10

1158 Kata
Zenna dikejutkan dengan teriakan Edera yang menggema ketika memanggil namanya. Zenna yang maru saja memejamkan matanya akan tidur itu kembali membuka ke dua kelopak matanya. “Ada apa, mah?” tanya Zenna ketika membuka pintunya dan tepat di depannya terdapat Edera berdiri di hadapannya. “Di luar ada tamu yang mencari kamu,” jawab Edera. “Siapa lelaki itu? masih kecil sudah pandai merayu lelaki ya?” sindir Edera tajam. “Lelaki? Siapa dia mah?” tanya Zenna lagi dengan kening mengerut. “Halah, nggak usah pura-pura nggak tahu kamu. Sudah sana temui lelaki itu, mama tidak mau mulut para tetangga menggunjug mama!” Edera melenggang pergi. Zenna menuruni anak tangga dengan rasa penasaran mengenai siapa lelaki yang Edera maksud. Zenna melihat punggung tegap lelaki itu yang tengah membelakanginya. Zenna melihat dengan jelas Lovinta juga terlihat bahagia ketika mengobrol dengan seseorang itu. “Itu Zenna!” seru Lovinta menunjuk Zenna yang terlihat mendekat. Senyum yang Zenna dipancarkan untuk Lovinta seketika lenyap ketika melihat siapa seseorang yang mencarinya itu. “Kak Nean? Kakak ngapain ke sini?” tanya Zenna dengan kening mengerut. “Zenna, lebih baik kamu duduk dulu. Kalo udah duduk kan enak ngomongnya,” ucap Lovinta menepuk sofa si sebelahnya untuk Zenna duduki. Zenna tersenyum kaku lalu duduk di tempat Lovinta menepuk sofanya. “Maaf ya, kakak ke sini tapi nggak bilang kamu dulu. Abisnya tadi kakak kirim pesan kamunya nggak bales,” jelas Nean. ‘Oh, jadi tadi itu nomornya kak Nean,’ batin Zenna. “tau nggak Zenn, temen kamu ini seru banget diajak ngobrol. Kenapa kamu nggak pernah cerita ke kakak sih?” tanya Lovinta nadanya penuh antusias. “Kak Nean ini bukan temen aku kak, tapi guru olah raga di sekolahan aku,” jelas Zenna. Lovinta membekap mulutnya sendiri karena terkejut. “Seriusan? Nean, katanya kamu temennya adikku? Tapi kata Zenna …?” tanya Lovinta beralih menatap Nean. “Aku sih udah anggap Zenna temen,” jawab Nean nampak tidak enak. “Kamu hebat banget ya Nean, umur dua puluh tahun tapi udah jadi guru olah raga. Mungkin kalo aku sehat-sehat saja, aku bisa sepertimu. Menggapai cita-cita dan belajar di berbagai belahan dunia, bisa mempelajari banyak budaya, dan bahasa.” “Wow, cita-cita kamu bagus banget. Kenapa nggak dicoba aja aku lihat potensi kamu untuk mewujudkan cita-cita kamu itu ada.” Lovinta menggeleng. “Aku tidak bisa.” “Loh, kenapa?” tanya Nean bingung. “kak Nean ke sini mau ngapain?” tanya Zenna mencoba mengalihkan pembicaraan. Zenna tidak ingin sang kakak memikirkan mimpinya itu lagi yang sudah pasti tidak bisa diraihnya. Zenna tidak ingin melihat kakaknya itu sedih lagi. “Mau main aja, nggak boleh ya?” Zenna menggeleng cepat ketika melihat raut kekecewaan tercetak jelas di wajah lelaki itu. “Tidak kak. Justru Zenna senang ada yang mau main ke rumah Zenna. Hanya saja Zenna tidak terbiasa dengan kehadiran laki-laki lain di rumah ini.” “Maaf, kakak tidak tahu.” “Nean, bolehkan kita berteman? Aku tidak punya teman selain adukku sendiri. Setelah banyak mengobrol denganmu nampaknya aku nyaman berteman dengan kamu,” ucap Lovinta wajah bahagianya membuat Zenna kembali membentuk senyumnya. Nean yang melihat Zenna tersenyum terpesona akan kemanisa anak muridnya itu. “Nean, kamu nggak denger aku ngomong apa, ya?” tanya Lovinta nadanya kecewa. Nean langsung tersadar dari lamunannya. “Maaf, tadi kamu bilang apa?” tanya Nean nampak tidak enak hati. “Apa boleh kita temenan?” tanya Lovinta, namun lagi-lagi tidak kunjung mendapat jawaban dari Nean. “Kalaukamu keberatan berteman denganku, tidak pa-pa.” Lovinta menunduk kecewa. “Kak, pastilah kak Nean mau berteman dengan kakak. iya kan kak Nean?” tanya Zenna pada lelaki itu. Nean mengangguk cepat. “Pasti. Kenapa kamu bertanya seperti itu sih? Aku tidak pernah memilih teman kok. Mulai sekarang kita bertiga adalah teman.” “Kenapa Zenna termasuk di dalamnya?” tanya Zenna menunjuk dirinya sendiri. “Kenapa tidak? Banyak teman itu lebih bagus,” ucap Lovinta. “benar apa yang dikatakan Lovinta, banyak teman semakin asyik.” Nean menimpali. Zenna tidak pernah mempermasalahkan teman banyak, namun yang gadis itu takutkan hanyalah Edera, wanita itu pasti akan selalu melarang kegiatan yang Lovinta lakukan di pertemanan baru ini. “Zenna, gimana? Kamu setuju ‘kan?” tanya Lovinta sedikit mendesak Zenna untuk berkata ‘iya.’ “Zenna mengangguk lalu tersenyum. “Iya kak, Zenna mau kok.” Lovinta dan Nean terlihat saling menatap dan saling melempar senyum pula. Zenna dapat melihat pancaran kebahagiaan dari wajah Lovinta ketika menatap Nean. Mungkin tidak ada salahnya jika Zenna mempersatukan mereka berdua. Setelah kepergian Nean, Lovinta masih saja asyik membicarakan lelaki itu. mulai dari kesehariannya waktu mengajar bagaimana, sifatnya kepada anak murid itu seperti apa, dan lain sebagainya. “Iya, kak Nean itu baik kok kak. Nyaris tidak pernah memarahi anak muridnya,” jelas Zenna dihadiahi senyuman oleh Lovinta. “benarkah?” tanya Lovinya penuh antusias. “Apakah banyak anak murid yang suka padanya?” Zenna mengangguk ragu. “Banyak yang mengidolakannya.” Wajah bahagia Lovinta seketika meredup. “Wajar sih kalau banyak yang mengidolakan sosok Nean, dia itu lelaki idaman aku banget, Zenna. Kamu mau ya bantuin aku buat deket sama dia,” pinta Lovinta memohon. Zenna mengangguk dengan senyum yang mengembang membingkai wajahnya. “Zenna akan membantu sebisa mungkin kak.” Zenna senang, akhirnya misi untuk mendekatkan antara Lovinta dan Nean tidak akan sulit. Mengingat kakaknya itu juga menaruh rasa pada lelaki itu membuat pekerjaan Zenna semakin mudah. “Lovinta, sayang. Apa kamu sudah meminum obatmu malam ini?” tanya Edera yang sudah berada di ambang pintu kamar milik Zenna. Lovinta menggigit bibir bawahnya. “Belum mah,” ucap Lovinta menggeleng pelan dengan mata tertunduk. Gadis itu sangat takut jika Edera akan memarahinya karena terlambat meminum obat akibat terlalu asyik membicarakan Nean. Edera menghela napasnya pelan. “Lupa dengan pesan dokter Lan? Kamu itu harus rutin meminum obat supaya cepat sembuh.” Lovinta mengangguk. “Iya mah, Lovinta akan meminum obatnya sekarang.” Setelah berucap seperti itu, Lovinta beranjak dari kasur Zenna lalu pergi dari kamar adiknya. Edera masih menatap Zenna dengan tajam setelah Lovinta benar-benar masuk ke dalam kamarnya. “Kamu itu selalu saja membuat Lovinta melupakan meminum obatnya. kamu senang ya jika kakak kamu itu tidak sembuh?” tanya edera nadanya terdengar sinis. Zenna menghela napsnya pelan, gadis itu sudah lelah dengan semua ini. “Kenapa harus Zenna yang selalu mama marahi? Mama nggak pernah tuh marah sekali aja sama kakak. Zenna juga sakit mah, waktu mama paksa Zenna operasi, apa mama pernah bertanya tentang kondisi Zenna? Enggak ‘kan? Mama itu egois!” Zenna meluapkan segala apa yang ada di dalam hatinya. Namun, tidak ada setetes pun air mata mengucur membasahi pipinya, yang terlihat jelas di wajahnya hanyalah tatapan keberanian untuk mengutarakan perasaan hatinya yang selalu saja dikesampingkan. “Dasar anak tidak yahi diuntung!” “EDERA!” Diah menepis tangan Edera yang hampir saja melukai pipi cucunya. Wanita itu sungguh tega ingin menampar anaknya sendiri. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN