas kursi plastik biru yang biasanya ditumpuk di sudut rumah, saking tak pernah lagi menerima tamu sejak terakhir pemakaman suami Naya. "Maaf. Ada perlu apa?" "Saya kira kamu bohong soal sakit ini. Saya kira kamu bosan dan lelah memasak di rumah kami." Wajah Kris menegang. Bisa-bisanya tuan muda ini jujur akan tujuannya menjenguk. "Maaf, saya beneran sakit. Saya minta izin pada Tuan dan Ibu Sukma untuk tidak masuk sampai saya sembuh. Kata tukang urutnya satu minggu saya sudah membaik." Laksa masih menunduk. Ia tak mau mengambil risiko menatap kedua mata bening Naya. Bukan lantaran takut, tapi mata itu sangat berbahaya untuk kewarasan hatinya jika ditatap terlalu lama. Selama proses memandangi lantai semen yang belum berubin, Laksa mendapati selubang sorot matahari menyasar di atas sepatu putih Laksa. Seharusnya, tempat ini teduh, tetapi ...? Laksa penasaran. Dilihatnya lagi lantai sekitar teras. Banyak titik-titik sorot matahari bertebaran di sana. Ia mendongak ke atap. Benar saja, pekerjaan Naya yang membawa petaka tadi pagi, ternyata belum usai. Seperti yang telah Laksa duga, ia menengok pada Kris. Satu perintah diperkuat oleh gerakan kepala Laksa, Kris langsung paham maksud sang majikan. "Kris!" "Siap, Tuan." Kris mengambil genteng, tangga juga entah perkakas yang Naya tak paham dari mobil pick up yang mereka bawa. Menempatkannya di depan teras, lantas beraksi meneruskan apa yang Naya tinggal pagi tadi. Membenarkan genteng. "Tuan?" Naya sebenarnya sungkan atas bantuan Laksa dan Kris, tetapi ia tak dapat menolak. Mungkin ini satu dari banyak pertolongan Allah yang akan datang padanya. "Terima kasih," lanjutnya. Laksa mengangguk. Ia kembali mendaratkan pantatnya di kursi bambu. Anak-anak yang notabene-nya tak bisa diam, meski Naya telah mewanti-wanti agar tetap di dalam jika ada tamu, berlarian keluar. Mereka terlalu senang mengetahui fakta, jika mungkin tidur mereka malam ini tak harus lagi begadang karena hujan. "Om ... Om ... yang atap sebelah kiri juga bocor. Tadi Ibuk belum sampai situ pasangnya!" Jiwa mandor kecil mereka keluar. Kris dengan suka cita mengikuti arahan dua anak yang mendadak ikut-ikutan izin tak masuk sekolah kelas siang ini, dengan alasan merawat ibu sakit. Di sisi lain, dua manusia dewasa berbeda jenis, sedang duduk canggung menunggu di teras. Meski kadang debu beterbangan, tak berhasil mengurai kecanggungan mereka. "Tu-Tuan, mau minum apa?" Naya tiba-tiba ingat bahwa tuan muda baik hatinya ini belum juga mendapat hidayah agar berpuasa sesuai agama yang ia peluk. "Tidak perlu." "Oh. Iya." Naya duduk lagi setelah bangkitnya sia-sia. "Kenapa tidak ke dokter? Malah ke tukang urut?" "Masalah biaya, Tuan," tunduk Naya. "Klasik. Masalah klasik orang miskin." Hati Naya bagai ditusuk sebilah pedang. Nyeri, tetapi tak bisa dilawan. "Iya." Laksa bangkit. "Ayo, ke dokter!" "Tu-Tuan, nggak perlu." "Hai kalian, anak-anak Naya. Tuntun Ibuk kalian ke mobil!" "Kris gimana?" Naya mulai panik. "Tinggal aja. Saya sudah beritahu tadi." Naya masih bergeming. Laksa pun berbalik ketika tak ada tanda-tanda Naya mengikutinya. "Ini bukan demi kamu. Tapi saya. Saya butuh kamu segera kerja kembali. Dan saya tidak suka berlama-lama menunggu." Aim dan Uma berduyun datang dengan wajah polosnya. "Naik mobil apa, Tuan? Uang Ibuk habis. Nggak ada lagi buat bayar mobil angkot." "Mobil. Naik mobil saya." "Horeee! Uma ... Ibuk diantar naik mobil, bukan angkot!" "Uma juga ikut, kan, Buk? Ikut-ikut!!" rengek Uma. "Kalau masih cukup, Abang juga ikut naik mobilnya boleh, ya, Tuan?" sambar Aim dengan senyum penuh kesopanan. Tak ada jawaban dari Laksa yang sudah melenggang ke mobil, yang artinya adalah ‘iya’. Laksa menghidupkan mesin, lantas menunggu dua bocah itu menuntun ibunya sampai ke bangku penumpang yang telah ia bukakan. Khawatir jika Naya juga bocah kecil itu tak mengerti cara membuka handle pintu. Padahal, mereka terbiasa naik angkot bangku samping sopir. Naya masuk, disusul Aim, juga Uma yang dengan senang hati duduk di pangkuan Aim. Mau berdiri pun Uma siap, asalkan ... naik mobil. ----------- "Dari Rontgen, Ibu Naya memang hanya keseleo. Alhamdulillah tulangnya tidak ada yang patah dan bergeser. Ini saya beri anti nyeri, juga mengurangi pembengkakan ototnya nanti. Kalau sakit sekali, Ibu bisa lilit dari perut dan pinggang pakai kain. Tapi jangan dipaksa kerja berat dulu, ya?" Naya mengangguk mendengar penjelasan dokter IGD. Ada satu dokter praktik klinik di luar gang tempat tinggal Naya, tetapi Laksa lebih memilih mengantarnya ke fasilitas kesehatan yang lebih lengkap. Ia hanya tak mau disusahkan berkali-kali jika ternyata dokter merujuk Naya juga pada akhirnya. "Minum obatnya! Ikuti anjuran!" "B-baik, Tuan." --------------- Beduk Magrib berkumandang. Tiga makhluk ekonomi kurang mampu dalam keadaan masih berpuasa, saling pandang di bangku penumpang mobil pick up yang dikendarai oleh Laksa. Tak ada yang bersuara. Tidak mungkin. Sudah ditraktir berobat, diajak berkeliling dengan mobil, masa iya mereka juga ingin ditraktir buka puasa? Naya dan Baim saling pandang. Mata Naya mengisyaratkan agar mereka buka puasa saja di rumah. Toh, mendadar telur tidak akan memakan waktu lama. Hanya satu makhluk yang belum sempurna urat malunya, berceletuk di keheningan perjalanan pulang mereka. "Ibuk, udah Magrib. Kita nggak minum teh dulu?" "Sst ... nanti, ya, Uma? Bentar lagi sampai rumah." "Kalian biasa buka puasa apa? Kita mampir rumah makan." Naya membekap mulut Uma. Takut kalau-kalau kalimat tak terduga meluncur lagi dari mulut si Bungsu. "Eh nggak ... nggak, Tuan. Kami buka di rumah aja." Naya dan Aim kompak mengangguk. Perlahan Uma ikut mengangguk. Ia tak mungkin berbeda pendapat dengan dua anggota keluarga lainnya. "Kamu ... Uma, ya? Mau makan apa?" "Kalo di rumah, makan lontong sama teh hangat. Nanti Ibuk pulang kerja, bawa makanan macam-macam jenisnya da—" Sekali lagi, Naya menutup mulut Uma yang kelepasan. Kedua alis Laksa terangkat. Ia baru tahu satu fakta ini. Asisten rumah tangganya rajin membawa pulang makanan sisa. "Bu Sukma yang suruh, Tuan. Kata Ibu, juga Tuan, bolehin kami bawa lauk kalau ada sisa. Saya sudah menolak. Tapi kata Ibu, untuk anak-anak saya karena saya pulang telat. Nggak masak di rumah. Saya—" Naya menjelaskan terbata. Takut jika Laksa memikirkan hal lain tentangnya. Tentang tukang masak yang rakus, sengaja melebihkan menu agar bisa dibawa pulang, atau koki amatiran yang tak mau rugi dan ingin uang gaji utuh. Laksa tertawa. Untuk pertama kalinya ia terbahak di depan Naya. "Tenang aja. Saya tidak akan mengadili kamu," jawabnya di tengah tawa. "Terima kasih, Tuan." "Oke. Kita makan spaghetti aja, ya? Saya hanya bisa makan spaghetti kalau kamu tidak masak." ---------------- NB: Cuss tap love untuk ngikutin kisah Tuan Laksa sama Mbak Naya sampe tamat. Masukkan ke library kamu yaa..
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN