"Widihhh, ini dia artis papan atas kita, akhirnya dateng juga!"
Sambutan itu didapat oleh Harlan begitu dirinya sampai di sebuah table yang ada di salah satu kelab malam private khusus untuk orang-orang kelas atas di ibukota.
Yang menyambut adalah teman-teman Harlan yang memang sudah menunggunya disana. Harlan langsung mengajak mereka fist bump satu per satu sebelum dirinya bergabung untuk duduk bersama empat orang temannya itu.
"Ngaret banget lo anjir," komentar Mikail, salah satu teman Harlan yang kebetulan duduk di sebelahnya. Laki-laki itu menyikut Harlan. "Abis ngapain lu?"
Eno, manajer Harlan yang juga berada disana dan sudah sampai duluan pura-pura batuk. "Biasalah, abis nganterin dedek gemes pulang ke rumah tuh," sindirnya.
Harlan mendelik pada manajer sekaligus temannya itu, "Bacot."
Eno menyeringai menyebalkan, sementara teman-teman Harlan yang lain tertawa. Mudah bagi Harlan untuk menebak jika sebelum dirinya datang, pasti dia sudah jadi bahan gibahan teman-temannya ini. Dan Eno lah yang menjadi sumber informasi bagi mereka.
Memang si Eno in manajer paling kurang ajar sedunia.
Harlan mendengus keras. "Anjir lah lo pada."
Padahal, Harlan baru sampai kesini dan langsung menerima perlakuan menyebalkan dari mereka. Andai saja bukan teman yang sudah akrabnya sejak bertahun-tahun lalu, Harlan pasti sudah menggunting bibir mereka satu per satu.
"Wah, apakah ini hilal kalau Bang Harlan bentar lagi bakal nyusul gue?" Lintang, si punya acara malam ini yang sedaritadi hanya tertawa kini ikut bersuara.
"Iya nih, Lan, beneran mau ngelepas masa jomblo nih?" Diikuti oleh Willy yang juga baru bersuara sejak Harlan bergabung dengan mereka.
"Sembarangan lo pada!" Eno justru yang menjawab. "Orang cewek yang dia taksir aja belum lulus SMA."
"Ih, anjir lah Harlan p*****l," ejek Mikail.
Lintang bergidik ngeri. "Kenapa cewek yang lo taksir nggak ada yang bener sih, Bang? Waktu dulu-dulu itu naksir bininya bos lo, terus sekarang naksir anak SMA? Kayak nggak ada cewek lain aja."
Willy lagi-lagi hanya tertawa karena Harlan yang terus diejek.
"Heh, kemarin yang gue taksir itu belom jadi bini bos gue ya. Lagian, kemarin gue nggak naksir-naksir amat kok."
"Tetap aja ditikung, which is payah banget."
Harlan mendengus keras pada Lintang. "Itu karena nggak gue seriusin banget ya, lagian waktu itu gue juga lagi sibuk, nggak ada waktu buat mepet cewek."
"Halah alesan, bilang aja kalau kemarin lo tuh kalah saing sama bos lo."
"Ya, wajar sih. Bosnya lebih kaya," celetuk Mikail.
"Atau mungkin, ilmu modusin ceweknya Harlan udah luntur." Eno menambahkan.
"Bacot lo semua," sungut Harlan.
Dia heran sendiri kenapa teman-temannya bisa kompak mengejeknya seperti ini. Padahal, Harlan baru saja sampai. Dan seharusnya yang menjadi bintang pada pertemuan mereka malam ini bukanlah Harlan, melainkan Lintang. Sebab malam ini mereka berkumpul dalam rangka bachelor party Lintang yang akan menikah dalam hitungan hari bersama perempuan yang sudah dipacarinya sejak SMP.
Kalau tau akan jadi bahan ejekan seperti ini, Harlan pasti tidak akan datang terlambat. Supaya teman-temannya ini tidak memiliki bahan untuk mengejeknya.
Untung saja mereka sudah dianggap sebagai orang-orang terdekatnya karena jaman kuliah dulu, mereka satu kosan dan lama tinggal bersama sehingga bisa jadi sangat akrab. Sehingga Harlan tidak tersinggung sama sekali dengan semua ejekan mereka dan hanya menganggapnya sebagai angin lalu.
"Jadi, lo beneran naksir sama anak SMA nih, Lan?"
Astaga, kali ini Willy yang menanyakan itu. Padahal, di antara teman-teman yang sudah dikenalnya jaman kuliah ini, bisa dibilang Willy ini paling kalem dan paling enggan ikut-ikutan mengejek. Tapi, si Willy bahkan ikut penasaran sekarang.
Harlan menghembuskan napas lelah. "Nggak usah percaya sama Eno," elaknya.
"Gimana bisa nggak percaya sih? Eno kan manajer elo, kemana lo pergi dia ikut, ya jadi Eno pasti bisa mengamati dengan baik dan nggak mungkin salah lah!" Ujar Mikail.
Eno menepuk-nepuk dadanya. "Iya, pengamatan gue pasti bener."
Lintang menggeleng-gelengkan kepala sambil menyesap martini dari gelasnya. "Bang, sadar dong. Umur lo udah dua delapan tahun ini, masa lo naksir anak SMA sih? Ya emang sih Valerie cakep banget. Setengah bule kan dia? Tapi tetep aja dong, inget umur. Jangan jadi p*****l gitu lah, entar lo viral terus dihujat netizen! Jadi sugar baby aja mendingan, lo dilindungin tante-tante terus dikasih duit."
Mikail langsung ngakak. "b*****t lu Lintang."
Lintang nyengir saja tanpa dosa, sementara Harlan jadi berkeinginan untuk melemparnya dengan botol vodka yang ada di meja mereka.
Ini lah salah satu alasan mengapa Harlan memilih diam, bahkan menyangkal perasaan sukanya terhadap Valerie. Sedari awal ketika sadar dirinya suka pada Valerie, Harlan tahu jika perbedaan usia mereka akan jadi masalah. Terlebih lagi, Valerie masih berstatus sebagai siswa SMA, terlepas sikap dan pembawaannya yang mungkin terkesan lebih dewasa. Harlan tentu tidak mau dicap sebagai p*****l karena menyukai seseorang yang bisa dikatakan masih minor atau di bawah umur.
Selama ini Harlan mencoba diam-diam saja perihal perasaannya. Ia hanya menunjukkan perasaan itu lewat sikap baiknya kepada Valerie, itu pun seminimal mungkin. Tapi, bisa-bisanya Eno sadar dan langsung menuding Harlan begini, padahal Harlan saja tidak mengiyakan. Jadilah, Harlan menjadi bukan-bulanan teman-temannya ini.
Dan kalau mereka sudah bersatu, mana bisa Harlan melawannya?
"Guys...jangan gitu dong," ujar Willy kemudian, menghentikan tawa dari Eno, Mikail, dan Lintang. "Kalian puas banget kayaknya ngejekin Harlan. Padahal, kalaupun memang Harlan suka sama Valerie ya mau gimana? Namanya hati mana bisa dikontrol sih maunya suka sama siapa?"
Harlan langsung meraih tangan Willy dan menjabatnya usai pembelaan yang dikatakan oleh Willy padanya.
"Emang cuma lo doang yang temen gue, yang lainnya babi," katanya.
Eno, Lintang, dan Mikail masih saja tersenyum mengejek pada Harlan, sama sekali tidak tersinggung meski disebut sebagai hewan ngok ngok ngok.
Harlan mendelik pada mereka. "Udah deh, nggak usah ngebahas gue lagi. Kita ngumpul kan karena si Lintang mau kawin," ujarnya mengalihkan pembicaraan.
"Nikah, Bang, bukan kawin. Kalo kawinnya sih udah lama duluan." Lintang mengoreksi.
Willy geleng-geleng kepala. "Jujur amat."
Linteng cengengesan saja, lantas dirinya menuangkan minuman ke masing-masing gelas teman-temannya.
"Gue hari ini mau minum sampe wasted sebagai bujang. So, cheers!"
Mengikuti arahan dari Lintang, mereka pun mengangkat gelas masing-masing dan bersulang. Sesi minum-minum mereka pun dimulai, seperti yang memang direncanakan untuk bachelor party Lintang ini.
Berbeda dengan Lintang yang minum seperti orang kesetanan, disusul oleh Mikail yang juga begitu, Harlan lebih memilih untuk minum sedikit. Ia tidak berencana untuk mabuk karena masih harus menyetir nantinya. Selain itu, ia juga pasti harus mengurus Lintang dan Mikail yang sudah bisa dipastikan akan wasted.
Sembari minum, obrolan mereka pun mengalir. Kisah Harlan tak lagi menjadi topik pembicaraan di antara mereka. Kini pembicaraan mereka terfokus pada Lintang yang sebentar lagi akan menjadi yang pertama melepas status lajang di antara mereka. Padahal, Lintang paling muda di antara mereka semua yang seusia.
"Kalau kata gue, lo tuh nikahnya cepet banget." Begitu ujar Mikail. "Masih muda juga."
"Halah, lo ngomong gitu karena ngerasa kalah saing kan? Soalnya, lo yang lebih tua malah masih jomblo ngenes," sahut Harlan salty.
"Ngaca dong, bangsat."
Lintang yang sudah tipsy nyengir. Sambil mengangkat gelas minumannya, ia pun membalas omongan Mikail tadi, "Lebih cepat lebih baik, Bang. Gue sama Yuki kan udah lama banget pacaran, kita juga udah sama-sama siap, dan gue juga udah jadi Youtuber kaya raya sekarang. Jadi, ngapain nunda-nunda?"
"Anjir, sombong," cibir Eno.
"Satu babi terpantau iri." Harlan kembali menyahut salty.
Eno hanya memutar bola mata jengah pada Harlan.
Kemudian, Lintang menunjuk Harlan, Mikail, dan Willy satu per satu. "Kalian semua kapan mau nyusul?"
"Kalo gue sih udah ada rencana, tapi mau nunggu cewek gue kelar S2 dan balik ke Indonesia." Willy yang memang sudah punya pacar yang tengah menempuh pendidikan di negeri Paman Sam menjawab kalem.
"Gue sih nunggu jodohnya dateng," jawab Mikail sambil cekikikan geli. Sudah tipsy juga dia.
"Kalau Eno nunggu istri orang cerai dulu," ujar Harlan.
Eno langsung nyolot. "Kalau lo nunggu anak orang dapet ijazah SMA dulu ya?"
Harlan diam saja dan memilih melengos. Ia tidak ingin menjawab apa-apa, toh sampai sekarang dirinya juga sama sekali belum berpikiran untuk menikah dan masih ingin fokus bekerja.
"Kalau begini mah, fix yang bakal nyusul gue duluan Bang Willy," ujar Lintang akhirnya. "Tapi kalau ada keajaiban, bisa aja Bang Harlan sih."
Harlan hanya mengangkat bahu dan tertawa karena yang diucapkan oleh Lintang yang mulai mabuk itu sungguh tidak akan terjadi.
Lalu, ketika Harlan mengedarkan pandangannya ke sudut lain dari kelab malam ini, tanpa sengaja ia melihat seseorang yang menarik perhatiannya. Dari sekian banyak kepala orang-orang disini, jelas yang rambutnya berwarna terang pasti akan lebih mencolok.
Dan orang yang berhasil menarik perhatian Harlan itu berambut pirang. Orang itu...Gema. Duduk sendirian di salah satu kursi yang berada langsung di depan meja bar.
Harlan menyipitkan mata, memfokuskan pandangannya pada Gema yang figurnya hanya bisa dia lihat dari samping. Setelah yakin, Harlan sedikit tidak menyangka akan bertemu perempuan itu lagi disini. Ada apa dengan kebetulan yang terus membawa mereka bertemu dua hari ini?
Sayangnya, Harlan sedang tidak mood untuk merecoki perempuan itu. Lagipula, jika ia mendekati Gema, teman-temannya pasti akan meledek. Harlan pun memilih untuk bodo amat dan fokus pada teman-temannya.
Namun, baru beberapa detik berlalu, tanpa sadar pandangan Harlan kembali kepada Gema lagi. Memerhatikan perempuan itu yang terus-menerus minum. Dan parahnya, tidak ada seorang pun yang menemani Gema.
"Ck, dia sendirian?" Gumam Harlan.
"Kenapa, Lan?" Tanya Willy yang mendengar gumaman Harlan.
Harlan hanya menggelengkan kepala. "Bukan apa-apa."
Lagi, Harlan mencoba untuk tidak peduli. Akan tetapi, lagi-lagi juga pandangannya kembali tertuju pada Gema. Jujur saja, Harlan sedikit worry jika memang Gema datang sendirian ke tempat ini. Terlebih lagi, pakaian perempuan itu sekarang cukup revealing. Dan Harlan jelas tau apa yang ada di pikiran laki-laki di tempat ini jika melihat perempuan seperti Gema.
Sesuai dugaan Harlan, tidak lama kemudian muncul dua orang laki-laki yang mendekati Gema. Terlihat sekali jika Gema tidak mengenalnya, karena perempuan itu nampak risih dan beberapa kali menepis mereka yang mencoba untuk menyentuhnya.
Harlan berdecak.
"Anjir lah," gumamnya, cukup keras untuk didengar semua teman-temannya.
Mereka semua menoleh pada Harlan.
"Kenapa lu?" Tanya Mikail.
Tanpa menjawab, Harlan bangkit dari duduknya guna melangkah menuju tempat Gema sekarang.
Baru beberapa langkah dirinya pergi, samar-samar dirinya mendengar suara Mikail, "Wah, mau deketin cewek dia."
Disusul dengan teriakan Lintang, "Mau beraksi nih, Bang? Lo lagi birahi ya?"
Harlan mengabaikannya saja dan justru mempercepat langkah hanya untuk mencekal tangan laki-laki asing yang hendak kembali menyentuh Gema tanpa izin.
Laki-laki itu terkejut dengan tindakan Harlan, sementara Harlan sudah menatapnya dingin.
"Excuse me?" Ujar laki-laki asing yang menurut Harlan mirip jamet.
Cekalan Harlan pada tangan laki-laki itu menguat seraya ia berujar, "You better f**k off. She's with me."
Dan tepat setelah Harlan mengatakan itu, Gema menoleh padanya. Lalu, Gema tersenyum dengan mata berbinar-binar pada Harlan.
"Jagaaaattt!!! Long time no see!"
Lalu, Gema memeluk Harlan, membuat tidak hanya Harlan saja yang kaget, tapi juga dua laki-laki asing itu sehingga mereka langsung pergi tanpa Harlan suruh.
Harlan berdecak.
Gema benar-benar mabuk.