“Jangan pernah kamu menyentuh pipinya dengan tanganmu itu!” Diah menatap Edera sangat tajam. Bahkan seperti samurai yang mampu menguliti musuhnya hidup-hidup.
“Apa hak mama untuk melarang aku? Dia ankku, bukan anak mama!”
“Apa kamu lupa jika Zenna juga cucuku?” tanya Diah semakin sengit.
Tatapan mata keduanya semakin tajam dan memanas pula suasana di dalam kamar Zenna. Gadis itu yang tidak tahu harus berbuat apa hanya bisa diam menyaksikan ke dua wanita dewasa itu bertengkar.
“Hanya sebatas cucu mah! Siapa memangnya yang membiayai hidupnya, aku juga ‘kan? Mama itu terlalu cerewet masalah rumah tanggaku.” Edera semakin frustasi dengan sikap Diah yang selalu mengaturnya.
“Janga mulut kamu Edera! Siapa yang melahirkan suami kamu itu? aku Edera! Asal kamu tahu, aku tidak akan pernah rela jika Danial bersamamu!” Diah menunjuk Edera tajam. Menegaskan bahwa Diah memang tidak pernah menyukai Edera, terutama sifatnya.
“Asal mama tahu juga, aku juga tidak sudi menganggap mama sebagai mertuaku!”
Diah begitu membenci Edera karena sifatnya yang tidak mau mengalah dan selalu saja membantah. Diah heran mengapa anak lelakinya itu begitu mencintai wanita sepicik Edera?
Edera tidak ingin perdebatan itu berlanjut semakin jauh, wanita itu memilih untuk pergi dari kamar Zenna. Di kamar itu hanya tinggalah Zenna dan Diah.
“Kamu tidak pa-pa, sayang?” tanya Diah semakin mendekat ke arah cucunya.
Zenna menggeleng pelan. “Zenna tidak pa-pa kok, nek. Maafkan Zenna, gara-gara Zenna nenek jadi bertengkar sama mama,” ucap Zenna penuh rasa bersalah.
“Tidak seharusnya kamu merasa bersalah seperti itu, sayang. Mama kamu memang seperti itu, jika tidak ditegur, mau sampai kapan akan bersikap seenaknya sendiri seperti itu,” jelas Diah mencoba menghilangkan rasa cemas di hati cucunya.
Zenna menghela napasya pelan, “Zenna juga pengen mama berubah, nek. Zenna pengen banget punya mama kaya temen-temen yang lain. selama tujuh belas umur Zenna, Zenna belum pernah merasakan hangatnya dekapan dari mama.” wajah Zenna berbah semakin sendu ketika mengingat betapa malang nasipnya.
Diah mengusap punggung Zenna guna menguatkan gadis itu. “Nenek akan selalu mendekapmu, sayang. Tidak akan ada seorang pun yang berani menyentuhmu selagi ada nenek di sampingmu.”
Tatapan Diah begitu lembut dan itu membuat Zenna sangat nyaman bila di dekat wanta itu. zenna mengulas senyumnya tipis ketika Diah tak henti menatapnya penuh kasih.
“Zenna sayang nenek,” ucapnya sembari memeluk Diah.
“Nenek juga sangat menyayangimu.”
Keduanya saling berpelukan hingga tanpa mereka sadari ada sepasang mata yang menatap haru. Seseorang itu adalah Danial, lelaki itu baru saja ingin memasuki kamar Zenna karena ingin memastikan keadaan gadis itu, namun pemandangan di depannya membuat langkahnya terhenti.
Denial merasa dirinya memang benar-benar tidak bisa diandalkan, sosok lelaki yang hanya bisa bersembunyi di balik tubuh sang istri. Ya, Danial tidak bisa membantah ataupun melarang semua keputusan Edera. Semua yang Edera putuskan menurutnya itu yang paling benar.
Danial ingin sekali masuk ke dalam kamar Zenna, lalu memeluk putrinya dengan hangat. Denial kehilangan semua masa-masa di mana Zenna kecil. Lelaki itu selalu saja sibuk dengan urusannya dan penyakit Lovinta dan kini tidak terasa waktu telah berjalan begitu cepat, hingga tidak menyadari Zenna semakin dewasa dan Danial semakin takut jika Zenna akan mencari tahu semua kebenarannya.
Tanpa ingin menganggu, Danial akhirnya memutuskan untuk turun ke bawah dan kembali melanjutkan kegiatannya yang sempat tertunda.
“Ini sudah malam, sebaiknya kamu istirahat.” Diah mengurai pelukannya.
“Iya nek, nenek juga jangan lupa istirahat. Zenna pasti sangat sedih jika nenek sakit.”
Diah menarik bibirnya membentuk bulan sabit. “Nenek akan langsung tidur, sayang. Kamu jangan khawatir.” Sebelum keluar dari kamar Zenna, Diah menyempatkan untuk mencium puncak kepala gadis itu sebagai ucapan selamat malam.
***
Diah berada di ruang tamu, di sana juga terdapat Danial tengah terduduk dengan kepala tertunduk. Diah sangat yakin anak lelakinya itu pasti sedang membunyai banyak masalah.
Diah menghampiri Danial dengan secangkir kopi hangat, berharap jika kopi itu masuk ke dalam tubuhnya bisa sedikit menyegarkan pikirannya.
“Sedang apa di sini?” tanya Diah sembari duduk di samping Danial dan tidak lupa meletakkan cangkit itu di hadapan Danial. “Diminum dulu kopinya!” perintah Diah lembut.
Denial langsung meminum kopi itu dengan sangat hati-hati, karena jika tidak maka lidahnya akan melepuh.
“Terima kasih, mah,” ucap Danial tulus.
“Sedang apa sendirian di sini? Memagnya besok tidak bekerja?” tanya Diah sembari mengusap lengan sang anak.
Danial menggeleng pelan. “Besok aku berencana untuk libur, mah. Rasanya tubuh Danial menginginkan istirahat.”
Diah menghela napasnya pelan, wanita itu sangat tahu bagaimana anak lelakinya itu menagnggung masalahnya sendiri. Istrinya pun nampak tidak peduli dengannya.
“Istri kamu ke mana?” tanya Diah mengamati sekitar namun tidak menemukan Edera di sana.
“Sudah tidur mah. Mungkin dia lelah,” jelas Danial.
“Lelah menggunjing Zenna setiap hari, maksud kamu itu?” sindir Diah tajam.
“Mah, sudah cukup! Denial tidak ingin berdebat dengan mama lagi.”
“Mama tidak menginginkan perdebatan, Danial. Mama hanya ingin kamu mulai adil dengan ke dua putrimu. Mereka semakin besar, jika mereka tidak mengurusi di hari tuamu bagaimana? Terutama Zenna, anak ke dua kamu itu juga butuh kasih sayang dan pelukan hangat dari ke dua orang tuanya.”
“Mah … sudah lah.” Danial mendesah lelah. lelaki itu nampaknya tengah menghadapi sesuatu yang besar, sehingga membuatnya seperti tidak mempunyai gairah untuk hidup.
“Mama sangat kecewa sama kamu, Danial. Padahal dulu mama dan papa selalu memperlakukan kamu dengan baik. Entah racun apa yang Edera berikan sehingga membuatmu menjadi setega ini kepada darah dahing kamu snediri.” Diah menatap kecewa pada anak lelakinya itu.
“Mah, ini sudah malam, sebaiknya mama tidur!” perintah Danial mencoba selembut mungkin. Danial sangat kacau hari ini, ditambah lagi sang mama yang selalu menceramahinya setiap waktu.
Diah pun mengangguk lalu melenggang pergi dari ruang tamu itu. wanita itu memilih untuk mengalah dari pada harus kembali bertengkar dengan sang anak. Bohong jika Diah tidak gemas melihat tingkah Danial, wanita itu bahkan ingin sekali memasukkan kembali lelaki itu ke dalam perutnya.
Edera terlihat berjalan ke arah suaminya, wanita itu mencoba menarik bibirnya membentuk senyuman ketika Danial menatapnya.
“Sudah malam mas, sebaiknya istirahat,” ucap Edera yang sudah duduk di samping Danial.
“Jadi, bagaimana apakah usulku tadi akan mas terima?” tanya Edera semakin mendesak Denial dan semakin bertambah pula beban pikiran lelaki itu.
“Aku masih memikirkan alasanya. Karena aku tidak mau berdebat lagi dengan mamaku sendiri,” ucap Danial suaranya nampak enggan membahas masalah itu lagi.
“Mas, aku tidak mau terus-terusan seperti ini! Aku juga ingin hidup bebas, selama mama kamu di rumah ini semua pergerakana aku diatur sama dia!”
“Iya, mas tahu, sayang. Nggak mungkin juga kan tiba-tiba mas nyuruh mama pergi dari rumah.”
“Itu urusan kamu, mas. Aku nggak mau tahu pokonya kamu harus usir mama kamu dari rumah ini!”
Tanpa keduanya sadari, ternyata Diah menguping pembicaraan itu dan semua yang dikatakan Edera dan Denial, wanita itu mendengar semuanya.
Sakit, hatinya sakit ketika mendengar Danial akan mengusirnya dari rumah ini. Memang benar ini rumah yang Danial beli dengan jerih payahnya sendiri, namun setega itukah anaknya sendiri mengusirnya dari rumah? Hancur sudah perasaan seorang ibu yang sudah bertaruh nyawa melahirkannya ke dunia. Rasanya sia-sia saja Diah melahirkan Danial.