8. Sayur Bening Bayam Hambar

1128 Kata
"Makanlah, Sa! Kamu itu udah tua. Umur tiga puluhan harusnya udah punya anak istri, kerja giat, nggak kekanakan begini. Kamu itu kenapa sih, Nak? Ibu cuma mau kamu jadi anak sholeh. Kamu nggak sayang ya sama Ibu dan almarhum Bapak?" Laksa mual lagi. Ia memuntahkan makanan yang hanya dua sendok ia santap dari hidangan rumah sakit. Sayur bening bayam hambar, ayam bumbu kecap, dengan tahu kukus tak ada gurih-gurihnya. Alih-alih masakan Rustini, ini yang terparah. Meski kata dokter, menu ini paling tepat untuk penyakit hatinya. Bukan virus malarindu yang sedang menyerang hati Laksa. Bukan! Hati Laksa benar berpenyakit lantaran terlalu lama mengkonsumsi alkohol. "Nggak enak, Bu. Benar-benar nggak enak! Tolong ... tolong bawa makanan yang lain." Laksa sebenarnya lapar. Namun perut rata Laksa terus-menerus menolak diisi. Ia ingin makan spaghetti pedas tapi dokter tak mengizinkan. Mau mati cepat gara-gara nekat atau perlahan karena lapar? Laksa seperti tak tertolong meski ia berulang kali minta tolong. "Ibu nggak bisa bawa sembarang makanan dari luar, Sa. Ini organ penawar racun kamu sedang bermasalah. Ibu nggak mau ambil resiko." "Naya, Buk. Tolong suruh masak bening bayam. Samain saja menunya. Tapi Laksa mau ada bumbu. Nggak seperti ini." Pernah di hari kedua Laksa dirawat, Bu Sukma mencetuskan ide untuk membohongi Laksa. Laksa memakan masakan Rustini dengan mengaku hasil pekerjaan Naya. Namun nyatanya, tak membuahkan hasil. Laksa tetap tahu. "Naya masih sakit. Kata Rus kamu kasih dia uang buat berobat lagi 'kan?" "Saya mual, Bu. Tolong singkirkan," tangan itu menjauhkan suapan Bu Sukma dari mulutnya. Bu Sukma menghela nafas berat. Ia meletakkan kembali nampan berisi menu lengkap itu ke atas nakas. "Kenapa Naya sih, Sa? Kenapa kamu hanya mau masakan dia?" ------------ "Loh, Mbak Naya? Sama siapa?" Kris mendapati Naya duduk merenung di bangku lobi RSUD Kabupaten Gunung Jati. Sebuah tas kulit abal-abal yang sudah terkelupas kulitnya di beberapa bagian beserta amplop besar hasil bacaan Rontgen, teronggok cantik di atas pangkuan. "Kris? Kamu ngapain di sini?" "Tuan Laksa 'kan sakit, Mbak. Dirawat di sini." Naya tahu Laksa sakit. Hanya saja ia tak tahu jika penyakit Laksa parah hingga dirawat di RSUD. "Sakit apa, Kris?" "Sakit hati kata dokter." Naya tertegun. "Sakit hati? Sakit hati sampai masuk rumah sakit, Kris? Nggak ngaji ke ustadz aja?" Kris berdecak. "Ini hati beneran, Mbak. Hati yang di perut. Sampai kuning semua kulit Tuan." Naya menutup mulut yang menganga. Tak sanggup membayangkan seserius apa penyakit Laksa. Yang pasti ini parah. Pikirnya, penyakit parah saja tak sampai membuat kulit kuning. Ini pasti di atasnya parah. Naya bangkit perlahan setelah mengambil kruk di sebelah. "Kalau jenguk nanti ketularan nggak, Kris?" Kris menggeleng. Ia berbalik memimpin Naya ke paviliun pasien VIP RSUD Gunung Jati, dengan penuh tanya di kepala. Apa yang sebenarnya Naya lakukan di sini? ----- "Naya?!" Hampir saja Laksa meloncat dari ranjang jika tak tertahan oleh selang infus dan tubuh yang sedang lunglai. Pasalnya, baru kali ini ia dikejutkan oleh kedatangan seorang perempuan yang ingin menjenguk. Tak ada lagi perempuan di lingkaran hidup Laksa selain Bu Sukma, dan para asisten rumah tangga. Buruh juga sales Laksa semua jenis mahkluk berjakun, kulit kasar dan hitam. Tak ada indah-indahnya. Bagi Laksa, yang terindah, tercantik, dan terjaga, hanya Naya. Naya susah payah mendekat, seiring salam ragu pada Bu Sukma di sisi ranjang Laksa. "Kamu udah sembuh?" "Sudah, Bu." Jika Naya mengaku masih ada kebiruan pada punggung di depan Bu Sukma, pasti tak akan enak rasanya. Sudah diberi kesempatan berobat dua kali masa belum sembuh juga. Jadi, Naya mengangguk mantap meski kruk terlihat setia bertengger di kedua lengannya. "Yaudah Ibu duluan," ucap Bu Sukma setelah keheningan cukup lama. "Ayo, Kris! Temani Ibu ke kantin. Sekalian telepon rumah. Biar Rus masak dari sekarang!" "M-mau kemana, Bu? S-saya sebentar saja kok, Bu." "Lama juga nggak apa-apa," tepuk Bu Sukma sebelum melenggang keluar. Hati seorang ibu tak pernah meleset. Laksa memang tak pernah jujur dengan alasan mengapa tubuhnya hanya mau menerima masakan Naya. Namun, gerak-gerik dan sorot mata si pria jelas menunjukkan ketertarikan pada lawan jenis jika Naya berada di sekitar. Bu Sukma hanya ingin memberi mereka waktu berdua. Menghapus sejenak status majikan dengan asisten rumah tangga. Menyamarkan sementara status yang kini melekat sebagai seorang penjenguk dengan pasien. Hingga kelak, harapan Bu Sukma akan masa depan Laksa yang lebih berbudi dengan seorang istri baik hati, dikabulkan Yang Di Atas. "Kamu ... " "Saya ... " "Kamu dulu!" pimpin Laksa dalam kubangan canggung yang kembali melanda. "Semoga Tuan segera sehat," tutur Naya. Bukannya tujuan menjenguk adalah memang mendoakan orang sakit agar lekas sehat sedia kala bukan? "Hmm. Terimakasih." Lagi, pasang manik Laksa mulai mengedar. Ia tak bisa berlama-lama menatap Naya. Tak bisa, tapi ingin. #eaaa ... "Kamu ngapain di rumah sakit? Dilihat dari tidak adanya buah tangan sedangkan kamu bawa uang jutaan di tas, sepertinya tujuan utamanya bukan menjenguk saya 'kan?" Laksa terlalu jujur. Kuping Naya terbiasa panas mendengar kejujurannya sejak dulu. Satu anggukan Naya layangkan, cukup menjawab pertanyaan Laksa. "Beneran sudah sembuh? Sudah bisa masak?" Sekali lagi, Naya mengangguk dalam posisi menunduknya di bangku sebelah ranjang pasien. Perlahan, ia mencoba memberanikan diri mengangkat kepala. Mencari arah hingga tatapannya bertemu dengan pasang mata Laksa yang tajam. "Tuan, mau dimasakin apa?" Kepala Laksa menoleh, menunjuk tepat pada makanan di atas nakas. "Bisa masak seperti itu?" Naya melihat sepintas isi menu di nakas. Ia mengangguk lagi setelahnya. Sudah tiga kali Naya mengangguk. Mungkin jika satu kali lagi, Laksa akan memberinya piring cantik. Sungguh, wanita ini terlalu pendiam. Naya bangkit. Merasa kecanggungan membuat kepercayaan dirinya makin terjun bebas. "Kalau begitu, saya pulang. Saya masak dulu." Belum juga berbalik, Laksa menghentikan langkahnya. "Saya belum selesai bicara!" Orang sakit ini kebanyakan bicara. Dia sakit Malarindu atau Hepatitis sih? Membuat Naya kembali mendaratkan p****t di bangku. "Kamu belum jawab. Ngapain di RSUD?" "Tuan suruh saya cari dokter spesialis otot. Tapi saya nggak dapat. Maaf. Adanya penyakit dalam, spesialis tulang, dan syaraf. Saya tanya satpam dokter apa yang tepat untuk saya, dia malah bingung. Jadi saya duduk di lobi niat bertanya barangkali ada dokter lewat. Tapi malah ketemu Kris." Laksa memijat pelipisnya. Ia pusing memikirkan antara harus memaklumi keluguan Naya, pun kekuatan tubuhnya yang kini tergolek lemah tanpa bisa membantu si perempuan pencuri hati ini untuk mencari dokter. Setahu Laksa, tak ada spesialis otot. Jika Laksa terkilir kemungkinan ia akan datang ke spesialis syaraf. Ini Laksa yang kurang detail memberi info pada Rustini, atau Rustini yang terlalu pintar menyampaikan pesan Laksa pada Naya? "Tunggu di sini sampai Kris datang! Minta temani Kris." Naya kembali mengangguk. Selamat, Naya. Piring cantik bisa diambil di kediaman Laksamana Latif. "Saya sudah boleh pulang? Saya masaknya kapan?" Laksa menggeleng. "Mulai besok. Sekarang, ambilkan apel itu! Saya mau coba makan lagi." --------- "Apakah sakit ini karena Wein itu?" --------- ? Wein wein. Aku jadiin kamu jadi kambing hitam lho ya. Syudah tap love? Syudah follow akun Mak? Syudah add inst@gram ku?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN