Bahagia itu tercipta karena memang diri kita yang menciptakannya, bagaimana suasana hidup kita tergantung bagaimana kita mengatasinya, sesedih apapun takdir yang sedang kita jalani kita pasti akan tetap bisa tersenyum jika kita bisa melihat kesedihan itu adalah bentuk dari sebuah kasih sayang Allah.
Sebagai seorang hamba tugas kita hanya berperan dengan baik, melakukan semuanya dengan benar, dalam arti lain kita harus bisa selalu bersyukur dalam sebesar apapun cobaan yang menimpa kehidupan kita, karena semua itu hanyalah sebuah cobaan sebagai bentuk cinta kasih Allah kepada umatnya.
Hari ini Alaric sudah berada diperjalanan menuju kantornya, setelah pertemuannya bersama Risa satu minggu yang lalu, Alaric langsung menguhubungi Ayahnya dan mengatakan jika dia ingin mengambil alih pimpinan cabang perusahaan yang ada di Yogyakarta, hal itu tentu langsung disetujui oleh Ayahnya. Sejak pagi bibir Alaric tidak luntur melukiskan sebuah senyuman, atau lebih tepatnya satu minggu belakangan Alaric memang terlihat lebih bahagia dari biasanya.
Alaric menjalankan mobilnya dengan sangat santai, dari bibirnya sesekali terdengar suara senandung lagu, hari ini perasaan Alaric memang terlihat relax dan santai, Alaric berharap agar tidak ada siapapun atau hal apapun lagi yang bisa menghancurkan keadaan hatinya yang sedang bahagia hari ini.
Dahi Alaric mengerut bingung, punggungnya yang sejak tadi menempel dengan jok mobil sedikit terangkat sehingga membuat tubuhnya mencondong, mobil yang sejak tadi dia kendarai dengan santai seketika berhenti, untuk sesaat Alaric lebih memilih diam didalam mobil dengan tatapan matanya yang masih terpaku melihat apa yang ada dihadapannya, hatinya merasakan sebuah rasa kasihan dan kecurigaan dalam waktu bersamaan.
Didepan mobilnya ada perempuan yang terlihat sedang kesakitan, meskipun samar Alaric bisa melihat ada sebuah luka dibagian kakinya hingga membuat darah mengalir keluar dari kaki perempuan itu, mungkin dia baru saja terjatuh dari motornya karena memang posisi motornya tergeletak begitu saja didepan perempuan itu.
Namun, yang meragukan perasaan Alaric apakah luka yang ada dikaki perempuan itu benar – benar luka asli ? atau hanya buatan saja ? dan apakah kecelakaan kecil yang ada dihadapannya benar – benar kecelakaan atau hanya jebakan saja ?.
Masih dari dalam mobilnya, Alaric melihat perempuan itu berusaha bangun dari posisi duduknya dengan sidikit tertatih, kakinya melangkah kecil dengan tertatih dan tubuhnya yang sedikit sempoyongan mendekati motor, tangan perempuan itu terlihat hendak mengangkat motornya tapi karena keadaan tubuhnya yang masih lemas bukannya motor itu berdiri malah dia yang hampir ikut tertarik motor, dapat dipastikan dia akan kembali jatuh menimpa motor jika tangan Alaric tidak langsung menarik tangannya hingga membuat posisi mereka berakhir dengan perempuan itu yang berada dalam dekapan Alaric, dan tatapan mata mereka yang saling mengunci.
Alaric langsung membantu perempuan itu berdiri saat dia merasakan pergerakan dari perempuan itu, kemudian Alaric langsung membangunkan motor yang sempat ingin perempuan itu lakukan, sesaat Alaric melihat keadaan motornya yang terlihat sedikit parah penampilannya karena terdapat lecet- lecet, Alaric pikir mungkin tadi motor itu sempat terseret beberapa meter.
“Terimakasih”
Satu kata ucapan terimakasih yang Alaric dapat dari perempuan itu membuat tatapan mata Alaric yang sejak tadi hanya mengamati motor beralih menatap perempuan yang sedang menunduk disampingnya, Alaric menganggukan kepalanya sambil menatap perempuan untuk beberapa saat.
“Nona sebaiknya kamu saya antar dulu kerumah sakit karena saya lihat kamu tidak dalam keadaan baik – baik saja, motor kamu disimpan disini saja biar nanti saya menelpon seseorang untuk mengantarkannya kerumahmu”
“Terimakasih tapi saya rasa itu tidak perlu karena saya merasa baik – baik saja”
Perempuan itu berujar masih dengan posisi menunduk, pernah mencintai perempuan berkeyakinan Islam membuat Alaric paham tanpa harus perempuan itu jelaskan mengenai alasannya yang selalu menunduk, yaitu karena dia berusaha menghindari kontak mata dengan Alaric, zina mata itulah namanya yang masih Alaric ingat saat dulu Risa pernah menjelaskan.
Dia mengambil alih motornya yang masih dipegang Alaric, namun baru saja Alaric melepaskan tangannya, tubuh perempuan itu terlihat limbung hedak terjatuh bersamaan dengan motor yang baru dia pegang jika dua tangan Alaric tidak gesit menangkap tubuh perempuan itu dan menahan motor agar tidak jatuh.
“Percayalah jika aku bukanlah orang jahat, aku hanya seorang manusia yang sedang berusaha untuk belajar baik, jadi tolong terimalah bantuan dariku, aku hanya ingin menolongmu dengan cara mengantarkanmu kerumah sakit”
“Kakimu berdarah, dahi dan tanganmu juga luka jika tidak segera diobati nanti infeksi”
Untuk sesaat dia nampak terdiam, mungkin sedang menimang – nimang antara kembali menolak atau menerima pertolongan yang ditawarkan Alaric, dia mengangkat kepalanya menatap Alaric kemudian kembali menundukan kepalanya, tangannya terlihat saling meremas jemari tangannya sendiri. Melihat tingkah perempuan itu tidak tahu kenapa Alaric jadi merasa gemas.
“Apakah tidak merepotkan ?”
“Tentu saja tidak, jadi bagaimana kamu mau ikut denganku kerumah sakit ?”
Mendengar pertanyaan Alaric, dia menganggukan kepalanya sebagai tanda persetujuan, melihat hal itu Alaric tersenyum lega, setidaknya hari ini dia tidak akan merasa bersalah pada perempuan itu karena harus meninggalkannya sendirian, atau membiarkannya pergi menggunakan motor dalam keadaannya yang masih terluka, dengan alasan perempuan itu terus saja menolak pertolongan darinya.
Baru saja tangan Alaric hendak membantu memapah perempuan itu, Alaric bisa melihat ada sebuah penolakan. Lagi – lagi Alaric tahu jika perempuan itu tidak mau Alaric bantu papah berjalan sekalipun kakinya sakit, alasannya karena mereka bukan mahrom itulah yang pernah Risa ajarkan kepada Alaric juga.
Alaric berjalan dengan pelan mengikuti langkah perempuan itu dari belakangnya, untuk berjaga – jaga jika dia kembali terjatuh Alaric bisa langsung menolongnya. Alaric langsung membuka pintu mobil belakang karena Alaric yakin perempuan itu tidak akan mau duduk didepan bersamanya, karena pernah dekat dan mencintai sosok perempuan seperti perempuan yang saat ini bersamanya membuat Alaric sedikit tahu mengenai tata tertib mereka, sebagai sesama manusia beragama Alaric hanya bisa berusaha untuk menghargainya.
Alaric langsung menjalankan mobilnya saat dia dan perempuan itu sudah masuk kedalam mobil, selama perjalanan menuju rumah sakit tidak ada percakapan yang tercipta diantara mereka, Alaric hanya melirik perepuan itu melalui kaca depan mobil, memperhatikan dia yang sedang duduk dikursi penumpang yang terus memandang kearah luar jendela.
Jujur saja sebenarnya Alaric masih merasa penasaran pada perempuan yang berada satu mobil dengannya ini, karena Alaric merasa benar – benar tidak asing dengannya, tatapan mata perempuan itu mengingatkan Alaric pada seseorang tapi tidak tahu pada siapa.
Alaric menginjak rem mobilnya saat mereka sudah sampai dirumah sakit, setelah itu Alaric langsung meminta seorang suster untuk membantunya turun dari dalam mobil setelah itu menbantunya duduk diatas sebuah kuris roda, langkah Alaric mengekori suster yang mendorong kursi roda yang duduki perempuan itu menuju ruang IGD, saat perempuan itu dan suter masuk ruang IGD Alaric tertahan diluar karena tentu saja dia tidak diperbolehkan untuk masuk.
Tidak terlalu lama mungkin hanya tiga puluh menit seorang dokter keluar, dokter menjelaskan mengenai keadaan perempuan itu yang baik – baik saja karena tidak ada luka serius, dia juga diperbolehkan pulang setelah cairan infusnya habis. Alaric melangkahkan kakinya masuk menemui perempuan itu yang sedang terbaring setelah berbicara dengan dokter, kemudian mengatakan apa yang sudah dokter sampaikan.
“Terimakasih banyak atas bantuan kamu, sekarang saya sudah baik – baik saja, jadi kamu boleh pergi, kamu pasti akan bekerja dan pekerjaanmu terhambat karena kamu menolong saya, sekali lagi saya ucapkan terimakasih banyak”
“Ya sama – sama, kalau begitu aku pergi dulu, cepat sembuh ya”
Alaric berlalu sambil mengulas sebuah senyum tipis atas perpisahan mereka, sebenarnya Alaric masih sangat ingin menemani perempuan itu tidak tahu karena apa tapi rasa penasaran Alaric terhadap perempuan itu membuat Alaric ingin tetap menemaninya, tapi Alaric tidak mempunyai alasan cukup kuat untuk bertahan menemani perempuan itu. Sealain itu, ada sesuatu dalam diri perempuan itu yang membuat Alaric ingin terus bersamanya padahal saat itu mereka baru saja bertemu.
***
Setelah sampai dikantornya, Alaric benar – benar meruntuki dirinya sendiri yang bisa – bisanya melupakan perkenalan dengan perempuan yang tadi dia tolong, Alaric baru ingin jika dia belum mengetahui nama perempuan yang sudah ditolongnya saat dia sudah melakukan setengah perjalanan dari rumah sakit menuju perusahaannya.
Saat Alaric sudah sampai didalam ruangannya, dia sudah langsung disuguhkan dengan setumpuk berkas yang harus dia pelajari dan juga tanda tangani, tapi tidak ada satupun berkas yang mampu dia pahami dan tidak ada satupun pekerjaan yang bisa Alaric selesaikan, karena kepalanya seakan dituntut untuk mengingat dimana dia pernah bertemu dengan perempuan itu, Alaric benar – benar sangat yakin jika dia pernah bertemu dengan perempuan itu, tapi Alaric tidak ingat dimana mereka pernah bertemu.
Tadi Alaric tiba di perusahaannya saat jam sudah menunjukan pukul 10 : 00, dan sekarang jam sudah menunjukan waktunya untuk makan siang, tapi tidak ada satupun pekerjaan yang berhasil Alaric selesaikan, tangannya memang memegang sebuah berkas, tapi saat dia berusaha membaca dan mempelajari pikirannya selalu saja berbelok kepada perempuan itu hingga berakhir dengan Alaric yang malah melamun.
Ketenangan Alaric tiba – tiba terganggu oleh seseorang yang membuka pintu ruangannya dengan sedikit rusuh, diambang pintu Alaric bisa melihat seorang security dengan beberapa orang pegawai yang mencoba menahan seorang perempuan yang Alaric yakin memaksa untuk menemuinya.
“Maaf pak, tapi saya sudah mengatakan kepada wanita ini jika waktu interview untuk menjadi sekertaris bapak sudah terlewat tapi dia tetap mamaksa”
Alaric mengalihkan tatapan matanya yang semula menatap karyawan lamanya pada sosok perempuan yang terlihat baru mengangkat kepala dan menatap kearah Alaric dengan sedikit ragu, untuk beberapa saat tatapan mereka sempat bertemu sampai akhirnya perempuan itu menundukkan kepala.
“Kamu boleh masuk dan kalian boleh pergi”
Mereka berlalu pergi, sedangkan Alaric dan perempuan yang memaksa untuk menemuinya itu masuk kedalam ruangan Alaric, perlahan Alaric mendudukan tubuhnya diatas kursi putar dan menatapnya dengan seksama.
Alaric tidak menyangka jika takdir ternyata masih mempertemukan mereka, Alaric juga merasa salut pada perempuan itu, dia masih memaksakan diri untuk datang melakukan interview disaat keadaannya yang masih jauh dari kata baik – baik saja.
“Jadi siapa namamu ?”
“Intan Aulia Khadijah”
Intan Aulia Khadijah, akhirnya Alaric tahu nama perempuan itu, meskipun rasa penasaran Alaric masih ada tapi setidaknya sudah sedikit terobati dengan kehadirannya disini, dan namanya yang sudah Alaric ketahui juga.