Wanita pilihan

1801 Kata
"Apa... Kamu... Hamil...??" Tiga kata yang diucapkan Afifah membuat pertahanan seorang Zahra hancur. Seluruh tulang dalam tubuh nya melemah. Seolah tak punya energi lagi untuk menopang bobot tubuhnya. Wanita itu terus membuang air matanya. Entah apa yang harus dia lakukan saat ini. Sungguh semuanya terasa begitu sulit. Wanita itu membiarkan tubuhnya terduduk di lantai. Menikmati dinginnya lantai yang membekukan perasaannya. Kini Zahra merasa sangat terhina. Zahra merasa sangat kotor. Bahkan tangisannya sudah tak mampu mewakilkan hancurnya perasaan seorang Zahra. Ya... Zahra hamil... Dia hamil diluar nikah... Zahra merasa seperti w************n yang kebobolan. Bahkan dia dihamili pria yang tak dikenal. Kemana dia harus meminta pertanggungjawaban? "Zahra... Katakan padaku... Jujurlah... Aku akan menjaga rahasiamu. Percayalah pada ku..." Ucap Afifah dengan hati berdebar dan dengan sabar menunggu jawaban Zahra. Cukup lama mereka terdiam. Bahkan rasanya rasa sabar di hari Afifah mulai terkikis karena hanya melihat tangisan Zahra. Afifah pun mengguncang bahu Zahra. Dia tidak tenang melihat Zahra yang hanya menangis dalam bisu. "Zahra..." Ucap Afifah lembut. Afifah sudah mensejajarkan diri nya pada Zahra. Dia duduk di samping Zahra. Ikut menikmati dinginnya lantai. Zahra menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Dia menggelengkan kepalanya dengan kuat. Hal itu tentu saja membuat rasa khawatir di hati Afifah semakin berkembang. Afifah tidak sanggup melihat kehancuran wanita di hadapannya. "Zahra.." Ucap Afifah kembali. Sentuhan lembut di bahu Zahra membuat Zahra sedikit tersentak. Namun wanita itu tetap menundukkan wajahnya. Melihat keraguan Zahra, Afifah mengangkat dagu Zahra. Memandang wajah sembab wanita cantik dihadapannya. "Iya... Afifah... Aku... Hamil... Aku sudah... Mempermalukan... Keluarga kita... Hiks... Aku sudah mengecewakan... Hiks... Abi dan Ummi... Hiks... Dalam rahim ini ada nyawa yang dititipkan padaku... Hiks..." Ungkapan terbata-bata yang diucapkan Zahra cukup mewakilkan bahwa Zahra tidak bersalah. Afifah yakin Zahra hanya korban. Afifah sangat terkejut mendengar jawaban yang paling ditakutinya. Afifah merasa lemas. Dia menyandarkan punggungnya pada dinding di sana. Ada rasa tidak percaya saat mendengar pengakuan Zahra. Dia sangat mengenal gadis ini. Zahra adalah wanita yang menjaga kehormatannya. Sangat menjaga nya... Dia wanita yang selalu memegang teguh prinsip Agamanya. Afifah bangkit dari rasa terkejutnya saat dia melihat Zahra semakin menangisi penderitaannya. Afifah memeluk tubuh lemah Zahra. Hal itu membuat Zahra refleks mengeratkan pelukannya. Sungguh saat ini dia butuh sandaran untuk sekedar mengurangi beban hatinya. Mereka menangis bersama. Atmosfer pilu benar-benar menyelimuti mereka. Terlebih lagi Zahra badai hatinya benar-benar menggulung perasaannya hingga jatuh ke lembah yang curam. Bahkan rasanya sulit bagi dia untuk kembali berdiri tegak. Dengan penuh perasaan Afifah mengusap lembut punggung Zahra. Dia berusaha mengalirkan energi nya pada Zahra. Berharap gadis lemah ini menjadi lebih kuat. Walau gamisnya harus basah air mata, Afifah tidak peduli. Yang dia pikirkan saat ini hanya memberikan ketenangan dan kenyamanan bagi Zahra. Sikapnya seolah mengatakan bahwa Zahra tak sendirian. Afifah tak menyangka gadis periang seperti Zahra bisa menangis dengan pilu. Bahkan rasanya gadis ini seperti lupa bagaimana caranya tersenyum tulus. Selama mereka tinggal bersama dia memang melihat Zahra selalu tersenyum. Tapi senyum itu terasa dipaksakan. Ternyata... Zahra sedang menanggung masalah yang amat berat. "Apakah gadis ini diperkosa? Zahra tidak mungkin dengan mudahnya menyerahkan diri pada laki-laki tanpa ikatan pernikahan. Zahra pun hanya menghabiskan waktunya dirumah dengan banyak aktifitas. Dia keluar rumah hanya untuk berdakwah. Tapi siapa yang melalukannya?" Afifah membatin.. "Siapa yang melakukan nya pada mu?" Tanya Afifah menyelidik. Namun sayang dia hanya mendapatkan gelengan kepala yang kuat dari Zahra. Zahra masih enggan berbagi kesulitan dengan saudaranya. "Jadi kamu diperkosa?" Afifah bicara dengan suara yang bergetar. Afifah menahan air mata saat bertanya. Hingga tenggorokan nya terasa pedih. Sedangkan Zahra hanya bisa mengangguk lemah. Afifah seakan ikut merasakan penderitaan Zahra. Dia memeluk tubuh saudara nya dengan erat. Mereka kembali menangis bersama. Dan saling mengeratkan pelukan. "Ya Allah... Zahra... Kau yang sabar ya. Allah begitu menyayangimu. Sehingga kau dipercaya mengemban masalah ini. Kau harus yakin... Allah sudah menyiapkan hadiah yang indah jika kau lulus. Kan wanita pilihan Allah." Ucap Afifah menguatkan hati Zahra. Namun Zahra hanya bisa mengangguk. Dia mengangkat punggung tangannya untuk mengusap sisa air mata yang membanjir. Kemudian wanita itu memberikan senyuman yang lembut. Senyum yang tercipta begitu manis walau di wajah sembab. "Ayo bangun. Kasihan anakmu... Dia pasti kedinginan karena Umminya duduk di lantai." Zahra mengangguk. Mereka pun berjalan menuju kursi makan. "Kau sudah memeriksa nya ke dokter kandungan?" Tanya Afifah sambil mengusap lembut perut Zahra yang masih rata. "Belum..." Jawab Zahra singkat. "Ya Allah... Zahra... Kau harus memeriksakan perkembangannya... Kau juga ga minum s**u ibu hamil kan?" Tanya Afifah khawatir. "Tapi Aku minum s**u kotak kok. Jangan khawatir." "Iya... Kamu minum s**u kotak kan biar ga ketahuan hamil sama aku. Sekarang kan aku udah tau. Mulai sekarang kamu harus konsumsi s**u ibu hamil. Owh iya... Bagaimana kalau kita belanja. Oh tidak... Ayo kita siap-siap, kamu akan aku antar periksa saja dulu ke rumah sakit. Oke?" Zahra mengangguk. "Ayo dong senyum Ummi cantik." Ucap Afifah menggoda Zahra. Zahra pun tersenyum. "Iya... Iya... Ayo katanya mau anter aku periksa kandungan." "Ok... Sudah siap? Kalo sudah sekarang aja." "Iya... Ayo... Aku ambil tas dulu ya." "Sip..." Mereka pun pergi menuju Rumah Sakit Surya Medika. Sepanjang perjalanan Zahra hanya diam. Afifah pun diam. Dia bingung harus bicara apa. Sampai akhirnya mereka sampai di sebuah halaman rumah sakit. "Assalamualaikum... Mba... Saya mau tanya... Jadwal praktek dokter spesialis kandungan jam berapa?" Ucap Afifah kepada wanita berhijab di bagian pendaftaran. "Waalaikum salam... Untuk jam praktek dokter spesialis kandungan bersama Dr.Muhammad Rayyan Surya,Sp.Og pada pukul 08.30. Silahkan di isi formulirnya." "Maaf Ibu.. Kalo dokter spesialis kandungan yang wanita ada tidak?" "Untuk dokter kandungan yang wanita... Dr.Mutiara sedang cuti melahirkan. Jadi untuk sementara Dokter yang sekarang dinas hanya Dr.Muhammad Rayyan Surya." Ucap wanita cantik pertugas pendaftaran pada mereka. "Gimana Zahra... Ga ada dokter yang wanita." Ucap Afifah pada Zahra. Sedangkan Zahra tampak tidak mau jika dokter yang menanganinya laki-laki. "Bukan nya kalo periksa kandungan harus memperlihatkan bagian perut ya? Kalo dokter nya laki-laki..." Zahra ragu mengucapkan kalimat selanjutnya. "Tenang saja Bu... Nanti akan ada bidan pendamping.. Ibu bisa menutup tirai saat pemeriksaan..." Ucap petugas pendaftaran kembali. "Gimana?" Tanya Afifah meminta pertimbangan Zahra. "Yaudah... Nanti ditutup aja tirai nya." "Ya sudah Ibu.. Ini formulirnya, silahkan diisi." Kemudian petugas pendaftaran kembali menjelaskan cara pengisian formulir pendaftaran dan menunjukkan jalan menuju ruang praktek dokter tersebut. Zahra dan Afifah menunggu panggilan pemeriksaan pada sofa ruang tunggu. Zahra menyapukan pandangan nya ke sekeliling areanya menunggu. Ruang tunggu yang tampak sangat elegan dan nyaman. Dengan kursi sofa yang empuk dan cukup banyak di ruangan yang luas. Sedangkan Afifah asik dengan gadget nya. "Afifah..." Ucap Zahra ragu. "Kenapa Zahra?" Tanya Afifah. "Rumah Sakit ini bagus banget... Pasti mahal ya... Kayaknya mending kita periksa ke bidan aja deh..." Ucap Zahra tak enak hati. "Tenang aja Afifah... Aku yang akan bayar." "Bukan masalah itu... Masalahnya aku udah terlalu merepotkan kamu." "Ga apa-apa... Aku senang kamu menemani dan bantu aku buka PAUD, TK dan TPQ di sini... Anggap saja ini ucapan terima kasih dari aku..." "Tapi..." Belum selesai Zahra melanjutkan kalimatnya. Suara dari seorang bidan memanggil namanya. "Nyonya Zahrani Maulida." "Udah dipanggil... Ayo masuk... Aku ingin cepat lihat keponakan aku..." Ucap Afifah antusias sambil menggandeng Zahra masuk ke dalam. Zahra pun masuk dan dia kembali melihat sosok yang tak pernah dilupakannya. Pria berjas putih... Dengan senyum manis menyapa ramah... Dan tatapan hangat... Senyum yang berbeda saat melihat pria itu pertama kali. Senyum sinis... Dan tatapan yang dingin. Zahra merasa. Mengapa takdir selalu mempertemukan mereka. Apa dia pria yang dulu mengambil masa depannya dengan kejam? Tapi mengapa senyum dan tatapannya sungguh berbeda? "Assalamualaikum... Wah kita bertemu lagi rupanya... Silahkan duduk." Ucap Rayyan sambil mempersilahkan duduk pasiennya dengan ramah. "Wah... Jadi anda seorang dokter?Dokter Rayyan." Ucap Afifah. "Ya... Siapa di antara kalian yang sedang hamil?" "Aku..." Rayyan sempat terkejut. Namun dia berusaha menguasai dirinya. Dia berusaha tersenyum tulus. Namun nyatanya. Afifah menyadari itu... Biar bagaimana pun Afifah adalah pendiri yayasan pendidikan. Jadi sedikit banyak dia belajar psikologi. "Nyonya Zahra... Ini anak ke berapa?" Tanya dokter bernama Rayyan padanya. "Pertama." Zahra hanya menjawab singkat. Sungguh hatinya menggebu ingin bertanya, tidakkah pria di hadapannya mengingat saat memberikan benih padanya? "Apa pernah keguguran?" Tanya dokter Rayyan kembali. "Tidak." Lagi-lagi Zahra hanya menjawab singkat. Netra hitamnya seolah menelisik setiap inci wajah Rayyan. Sungguh dia penasaran, apakah pria ini yang sudah menghamilinya? "Kapan haid terakhir?" Tanya dokter itu lagi seolah tak pernah terjadi apa-apa. "29 April 2019." ucap Zahra menahan perih di d**a. Dia menyadari bahwa pria di hadapannya memang telah melupakan malam laknat itu. "Berapa lama siklus haid anda?" Lagi-lagi Zahra hanya bisa menahan tangis setiap melihat tatapan tak berdosa dari pria di hadapannya. "7 hari." Jawab Zahra menahan tangis. "Silahkan berbaring di dalam." Zahra pun berjalan menuju bankar, dan bidan pendamping menutup tirainya. Zahra merasa sesuatu yang dingin. Saat bidan tersebut memberi gel di permukaan perutnya. "Jangan tegang ya Ibu." Ucap bidan wanita yang menanganinya. Sedangkan Zahra hanya bisa mengangguk. Bidan itu pun menggerakkan sebuah alat di atas perut nya. Selang beberapa saat kemudian, terdengar suara dokter Rayyan bicara. "Ini adalah kepala janin nya ya Bu. Ini bagian yang akan berkembang menjadi tangan. Yang ini akan berkembang menjadi kaki. Ini ketubannya cukup banyak. Saya akan menyalakan speaker nya. Ini suara detak jantung nya." Ucap dokter tersebut menjelaskan. DUG... DUG... DUG... DUG... DUG... Suara nyaring seperti detak jantung yang berlari terdengar. Zahra meneteskan air matanya kembali. Dia terharu melihat ciptaan Allah yang tumbuh dalam rahimnya. Rasa bahagia yang membuncah dalam hatinya terasa seperti memberikan suntikan energi yang kuat. Zahra merasa harus bisa lebih kuat dari pada anak yang sedang berusaha bertahan dalam rahimnya hingga bisa menatap indahnya dunia. "Alhamdulillah... Janinnya sehat dan usia kandungan ibu jalan 6 minggu. Cukup Bidan Nina..." Ucap Rayyan sambil menatap layar di hadapannya. "Baik Dokter." ucap bidan tersebut kemudian membersihkan sisa gel di perut Zahra dengan tisu. Setelah Zahra kembali duduk di bangku pasien. Rayyan kembali bertanya. "Apa ada keluhan selama ini?" Sejenak Zahra membisu. Netra hitamnya seolah terpaku pada sosok dokter yang persis dengan pria yang memperkosanya hingga hamil. Namun Zahra tak memiliki kekuatan untuk bertanya. "Nyonya Zahra... Apa ada keluhan selama ini?" Tanya dokter Rayyan kembali. "Em...Hanya sering mual dan muntah di pagi hari." Ucap Zahra kikuk. "Ada lagi?" Ucap Rayyan sambil menulis resep pada secarik kertas. "Tidak Dok." "Bohong Dok. Dia sulit makan nasi. Bahkan bobot tubuhnya turun drastis sejak hamil." Ucap Afifah gemas melihat Zahra yang linglung saat mengatakan kondisinya. Entah apa yang sedang Zahra pikirkan saat ini, Zahra terlihat sedang menyembunyikan sesuatu. Sedangkan Zahra meremas tangan Afifah saat mendengar saudaranya bicara terlalu blak-blakan. "Memang kenyataan nya begitu." Ucap Afifah melawan mata Zahra. "Sebaiknya sesulit apapun anda harus tetap makan. Sedikit tapi sering... Jika memang sulit, anda bisa mengkonsumsi s**u ibu hamil untuk menunjang nutrisi." Ucap Rayyan sambil tersenyum melihat tingkah dua wanita muda di hadapannya. "Dia malah minum s**u kotak Dok." Ucap Afifah seperti bocah yang mengadu pada orang tuanya. Membuat Rayyan kembali tersenyum melihat tingkah lucu dua wanita itu. "Own iya... Dukungan moril sang ayah pun dibutuhkan. Jika ibu merasa sangat mual, ibu bisa meminta tolong sang ayah untuk bicara pada si jabang bayi. Ini sangat efektif untuk mengatasi mual dan muntah berlebihan... Ya... Walaupun belum ada penjelasan secara ilmiahnya. Mungkin ini karena ikatan batin." Ucap Rayyan. Namun Zahra justru tak tahan meneteskan air mata saat Rayyan menyebut "sang ayah" . Zahra bahkan tak mengenal siapa ayah anaknya. "Sudah... Yuk... Kita keluar..." Ucap Afifah menghapus air mata Zahra. Tapi Zahra justru mengalihkan pandangan nya ke dokter tampan dihadapannya. "Apa pria ini yang dulu memperkosa ku? Ataukah dokter Rayyan memiliki kembaran? Aku tanya atau tidak ya..?" Zahra membatin. "Dokter boleh saya bertanya sesuatu?" Ucap Zahra ragu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN