Sudah dua bulan berlalu setelah Alaric menginjakan kakinya ke negara Indonesia, negara yang sangat dia hindari untuk berkunjung, selama dua bulan bukan tidak ingin Alaric mencari tahu mengenai keberadaan sosok perempuan yang masih dia cintai sampai detik ini. Tapi, meskipun ingin Alaric tetap berusaha menahan keinginannya itu, karena dia takut saat dia sudah menemukannya malah membuat dia semakin terperangkap dalam perasaan yang justru semakin membuat hatinya merasakan sebuah luka.
Dua bulan lalu Alaric sudah melangsungkan pertunangannya dengan Jenny, dua bulan lalu juga Alaric mendarat di Indonesia tepatnya di kota Yogyakarta karena memang dikota inilah perusahaan ayahnya berada, tekadnya adalah segera menyelesaikan semua permasalahan yang terjadi di perusahaan keluarganya lalu secepatnya pulang.
Selama dua bulan Alaric berusaha keras untuk menyelesaikan masalah yang terjadi di perusahaan keluarganya, dan sekarang usahanya itu tidak berakhir sia – sia. Karena tepat satu minggu lalu dia berhasil menyelesaikan permasalahan keuangan perusahaan yang tiba – tiba anjlok karena ulah korupsi beberapa orang karyawan perusahaannya, dan satu minggu ini dia memantau perusahaannya yang sudah kembali stabil. Hal itu membuat Alaric tidak memiliki alasan apapun lagi untuk tetap bertahan di Indonesia hingga akhirnya Alaric memutuskan untuk pulang ke Jerman lusa.
Namun, Alaric tidak menyangka jika sosok yang sudah bertahun – tahun lamanya hidup dalam pikiran dan juga hatinya, sosok yang selama dua bulan sangat Alaric takutkan pertemuan antara dirinya dan dia, justru sosok itu kini ada disampingnya menikmati desiran ombak bersamanya. Mereka bertemu layaknya dua orang sahabat yang sudah lama tidak jumpa, namun ada sebuah kecanggungan yang tercipta diantara mereka.
Alaric meminggirkan mobilnya saat dia melihat ada sebuah panggilan masuk dari seorang perempuan berstatus tunangannya, Jenny dialah orangnya. Jenny sangat jarang menelpon Alaric karena dia bilang takut menganggu waktu Alaric bekerja, selama menelpon hanya tercipta percakapan – percakapan ringan selayaknya orang pacaran, meskipun mungkin sikap dan kalimat yang Alaric katakan sebagian besar adalah kepalsuan.
Alaric memandang layar ponselnya setelah dia baru saja selesai melakukan panggilan telepon bersama kekasihnya, perasaannya masih tidak pernah berubah masih terasa berat karena subuah beban cinta yang harus dia emban sendiri bersama luka yang menjadi pelengkapnya, hubungannya bersama Jenny sudah berjalan dua bulan setelah pertunangan, dan selama itu juga mereka tidak pernah bertengkar. Jenny selalu memperhatikannya, dia selalu menunjukan cintanya mekipun saat itu jarak mereka berjauhan, tapi semua itu seakan tidak memberikan efek apapun bagi Alaric, karena hatinya seakan sudah terkunci dengan perempuan yang saat ini negara tempat tinggalnya sedang Alaric singgahi.
Dari layar handphone mata Alaric beralih melirik gantungan miniature wisuda yang selalu dia bawa kemana – mana dengan dibiarkan menggantung di kaca spion depan mobilnya, tiba – tiba ingatannya melayang mengingat kisah yang pernah dilaluinya bersama pemberi gantungan kunci itu. Saat itu mereka sedang duduk disebuah kedai ice cream, mereka membuat sebuah game balapan makan ice cream, dia yang tidak terlalu menyukai ice cream awalnya menolak tapi karena diledek tukut kalah akhirnya dia setuju dan siapa yang menang diantara mereka yang akan membayar ice cream mereka berdua. Mungkin karena terburu – buru dan tidak ingin kalah dia sampai makan ice cream belepotan ke pipinya, melihat hal itu Alaric tertawa sedagkan dia seakan tidak peduli dengan tawa Alaric, dia hanya fokus dengan ice creamnya hingga akhirnya dia menang karena Alaric sejak tadi hanya menertawakannya tanpa memakan ice cremnya.
Bibir Alaric tersenyum saat dia mengingat kebersamaannya dengan perempuan yang sampai sekarang masih dia cintai, saat itu Alaric pernah bermimpi, jika tuhan mengizinkannya untuk menjadi bagian hidup gadis itu maka dia akan menjadi orang yang paling bahagia dan berjanji tidak akan membiarkan setetespun air mata membasahi kedua pipinya.
Lamunan Alaric terhenti saat dia melihat perempuan yang samar – samar Alaric merasa mengenalnya sedang membawa barang belanjaan, sesekali dia berhenti sambil mengusap peluh, sampai akhirnya langkah kaki perempuan itu berhenti disebuah halte yang Alaric yakini pasti sedang menunggu angkutan umum, tangannya sesekali mengelus permukaan perutnya yang sedikit membuancit karena memang dia sedang mengandung.
Merasa penasaran Alaric menjalankan mobilnya dengan pelan, sampai akhirnya mobil Alaric berhenti didepan halte, matanya menatap awas perempuan yang masih duduk tenang itu, dia masih ingat dengan jelas perempuan itu. Untuk sesaat awalnya Alaric tidak ingin keluar tapi kerinduannya terhadap sosok yang selama ini hidup dalam angannya ada dihadapannya, Alaric tidak dapat lagi menahan dirinya untuk tidak menemui perempuan itu lagi.
Pertemuan tidak sengaja mereka akhirnya berakhir dipantai, meskipun tadi dia sempat menolak tapi akhirnya dia setuju untuk diantar pulang oleh Alaric, perempuan itu tidak mengajak Alaric masuk kedalam rumahnya karena dia bilang sedang tidak ada siapapun, oleh karena itu dia memilih untuk mengajak Alaric berkunjung ke pantai yang letaknya tidak jauh dari tempat tinggalnya.
Awalnya percakapan mereka hanya berbicara mengenai sebuah percakapan ringan saja, tapi tiba – tiba semuanya berubah saat Alaric menanyakan keberadaan suami perempuan yang sedang ada dihadapannya itu, dari pertanyaan itu Alaric bisa melihat perubahan raut wajahnya yang berubah, dia memang masih tersenyum tapi ada sebuah kesedihan yang terpancar dari matanya, dari pertanyaan Alaric dia mulai bercerita mengenai bagaimana sekarang keadaan rumah tangganya, bahkan dia sampai bercerita mengenai kisah masa kecilnya bersama laki – laki yang sekarang sudah menjadi suaminya.
Saat itu Alaric merasakan sebuah kebahagiaan dan juga kebencian yang singgah didalam hatinya secera bersamaan, Alaric bahagia karena setelah mendengar ceritanya Alaric merasa ada sebuah peluang yang kembali terbuka untuknya, meskipun kebahagiaan yang dia rasakan hadir bersamaan dengan luka yang menimpa hati perempuan yang dia cintai. Alaric benci karena dulu dia sempat menyerah dan membiarkan dia mengambil perempuan yang Alaric cintai, jika pada akhirnya laki – laki itu akan menyakiti hatinya maka saat itu Alaric akan lebih memilih bertahan dan tidak akan menyerah begitu saja.
“Kenapa kamu suka pantai ?”
Alaric menoleh menatap wajah perempuan yang sudah sangat lama tidak dia temui, dia tersenyum matanya melirik kearah Alaric sekilas kemudian kembali menfokuskan lagi matanya menatap kearah laut lepas.
“Karena dipantai aku selalu melewati begitu banyak kisah indah bersamanya”
“Apakah kamu masih mencintainya ?”
Pertanyaan itu lolos begitu saja dari bibir Alaric, jujur saja sekarang Alaric berharap jika kata tidaklah yang keluar dari mulut perempuan itu. Hatinya tiba – tiba berdebar saat perempuan itu hanya diam sambil tersenyum kemudian menoleh menatap kearah Alaric.
“Dia ada dalam hampir seumur kisah hidupku, dia orang yang selama ini selalu memelukku penuh kasih dan cinta, bersamanya aku merasa bahagia dan sempurna, dan dia adalah ayah dari anak – anakku, dan aku sangat mencintainya”
Sakit itulah perasaan Alaric, rasanya Alaric menyesal sudah menanyakan perasaan perempuan itu, dia terlalu bodoh jika berpikir perempuan sesabar dia akan berpaling dan memilihnya. Bahkan setelah kesakitan yang dia dapat dari suaminya dia masih berkata mencitai suaminya tanpa ada sebuah pengecualian, katakan apakah Alaric salah jatuh cinta pada perempuan seperti dia.
“Risa udah sore yu aku antar kerumah, udaranya dingin enggak baik untuk kesehatan kamu yang sedang mengandung”
Perempuan yang Alaric panggil Risa itu mengangguk kemudian mereka mulai melangkah bersama – sama meninggalkan pantai, sebenarnya nama asli perempuan itu adalah Diana Merissa, dia teman satu kampus Alaric dan panggilan Risa adalah panggilan orang – orang terdekatnya. Perempuan itu adalah orang yang mengajarkan Alaric mencintai sekaligus patah hati, karena saat Alaric mencintainya saat itu juga dia merasakan sakitnya patah hati.
Ketika langkah kaki Alaric dan Risa tiba dipelataran rumah tempat perempuan itu tinggal, untuk sesaat Alaric terpaku saat dia melihat sosok yang masih sangat dia ingat dengan jelas wajahnya, mata Alaric tidak lepas memandang sosok yang ada dihadapannya, walau Alaric baru satu kali bertemu dengan suami Risa tapi dia masih mengingatnya dengan sangat jelas, dan Alaric merasa jika sosok dihadapannya adalah sosok yang sama peris dia lihat pada hari wisuda Risa dan mengaku suaminya.
Untuk sesaat Alaric pikir sosok dihadapannya itu benar - benar suami Risa karena memang wajahnya sangat begitu mirip. Tapi sesaat kemudian Alaric sadar jika sosok dihadapannya menggunakan seragam putih abu, sampai akhirnya sebuah kekehan berhasil menyadarkan Alaric yang sedang bingung, tatapan matanya yang sejak tadi menatap sosok remaja dihadapannya menoleh kearah sumber suara.
“Kenapa Al kok liatinnya gitu amat”
“Risa dia… suami kamu”
Alaric berujar dengan sedikit ragu, matanya menatap Risa dan sosok laki – laki yang rasanya tidak terasa asing bagi Alaric, karena dia merasa pernah bertemu walaupun hanya satu kali, kekehan dari Risa dan laki – laki yang Alaric pikir suaminya, berhasil membuat dahi Alaric semakin berkerut bingung.
“Saya Hasan selingkuhan, Bunda”
Dia memperkenalkan dirinya sambil mengulurkan tangan, disampinya Risa terlihat masih terkekeh sambil menepuk lengan Hasan, mungkin dia terkekeh antara karena melihat wajah lucu Alaric yang terlihat kebingungan dan karena kalimat perkenalan anak laki – laki bernama Hasan kepadanya. Hasan, mendengar nama itu Alaric jadi ingat jika tadi Risa pernah menceritakannya, dan saat itu Alaric merasa yakin jika anak yang berada dihadapannya adalah anak sulung Risa.
“Alaric suami kedua, Bundamu”
Mereka bertiga tertawa atas perkenalan aneh yang baru saja terjadi antara Hasan dan Alaric, Alaric yakin jika anak itu menuruni sikap bundanya yang hangat kepada siapapun, semua itu terbukti dari caranya yang mampu mengatasi keadaan canggung yang biasanya terjadi diantara orang yang beru pertama kali bertemu, dan menuruni rupa sang ayah, karena mereka benar – benar sangat mirip, bahkan postur tubuhnya sama persis, yang membedakan mereka hanya bentuk wajahnya, jika ayahnya memiliki bentuk wajah panjang maka anaknya tidak, ayahnya berpipi tirus maka anaknya berpipi cabi.
“Ayo bun masuk, udah sore udaranya dingin, ayo pak masuk”
Hasan mengajak Alaric untuk masuk, tangan anak itu merangkul bahu Risa kemudian mereka berjalan beriringan menuju rumah. Kesimpulan pertama yang Alaric tangkap dari pertemuan pertamanya dengan Hasan adalah dia anak yang periang, hangat, dan sangat menyayangi ibunya.