7. Minuman Wein

1136 Kata
"Buk. Ini Uma tahu. Ini namanya spaghetti. Persis seperti yang Ibuk bawa di puasa pertama!" ungkap Uma memberi informasi kalau-kalau si Ibuk lupa nama jenis makanan ini. Bagaimana tak persis? Ini spaghetti kesukaan bapak perumahan yang sedang duduk di depannya. "Sst ... Uma bisa diem nggak? Jangan malu-maluin deh!" sambar Aim. "Memang kenapa, Bang?" "Liat! Semua orang jadi liatin kita. Kayak orang katrok baru makan pertama kali di warung bagus," bisik Aim. Ya, ini pertama kalinya mereka makan di 'warung bagus' dengan semilir AC yang tak akan membuat mereka kegerahan meski kepedasan. Biasanya Aim dan Uma mentok diajak makan di warung tegal kala Naya gajian. Atau pilihan lain, Naya akan titip berbelanja bahan mentah pada Rustini untuk ia masak sebagai sarapan spesial. Layaknya resep di radio pun majalah bekas yang Naya pungut dari tetangganya, si pengepul rongsok. Mata Uma mengedar mengamati sekitar. Ia sontak berusaha menduplikasi tingkah laku pengunjung lain. Mereka makan dengan tenang. Tak ada ekspresi berlebihan seperti Uma yang baru pertama kali duduk di sini. Uma dan Aim saling pandang lagi. Mereka mengangguk. Oke, mereka akan menjaga sikap. Agar tak mempermalukan Tuan Laksa. Padahal Laksa tak peduli. Dua anak itu tak tahu saja jika Laksa sedang menyembunyikan salah tingkah bisa berada satu meja makan dengan seorang perempuan manis, dan dua anaknya. Dari ujung sedotan yang dimiliki warung bagus ayam goreng dengan menu spaghetti di dalamnya, mereka terlihat sangat kompak bagai keluarga bahagia beranak cukup dua. Keluarga Berencana barangkali? Menutupi canggung, Laksa makan dengan khidmat. Sesekali, ia membuang pandang asal tak bertubrukan dengan pasang mata indah Naya. Bukan hal aneh jika Laksa menaruh ketertarikan pada Naya. Semua lelaki jika disodorkan Naya pasti juga mau. Kulit putih bersih, badan sintal tertutup rapat oleh baju longgarnya, senyum Naya manis, mata kemilau bak mutiara, tak pernah bau keringat karena ia jaga benar kebersihan, sifat lemah lembut, tak pernah membantah, dan taat agama. Minusnya mungkin ia bodoh atau penakut atau entah, Laksa tak bisa menebak. Beberapa lain, pandangan orang tentangnya yang janda menjadi salah satu pertimbangan banyak keluarga di desa untuk meminang Naya. Padahal, tak ada yang bisa Naya lakukan untuk mencegah status itu tersampir padanya. Kematian suami Naya adalah ketetapan Allah. "Mau tambah?" Laksa menawari dua bocah kelaparan yang telah kosong piringnya. "Tuan kalau bawa pulang boleh nggak?" Mata Naya membola. Lagi, ia membekap mulut si kecil. Kemana sopan-santun yang telah Naya ajarkan bertahun-tahun lamanya pada Uma? Kembali lagi pada jawaban sebelumnya. Satu, urat malu Uma belum serta-merta sempurna selama 7 tahun. Atau dua, anak ini sedang mempraktekkan ajaran Naya soal kejujuran alih-alih berbohong demi kesopanan? --------------- "Nay, Bu Sukma tadi kesini 'kan? Ngomong apa?" Rustini datang keesokan hari, sebagai perwakilan ikatan asisten rumah tangga almarhum Tuan Latif. Menyampaikan uang jenguk yang mereka kumpulkan. Tak banyak, tapi itu justru yang Naya butuh. "Tanya kabar aja, Mbak. Katanya saya boleh cuti sesembuh saya. Kalau sembuhnya lebih dari seminggu ya nggak apa-apa." Tak hanya kabar. Alih-alih memberi uang yang akan merepotkan Naya jika harus berbelanja lagi, Bu Sukma mengirim bahan makan untuk bertahan selama seminggu. Telur, daging ayam, tahu, tempe, hingga panenan sawi hidroponik, juga kentang. "Lah. Penak banget kamu." "Penak gimana?" "Penak itu enak. Libur tapi gaji kamu nggak dipotong." "Yang benar, Mbak?" Bahagia Naya membuncah. Berita terakhir Rustini membuatnya membumbung tinggi ke angkasa. Astaga! Hanya karena gaji utuh, ia bagai tersengat setrum dan membangkitkan baterai hidupnya yang hampir habis. Baterai dompet. Setidaknya, ada secercah harapan bagi SPP Uma dan Aim bulan depan. "Tuan kemarin marah, Nay. Kamu udah bisa masak belum sih kalo sambil duduk? Opo bahan-bahannya aku bawa ke sini, kamu yang masak yo?" Rustini masih tak tega. Namun, tak ada lagi jalan keluar. Ia merasa sia-sia tiap Risma mencuci piring hanya untuk mengosongkan sisa masakan yang susah payah Rustini hidangkan pada Laksa. "Ini baru sehari, Mbak. Tadi sahur saya coba ceplok telur saja rasanya pegal. Lama-lama sakit. Saya coba sholat saja duduk bersandar." "Yaaah ... " keluh Rustini. Ia akan menebalkan telinga dan hati beberapa hari lagi. Demi kesembuhan Naya. --------------- Tiga hari terlewat. Kabar terbaru yang Naya dapat adalah si Badan Besar sakit. Sebesar-besarnya gajah, sekuat-kuatnya gading yang ia punya, akan tumbang juga jika tak diberi makan. Bukan tak diberi. Ini gajah pemilih sekali. Terlewat kekanakan tak melihat fisiknya yang membuat nyali para buruh menciut. Tak melihat rendah tone suaranya dimana jika keluar satu kalimat saja dari mulut itu, orang-orang seketika terpojok. "Lah gimana nggak sakit? Lha wong makannya aja itu alkohol. Wein Wein gitu. 'Kan ngerusak badan." "Wein apa sih, Buk? Enak nggak?" Naya menghela nafas panjang. Ia menyorot pada Aim. Bagai mendapat kode dari pemberi darah dagingnya, Aim segera mengerti maksud sang ibu. Ia bangkit. Menggandeng Uma untuk keluar. "Yuk, Uma. Cari kembang api!" Bukan mencari. Pun juga tak membeli. Status mereka hanya masih sebatas penonton yang kadang-kadang mendapat kesempatan memegang batang kembang apinya. Siapa tahu di luar, tetangga kontrakan, Nenes dan ayahnya sedang menyalakan kembang api lagi. Mengobati kilasan ingatan Aim dan Uma yang sedang rindu ... Bapak. -------- Seminggu terlewat. Rustini datang kembali membawa segepok uang dalam amplop. Bola mata Naya hampir menggelinding melihat seikat uang merah di tangannya. Tak hanya mata, namun tangannya pun ikut bergetar. "A-apa ini, Mbak?" Mata Rustini ikut terbata melihat gepokan itu di tikar ruang tamu Naya. Baru kali ini dua asisten karib memegang sesuatu yang tak pernah mereka bayangkan akan menyasar ke tangan mereka. "U-uang, Nay," Rustini menjawab dengan mata berkaca-kaca. Menikmati sensasi haru menyergap hatinya. Semoga kelak ia bisa mengumpulkan 5 kali lipat dari gepok ini agar bisa mendaftar haji. "Uang siapa maksudnya?!" Naya tak bisa lagi tak berteriak. Ia terlalu kaget. Pun jawaban Rustini tak memberi jawaban. Naya jelas tahu itu adalah uang. "Tuan." "Mbak Rus nyuri?" Rustini reflek menepuk bahu Naya. "Ngawur kamu!" "Lalu?" "Kamu disuruh ke dokter spesialis otot. Minta obat. Minta urut. Minta laser. Minta apa aja, kata Tuan terserah kamu. Besok udah harus sembuh dan masak lagi!" Astaga! Naya memijat keningnya. Naya bisa saja masuk. Tapi apa Bu Sukma dan Laksa mau memaklumi jika hanya masakan sederhana yang ia hidangkan? Pun ia lakukan dengan duduk? Takut makin merepotkan, Naya memutuskan akan kembali setelah sembuh benar. Naya bukan tuan putri. Bukan ratu. Dengan kondisinya, ia masih berusaha mencuci baju, menjemur, setrika baju sekolah, beberes rumah dan memasak menu sederhana. Meski ada Aim membantu, ia tak ingin menjadi ibu yang menyusahkan anak. "Spesialis otot dimana ya, Mbak?" Rustini mengedikkan bahu. "RSUD coba, Nay." Naya mengangguk. Siapa tahu benar di RSUD ada dokter spesialis otot punya obat mujarab hingga besok mungkin ia sudah bisa lompat kayang. "Ya sudah. Saya besok ke sana, Mbak." Naya mengambil separuh uang dari amplop. Dan menyerahkan sisanya ke Rustini. "Segini saja, Mbak. Sisanya Mbak Rus kembalikan ke Tuan. Ini lebih dari cukup sepertinya. Nanti Mbak bilang. Kalau sisa, Naya kembalikan saat masuk." -------------- Jangan lupa boom vote dari ep 1-belakang yak. Hehehe. Biar Mak dokter semangat update.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN