Bab 4

1319 Kata
"Dara" Langkah Dara terhenti, mendengar suara memanggil namanya. Ia lalu menoleh 45 derajat, memandang pria berpakaian hoodie hitam dengan sorot mata tajamnya. Jantungnya seketika berhenti berdetak, memperhatikan pria itu dibawah cahaya temaram. Pemilik mata elang itu adalah pria yang dulu setiap hari menghantuinya. Saling terdiam dan menatap satu sama lain. Ia dan Rama bukanlah dua orang yang dulunya cinta pertama. Buka juga teman akrab yang menghilang, bukan juga benci jadi cinta yang ada di n****+ romance kebanyakan. Mereka adalah dua orang yang dulu penuh penghakiman di sekolah. Selain itu tidak ada lagi yang spesial diantara mereka. Mereka bertemu lagi di sini dengan cara yang berbeda. Suara music bar seolah tidak terdengar, hanya dia lah pusat perhatian. Dara masih memperhatikan struktur wajah itu. Dia masih sama, memiliki hidung mancung dan rahang kokoh. Tubuh kerempengnya dulu hilang begitu saja, berganti atletis. Ya bukan jenis tubuh seperti binaragawan, tapi lebih berisi dan sehat. "Siapa ya," Dara menelan ludah, ia tidak percaya bahwa bibirnya meluncur begitu saja mengatakan "Siapa ya ?,". Oh Tuhan, ia terlalu bodoh menyatakan hal seperti itu. Beberapa detika yang lalu ia hampir pingsan kehabisan nafas menahan debaran jantungnya yang tengah maraton hebat. Jelas-jelas dihadapannya ini adalah Sakha Abirama. Alis Rama terangkat, memandang Dara. Ia memperhatikan struktur wajah itu, softlens berwarna hazel membuaf wanita itu semakin cantik. Rama menyungging senyum berusaha setenang mungkin. Ia mengulurkan tangan, sebagai salam pertama. "Rama," Dara menggigit bibir bawah, menatap uluran tangan itu. Ia dengan ragu lalu membalasnya. Ini adalah sapaan pertama mereka setelah tiga belas tahun tidak bertemu. Tangan hangat itu menyentuh aliran kulitnya. "Rama, Sakha Abirama yang dulu sekelas itu kan," Rama merasakan kulit lembut itu, kulit itu sedingin es. Ah ya mungkin karena ac diruangan ini terlalu dingin. "Iya, masih ingat kan," Rama masih memastikan. "Masih lah," Dara lalu terkekeh. Ia menatap hilir mudik pengunjung memadati area, dan ia lalu menyingkir kesamping. "Kamu kok tau aku," "Ya tau lah, nggak berubah soalnya, sama kayak yang dulu," "Disini Rame, ke atas aja gimana?," Rama memberi saran. Alis Dara terangkat, ia menatap Rama. Ternyata tubuh Rama bisa setinggi ini. Lihatlah ia hanya sebahu Rama saja, padahal dulu SMA tinggi mereka hampir sama. "Tapi tadi kamu mau kemana?," Tanya Rama. "Ke toilet, tapi kayaknya penuh," "Diatas ada toilet juga kok," "Diatas ada apa? soalnya baru juga sih ke sini. Mili nih yang ngajak," "Bar, Lounge, dan private room," Rama meninggalkan area Bar lantai dasar, mereka memilih menaiki tangga dari pada lift. Agar susana obrolan lebih santai dan terhindar hingar bingar. "Naik tangga, nggak apa-apa kan," "Iya nggak apa-apa sih, cuma encok juga kalau tangganya panjang kek tanjakan puncak gini," Dara menaiki tangga. Ia tidak menyangka bahwa ia dan Rama berduaan di tangga darurat seperti ini. Rama menahan tawa melirik Dara yang berada disampingnya, "Deket kok, nggak bakalan sampe encok. Mau aku gendong," "Ih jangan, jarang olah raga nih pasti. Naik tangga dikit udah capek," "Terakhir kapan kamu olah raga?," Rama melirik Dara. Dara mengedikkan bahu, "Udah lupa, nggak tau kapan," "Ya ampun pantesan, sekali-sekali olah raga lah, biar seger," "Nanti-nanti deh," Dara masih menaiki tangga, ia mamandang Rama. "Sekarang kamu kerja dimana?" Tanya Rama. "Kerja sendiri aja sih, buka butik," "Dimana butiknya?," "Masih daerah sini, di Fatmawati," Dara bersyukur bahwa ia dan Rama sudah dilantai dua. Dara mengibaskan rambutnya kebelakang. "Kamu 13 tahun nggak pernah nongol di reuni sekolah, kemana?," tanya Dara penasaran. Itulah pertanyaan yang dari kemarin yang ada dibenaknya. "Ada, ya aku nggak di Indo tapi, di Manchester, kuliah. Banyak kerjaan juga," "Jadi kamu selama ini di Manchester?," "Iya," "Terus," "Ke Indo, pulang, ya gitu deh kan udah selesai juga kuliahnya," "Kuliah jurusan apa?" "Manajemen bisnis, kamu kuliah dimana?," "Enggak kuliah," Dara melihat toilet, karena itu adalah tujuannya dari tadi. Alis Rama terangkat, ia tidak percaya bahwa Dara tidak mengeyam pendidikan di universitas. Ia pikir Dara kuliah di salah satu universitas ternama, atau di negara tetangga, "Kenapa nggak kuliah?," "Males, kuliah hukum soalnya. Mas Alan nih yang nyuruh. Oiya aku ke toilet dulu ya," "Iya" Rama memandang Dara yang kini menjauhinya, dan ia melangkah menuju counter reception. Ia melihat para karyawan sibuk dengan aktifitasnya, ada beberapa manager yang mengawasi pekerjaanya dengan baik. "Bapak," "Aku mau private room ya satu," ucap Rama. "Lumayan sih pak, lounge, dan royal penuh. Bapak sama pacar baru?," Tanya wanita berseragam biru, karena dari tadi dia memperhatikan Rama bersama seorang wanita. "Teman SMA sih, bukan pacar," "Tapi cantik loh pak," Reception itu lalu menyerahkan kartu akses kepada Rama. "Lumayan lah," "Paris, 2010 pak masih kosong," "Oke, makasih ya. Nggak lama kok," Rama membawa kunci akses, ia meninggalkan area reception, menunggu Dara. Ia menatap layar ponsel, ia yakin Bimo dan Ares menunggunya. Ia mengetik pesan pada layar. "Gue ada dilantai dua, lo susul gue diatas aja ya," *** Dara menatap penampilannya, tidak lupa ia menambah lipstik pada bibirnya lagi agar terlihat sempurna. Ia tidak menyangka bahwa ia kini bersama Rama. Ia tidak pernah bermimpi berdua bersama Rama, apalagi berbicara tanpa ada rasa ketegangan seperti dulu. Ia dan Rama seperti dua orang yang berbeda. Tidak ada pembahasan waktu mereka tawuran setiap bertemu kala SMA dulu. Ia mengeluarkan ponsel, ia mengirim pesan singkat kepada Mili bahwa ia bertemu Rama. Ia juga berpikri bahwa Mili sedang bersama gebetannya, dan lebih membutuhkan privacy berdua. Dara melangkah keluar dan memasukan ponselnya ke dalam tas kembali. Ia mendapati Rama tidak jauh darinya, laki-laki itu ternyata menunggunya. Saling berpandangan satu sama lain. Entahlah, ia merasa canggung jika diperhatian seperti ini. "Hai ...," Dara melangkah mendekati Rama. Ia melihat tato bergambar segitiga dipunggung tangannya. "Udah selesai," "Udah," "Nanti temenku ada datang, nggak apa-apa ya kamu gabung. Nanti aku kenalin sama mereka," Rama mencoba menjelaskan. "Owh, iya nggak apa-apa kok," "Jadi kamu sekarang sibuk apa?," Tanya Rama penasaran. "Sibuk dibutik aja, jahit baju, jualan online," Alis Rama terangkat, ia menempelkan kartu akses dipintu lalu terbuka. Ia memperlebar daun pintu mempersilahkan Dara masuk. "Kamu bisa jahit?," "Iya, aku ambil kursus jahit dulu. Ternyata asyik juga buat baju-baju. Sekarang aku punya butik," Dara mengedarkan pandanganya kesegala penjuru ruangan. Ini adalah room karaoke, di dalamnya terdapat sofa dan beberapa minuman di meja. Ia duduk, dan memandang Rama yang mendekatinya. "Kamu sekarang tinggal dimana?," Tanya Rama, ia duduk di samping Dara. "Di butik, sendiri, kamu?," "Sendiri juga sekarang aku lihat kamu banyak berubah," "Berubah apanya?," "Semakin dewasa, dan memahami hidup," Rama memandang iris mata bening Dara. Bahu terbuka memperlihatkan kulit mulus dan belahan d**a terlihat jelas. "Ya iyalah udah dewasa, dan bukan yang dulu lagi," Rama tersenyum dan melirik Dara, "Kamu juga makin cantik," Gumam Rama. Dara tersenyum simpul, membalas tatapan Rama dengan berani, "Terus," "Pengen langsung tidurin kamu," Dara nyaris menganga mendengar pernyataan Rama, yang ingin menidurinya, "Hah !, Apaan sih," Rama tertawa, karena itulah yang ada pikirannya. Lihatlah pakaian Dara nyaris memperlihatkan seluruh aset yang dimilikinya. Ia yakin hanya hitungan detik ia bisa melepaskan semua. Rama menarik nafas memperhatikan struktur wajah Dara. Mata bening, alis sempurna, bibir tipis yang sedari tadi menggoda untuk dicicipi. Terlebih ia dan Dara berdua di sini, tidak ada yang tahu apa yang mereka berbuat. Hanya lampu temaram, yang menjadi saksi apa yang telah mereka perbuat. Aroma mawar putih tercium dari rambut bergelombang itu. Saling terdiam satu sama lain, Dara juga membalas tatapannya. Suasana lampu temaram yang mendukung, serta sofa yang empuk. Berdua, dengan gelora yang sudah lama tidak dilakukan. Menginginkan suatu sentuhan dan kecupan. Mereka bukan orang baru dan ia juga pernah mengecup pipi itu dengan lancang. "Kamu masih ingat nggak jaman SMA dulu," Dara menahan tawa, ia melirik Rama. Rasa takutnya hilang begitu saja. Ia hanya melihat tato itu di punggung tangan, karena Rama mengenakan hoodie hitam. "Ya masih lah," Rama semakin mendekat ia menoel hidung Dara, "Kamu suka bener kan cari keributan sama aku," "Ihh, situ duluan," "Kamu yang duluan, yang usil," "Ih kamu," "Kamu yang duluan, yang ngadu sana sini sama guru, bilangnya aku merokok, ikut tawuran," timpal Rama memegang dagu Dara agar menatap matanya. "Lah kan emang bener," "Kok cuma aku yang kamu aduin, bukan yang lain. Padahal kitakan rame-rame," "Hemmmm," Dara terdiam menatap iris mata Rama yang tajam. "Apa hayoo," Dara menarik nafas, ia menelan ludah, sentuhan hangat dari tangan Rama menyentuh hati. Jantungnya seketika maraton, "Kamu pinter, nggak pantas ikut-ikutan nakal seperti mereka," Alis Rama terangkat, ia tidak menyangka bahwa itu adalah alasan Dara. Rama mengakup wajah Dara mendekat. Ia menahan nafas lalu berucap, "Banyak hal negatif yang harus diketahui untuk mencari jati diri," gumam Rama. "Hah !," "Aku cium ya," ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN