Pagi hari pun tiba, Diah sudah siap dengan tas ransel di tangannya yang berisikan baju di dalamnya. Wanita lanjut usia itu akhirnya memutuskan untuk pergi dari rumah anaknya sendiri setelah mendengar pembicaraan yang tidak mengenakan hatinya malam itu.
“Loh, mama mau kemana?” tanya Danial nampak terkejut karena Diah membawa tas ranselnya serta pakaiannya sudah rapih seperti ingin bepergian.
“Bukannya kamu pengen mama pergi dari rumah ya? nggak perlau melakukan cara apa pun untuk mengusir mama dari rumah, karena mama sudah sadar diri jika kehadiran mama di sini memang tidak diinginkan, keculai ke dua cucuku,” ucap Diah tanpa menoleh sedikit pun ke arah Danial.
Danial bangkit dari duduknya lalu merebut tas ransel itu dari tangan Diah. “Mama tidak boleh pergi!”
Diah terkejut ketika ransel itu sudah berpindah tangan. “Kamu tidak bisa mencegah mama, Danial.” Wanita itu merebut tasnya kembali.
“Mah, Danial mohon, mama jangan pergi. Ini rumah Danial, otomatis menjadi rumah mama juga. Denial sangat senang mama berada di sini,” ucap Danial tatapannya penuh memohon.
“Itu mungkin kamu, tapi tidak untuk istri kamu.” Diah menatap Edera yang tengah mengoleskan selai roti itu dengan tajam.
“Istri kamu tidak akan pernah senang jika mama berada di rumah kamu. Mama pamit pergi.”
Diah kembali melangkah keluar rumah, namun Danial menahan pergelangan tangan wanita itu. “Mah, Danial mohon jangan pergi. Maafkan ucapan Danial semalam, pasti perasaan mama sakit.”
“Sakit hati mama sama kamu sudah tidak bisa diukur lagi, Danial. Mama terlalu kecewa sama kamu.” Tatapan tajam Diah berubah sedih ketika mengingat betapa teganya sang anak kepadanya.
“Nenek mau kemana?” tanya Zenna yang baru sama menginjak anak tangga yang paling terakhir.
“Nenek akan pulang, sayang. Jaga diri kamu baik-baik,” ucap Diah matanya sudah berkaca-kaca.
“Kenapa secepat ini, nek? Biasannya nenek di sini lama.” Zenna memandang Diah dengan air mata yang sudah mengucur deras membasahi pipinya.
“Nenek ada urusan sedikit di kampung, secepatnya nenek akan kembali lagi ke sini,” jelas Diah dengan pandangan mata yang tidak lepas dari Edera di sebrang sana.
“Benar apa yang dikatakan Zenna, mah. Mama tinggal sebentar di sini ya?” Danial masih saja merayu wanita itu untuk tetap tinggal, namun keputusan Diah sudah bulat beserta rasa kecewanya.
“Mama akan tetap pulang!” final wanita itu tanpa bisa dirubah.
Danial harus menyaksikan punggung wanita yang sudah melahirkannya dengan tatapan nanar. Wanita itu pergi seorang diri menuju stasiun kereta api tanpa ingin ditemani. Denial ingin sekali mengutuk dirinya sendiri karena telah menyakiti hati Diah.
“Sudahlah mas, nanti juga mama pasti main lagi ke sini,” ucap Edera yang masih sibuk dengan helaian roti di depannya.
“Pasti ini gara-gara mama ‘kan? Kenapa sih mah, kenapa mama tidak pernah suka jika nenek di sini?” tanya Zenan yang mulai meninggikan suaranya.
“Kecilkan nada suaramu ketika berbicara dengan orang tua, Zenna!” peringat Edera dengan nada tinggi pula.
“Bukankah berbicara dengan nada tinggi dengan orang tua itu juga salah satu ajaran yang mama berikan untuk Zenna?” tanya Zenna. “Mama selalu berbicara dengan nada tinggi sama nenek!”
“Cukup Zenna!” kali ini suara Danial yang meninggi.
“Dan untuk papa, papa itu anak yang paling tega sama orang tuanya. Jika Zenna meninggalkan mama dan papa saat kalian sudah tua nanti bagaimana? Jika itu terjadi, maka jangan salahkan Zenna karena itu merupakan buah dari perbuatan kalian!” setelah meluapkan emosinya, Zenna keluar dari rumahnya tanpa membawa bekal apa pun.
Zenna sangat kecewa dan akan selalu kecewa, sepertinya. Keluarganya itu entah terbuat dari apa hatinya sehingga bisa sekeras itu. terutama Edera, mamanya itu memang sudah tidak mempunyai hati nurani sedikit pun.
Sementara itu di dalam rumah besar itu, Edera dan Denial masih saling terdiam. Di ruang makan itu hanya terdengar suara denting sendok dan piring yang beradu serta detik jam yang terus saja berputar.
“Mah, pah. Kok sepi? Nenek sama Zenna kemana?” tanya Lovinta yang baru saja turun dari anak tangga.
Edera mendongak menatap putrinya dengan senyum hangatnya. “Kamu mau sarapan apa sayang? Biar mama buatkan,” ucap Edera mengabaikan pertanyaan Lovinta.
“Mah, Lovinta bertanya kenapa tidak dijawab?” tanya gadis itu lagi lebih mendesak.
Danial menghela napasnya pelan. “Nenek baru saja pulang ke kampunya, sayang. Ada sesuatu yang harus diselesaikan,” jelas lelaki itu.
“Kenapa nenek tidak bilang sama Lovinta?” tanya gadis itu dengan tatapan sedih.
“sudahlah, nenek pasti akan kembali lagi,” ucap Edera mencoba menenagkan putrinya.
Lovinta mengangguk pelan. “Semoga urusan nenek segera selesai, agar cepat kembali ke rumah ini. Jujur saja Lovinta belum cukup puas bercerita sama nenek.”
Edera kembali menghela napasnya pelan, wanita itu tidak tega jika melihat anaknya terpuruk seperti ini.
“Nenek akan segera kembali, sayang. Jadi, tenanglah, kamu masih bisa bercerita banyak sama nenek kamu itu.” Edera mencoba merayu Lovinta agar anak gadis itu tidak bersedih lagi.
Lovinta pun mengangguk, “Iya mah. “ Lovinta menyuapkan potongan roti itu ke dalam mulunya. “Loh, Zenna kemana mah?” tanyanya dengan mulut yang penuh hingga suaranya tidak terdengar dengan jelas.
“Adik kamu sudah berangkat ke sekolah tadi, karena ada tugas yang belum selesai,” jelas Edera malas.
Danial tersenyum ke arah Lovinta, “Benar apa yang dikatakan mama kamu, Zenna sedang ada tugas. Setelah selesai sarapan, jangan lupa obatnya diminum ya.”
Lagi-lagi Lovinta mengangguk dengan senyuman. “Siap bos!”
Edera begitu bahagia jika melihat anaknya tersenyum bahagia seperti ini, seolah gadis itu tengah baik-baik saja, padahal penyakit mematikan berada di tubuhnya. Jika mengingat penyakit itu, Edera menjadi sedih dan sesak di dalam dadanya. Putri yang begitu disayanginya harus menerima takdir sepahit ini.
Suasna di meja makan itu kembali hangat ketika Lovinta sudah berada di tengah-tengah antara Edera dan Denial. Keadaan sudah tidak sesunyi tadi sebelum gadis itu datang.
Edera bersyukur hadirnya Lovinta bisa membuat suasana sarapan kembali hangat dan bisa membuat Danial tersenyum dan melupakan perginya Diah.
“Mas, nanti kamu nggak kerja ‘kan?” tanya Edera memecah keheningan.
“Entahlah, lihat saja nanti,” jawab lelaki itu nampak acuh.
Edera menghela napasnya pelan. “Kalau mau berangkat kerja, bilang dulu sama aku. Biar aku siapin semua perlengkapan kamu.”
“Kenapa tiba-tiba peduli?” tanya Danial menatap Edera dengan kening mengerut.
“Aku hanya ingin berubah menjadi lebih baik, mas. Apa itu salah?”
“Sudahlah, aku sudah tidak bernafsu lagi untuk sarapan.” Danial beranjak dari duduknya lalu melangah pergi meninggalkan meja makan.
“Mah, papa kenapa?” tanya Lovinta penuh tanda tanya.
Edera mengulas senyum tipis agar Lovinta tidak semakin khawatir. “Tidak pa-pa sayang, papa kamu lagi banyak pikiran, jadi responnya seperti itu,” jelas Edera.
Lovinta mengangguk dan kembali menikmati sarapan paginya yang dibuatkan oleh Edera.