5. Telur Dadar Tipis Potong Kecil

1042 Kata
Baim dan Uma masih dengan pasang mata yang basah, bergandeng tangan mendatangi rumah mewah majikan Naya. Mereka menginjakkan kaki di sana dengan tujuan memintakan izin sang ibu agar mendapat cuti beberapa hari. Naya tak punya telepon seluler, dimana seharusnya ia bisa menelepon siapa saja. Memberi kabar buruk ini.  "Loh, loh ... bocah ini ngapain? Ibuk kamu mana, Im?" tanya Rustini, yang dibantu Risma mengambil alih urusan dapur sejak ditinggal Naya. Uma mengeraskan tangisnya. Membuat Rustini kebingungan mendiamkan si bungsu. Namun, Aim selayaknya kakak yang dewasa, menepuk punggung Uma perlahan hingga anak itu diam. "Ibuk jatuh dari tangga, Bude. Nggak bisa jalan ke sini." "Kok, nggak bisa ke sini?" "Ini masih diurut Mak Urut. Kata Mak Urut pinggang Ibuk terkilir ototnya. Sampe nggak bisa jalan." Rustini dan Risma saling pandang. Kecemasan terpancar di dua pasang mata itu. Bukan hanya Naya yang mereka khawatirkan, tetapi nasib mereka sepertinya juga akan turut kelam beberapa hari ke depan hingga Naya sembuh. "Aim mau minta cuti sama Bu Sukma buat Ibuk." "Iya. Cuti sebulan. Kepala Ibuk bocor," potong Uma. "Hah?! Bocor?!" Dua teman Naya kaget. Beruntung pisau yang dipegang Risma tak meluncur ke kaki. Begitu pula dengan Aim. Ia segera menutup mulut Uma. Membisikkan sesuatu pada Uma.  "Kalo sebulan Ibuk nggak dapet gaji, Uma. Nanti Ibuk sedih. Nangis. Kata Mak Urut seminggu sembuh." "Tapi, kan, Ibuk sakit, Bang." "Nanti kita tanya Ibuk aja lagi, ya?" Uma mengangguk. Pasalnya, mereka lupa menanyakan hal ini pada Naya. Berapa hari Naya minta diliburkan.  "Kenapa, Rus?" Bu Sukma muncul setelah mendengar keributan di dapur utama. "Loh, ini anak-anak Naya, 'kan? Ibuk ke mana, Abang Sholeh?" Bu Sukma merendahkan posisi berdirinya demi mengusap kerudung merah jambu milik Uma. "Nah, terus ini si cantik ini kenapa nangis?" "Ibuk jatuh dari tangga tadi waktu pasang genteng, Bu. Kata Ibuk kami disuruh ke sini. Minta izin agar Ibu Sukma memberi Ibuk cuti, nggak bisa kerja di sini dulu. Ibuk nggak bisa jalan." Aim menjawab. Uma hanya bisa mewek lalu lagi-lagi air matanya menganaksungai. "Cuti? Izin?" Raut Bu Sukma berubah. Ada empat bencana terjadi di rumah ini jika Naya tak masuk. Pertama, apa yang menimpa Naya sudah pasti bisa disebut bencana kesatu. Kedua, akibat dari bencana pertama, terciptalah bencana kedua. Telinga Bu Sukma akan kembali mendengar cuitan berisik si pemilih makanan. Kecuali, jika Laksa mau memakan spaghetti bolognese kesukaannya dari cafe di kota, tiga kali sehari. Apakah mengonsumsi spaghetti selama itu, menyehatkan? Ketiga, seisi rumah akan kedapatan pekerjaan baru mencari koki sementara untuk menggantikan Naya. Keempat, jika tak kunjung mendapat pengganti, Laksa yang tak berselera makan tetapi hobi minum itu, akan jatuh sakit seketika.  Rasanya tak hanya empat kesulitan yang akan mereka dapat. Mungkin lima, enam, atau sepuluh? Laksa tumbang, mandor buruh kehilangan arah, perekonomian goyah. Entah kenapa sekarang Bu Sukma baru sadar, jika telah bergantung pada si tukang masak lemah lembut itu. Dengan perasaan berdebar, Bu Sukma memberanikan diri bertanya lebih lanjut keadaan Naya. "Sekarang keadaan Ibuk gimana?" Aim dan Uma bersahutan menjelaskan kronologis kejadian satu jam lalu. Bu Sukma mendengarkan saksama jawaban polos nan logis Aim, berpadu kalimat berlebihan Uma, sang bungsu yang terlalu mengkhawatirkan ibunya. Bagai seorang manajer rumah tangga profesional, Bu Sukma sigap merevisi kembali pembagian tugas dapur dan seisi rumah. Pun meminta tolong Rustini dan tim asisten agar segera mengumumkan lowongan pekerjaan koki sementara ke seantero RW pun Desa. Mereka akan sibuk hari ini. Semoga tak ada yang lupa, jika Laksa harus tetap makan siang. ------------- Benar saja. Si Badan Besar pulang sebelum waktunya. Di siang terik, lantaran makanan yang dikirim ke proyek tak ada rasa. Rustini terbiasa memegang divisi luar negeri. Mondar-mandir antar RW, pasar, tukang sayur adalah kegiatannya. Sedangkan Risma, adalah pimpinan divisi kebersihan. Bergelut dengan sapu, kain pel adalah kemahirannya. Bagaimana pula mereka bisa menakar makanan jika sedang berpuasa? Letihnya pekerjaan membuat mereka tak berani mencicip barang sesendok pun. Takut, kalau-kalau justru mereka telan alih-alih dimuntahkan. "Kalian mau bergurau sama saya, ya?" Laksa melempar rantang ke wastafel dapur. Membuat dua tukang masak jadi-jadian itu berjangkit kaget. "Naya mana?" Terbata, Rustini menjelaskan detail kejadian untuk ke sekian kalinya. Laksa menarik napas berat. Ia kecewa kenapa tak ada seorang pun berkata jujur padanya. Atau menanyakan apa mau Laksa dan memilih menebak apa yang ia inginkan, tetapi dengan risiko ia tak akan suka. Berbeda dengan satu asisten rumah tangga yang mendadak menempati kategori favoritnya sejak beberapa bulan lalu. Ia rajin menanyakan menu jenis apa yang mau Laksa makan hari itu. Meski makin lama, tingkah si Badan Besar makin melonjak. Ia tak segan-segan meminta hal sulit pada Naya dan entah bodoh atau memang penurut, perempuan itu mengabulkan segalanya tanpa protes. "Pakai menu harian Naya yang lama! Jadi kalian nggak perlu nebak-nebak lagi saya maunya apa kalau kalian takut bicara dengan saya." "B-baik, Tuan." Laksa berbalik setelah dua langkah meninggalkan dapur. "Dan sekarang, saya mau spaghetti bolognese. Pedas! Belikan!" ------------- Uang Naya habis.  Sisa membeli cat waterproof, ia gunakan untuk membayar jasa Mak Urut. Astaga, semoga besok ada yang berbaik hati menjenguknya. Naya bukan sedang berharap jadi pengemis. Ia pantang meminta-minta pada orang. Sesepele meminta bantuan salah satu buruh Laksa untuk memasang genteng pun ia sungkan. Padahal jika ia mau, pasti Naya dapat menekan pengeluaran, lantaran di gudang Laksa pasti banyak sisa cat genteng waterproof yang ia bisa gunakan. Belum lagi mungkin salah satu dari Udin, Lik, Kris, atau Kus bisa membantunya memasang. Membalas jasa kebaikan Naya yang dengan senyum teduh mudah sekali memberi sisa nasi pun lauk, jika mereka ingin menambah buka puasa seporsi lagi. Bukankah Allah sebaik-baiknya penolong? Naya sedang berharap Allah menolongnya melalui para penengok yang biasa menyelipkan sejumlah uang dalam amplop yang diberikan pada si sakit.  Atau, Naya memikirkan bisa jadi Bu Sukma datang dan bersedia memberi belas kasih pada kedua anaknya. Setidaknya, ia tenang anak-anaknya tak akan kesusahan makan sahur dan buka puasa. Atau, Naya juga berharap Rustini beserta anggota Ikatan Asisten Rumah Tangga Laksa, mengadakan galang dana untuk membantu meringankan beban kesakitannya. Astaga, pikiran Naya makin jauh. Setidaknya ia masih punya beras 5 kg lagi di dapur. Sisanya mungkin lauk telur didadar tipis lalu potong enam bisa menjadi lauk mereka selama sehari. Semoga sisa telur lima biji di belakang cukup untuk seminggu. Jika tak cukup, semoga Aim tak lelah membantunya memasak nasi goreng. Jika lelah, mungkin makan nasi garam pun mereka biasa. Allah, mohon bantu Naya. -----------
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN