Reyhan POV
Seorang gadis dengan jilbab panjangnya berwarna biru langit itu tengah sibuk membolak-balikan buku yang sudah sedari tadi berada di tangannya. Dia terlihat sangat anggung duduk di sebuah kursi taman komplek ini. Wajah teduh nya tetap terukir walaupun di tengah kesibukannya saat ini.
Sudah memasuki tahun keempat aku mengenalnya.
Kami hampir bertemu setiap hari saat mengajar mengaji walaupun tak lebih dari berpapasan atau hanya saling melontarkan salam. Tapi hal kecil itu sudah cukup menggemuruhkan detak jantungku saat berhadapan dengannya.
"Assalammualaikum Sabrina"
Entah apa yang tengah merasuki diriku hingga aku akhirnya berani untuk menyapa dan mendekatkan jarakku dengannya, aku kini berdiri tak jauh dari tempat ia duduk.
"Waalaikumsalam, Reyhan. Ada apa?" Tanyanya sambil menutup buku bersampul coklat itu.
"Lusa, insyaallah aku bersama abi dan ummi akan datang ke rumah kamu"
Terkesan sangat dingin bukan?
Aku sangat gugup saat ini. Sedangkan Sabrina, dia hanya tersenyum seakan telah mengerti kegugupanku itu.
Tentu saja aku telah membicarakan masalah ini kepada abi dan ummi sebelumnya.
Dan di usiaku yang sudah menginjak 26 tahun ini aku juga terbilang sudah cukup mampu untuk membangun sebuah mahligai rumah tangga, bukan hanya dari segi usia saja, pekerjaan ku sebagai seorang arsitek telah memantapkan langkahku untuk menafkahkan keluargaku kelak.
"Kamu nggak mau nanya untuk apa aku ke rumah kamu?" Tanyaku dengan suara sedikit bergetar
Dia terkekeh sesaat.
"Aku nggak yakin kamu bisa mengatakan maksud kamu itu untuk datang ke rumah om aku. Kamu terlihat sangat gugup dan gelagapan sekarang, Rey"
Gadis ini, mengapa dia selalu saja berkata dengan sangat polos seperti ini. Jujur. Sangatlahp jujur.
"Aku mencintai kamu Sabrina"
Memang bukan dengan suara yang lantang ku katakan pernyataan cinta ini, namun cukup bisa di dengar oleh Sabrina.
Terlihat jelas terlebih saat dia menatapku sambil tersenyum secara singkat sebelum kemudian kembali menundukkan pandangannya.
"Akan aku tunggu kehadiran kamu Rey" hanya itu yang keluar dari bibir mungil nya.
Apakah ini merupakan lampu hijau bagiku? Sebuah senyum terulas di wajahku.
"Baiklah, kalau begitu aku pamit dulu, assalammualaikum"
"Waalaikumsalam"
Lagi-lagi Sabrina bisa membuatku tersenyum sepanjang perjalanan kembali ke rumah.
.
.
.
Tak butuh waktu lama untuk pergi ke rumah Om Fadlan. Hanya bermodalkan kaki aku bersama abi dan ummi telah sampai di depan pintu bewarna putih ini.
Akhirnya hari ini tiba. Hari dimana aku akan melamar seorang gadis yang telah berhasil membuatku tak karuan 4 tahun terakhir ini.
Berselang beberapa ketukan pintu, akhirnya Om Fadlan yang merupakan tuan rumah membukakan pintu untuk menyambut kami.
"Assalammualaikum Fad" salam abi.
"Waalaikumsalam Pak, Bu, Rey, mari masuk mari" sambutan hangat khas Om Fadlan mengiringi langkahku masuk ke rumah dengan warna kuning menghiasi dinding ruang tamu ini.
"Ada apa nih, sekeluarga ke rumah saya?" Tanya om Fadlan begitu kami telah duduk bersama.
Apakah Sabrina tidak menceritakan hal tempo hari di taman itu? Seharusnya dia tentu memberi tahu Om Fadlan, atau dia ingin memberi kejutan?
Batinku dipenuhi oleh banyak pertanyaan. Hingga akhirnya abi lah yang bersuara menjelaskan maksud kedatangan kami.
Keterkejutan terlihat jelas di wajah ayah dua anak itu.
"Apa nak Sabrina tidak memberi tahu kamu Fad?" Kini giliran ummi yang bertanya.
"Tidak, bu. Dia tidak berkata apa-apa kepada saya"
"Padahal Reyhan sudah sempat menyampaikan niat kami untuk ke sini beberapa hari lalu" lanjut ummi
"Sekarang Sabrinanya ada Om?" Tanyaku penasaran
"Wah tamu dekat nih" Kini tante Fina telah menyajikan beberapa cangkir teh. Sejujurnya aku berharap Sabrinalah yang akan menyajikannya. Kemana gadis itu?
"Ada apa nih Pak, Bu, Rey?" Kini giliran tante Fina yang bertanya setelah ia duduk tepat disamping suaminya.
"Kedatangan kami ke sini sebenarnya ingin melamar keponakan kalian, Sabrina" abi akhirnya langsung to the point menjelaskan maksud kedatangan kami.
Lagi-lagi sepasang suami istri itu terlihat terkejut. Bahkan pertanyaanku tadi mengenai keberadaan Sabrina yang kuajukan pada Om Fadlan belum mendapat jawaban.
"Hmm begini Pak, Bu dan juga Nak Reyhan, Sabrina sudah tidak tinggal bersama kami lagi" akhirnya terjawab sudah kegelisahanku.
"Maksud kamu Fad?" Ummi turut kaget mendengar pernyataan dari On Fadlan.
"Tadi malam, neneknya yang merupakan ibu dari ibu kandung Sabrina menjemput dia. Kami juga sangat terkejut dengan kedatangan beliau, semua keluarga besar juga tau bahwa memang tidak ada hubungan baik antara neneknya itu dengan ibu dari Sabrina"
Perkataan Om Fadlan sempat tergantung beberapa saat
"Ternyata kedatangannya itu memang bermaksud memperbaiki hubungannya dengan Sabrina, tapi Sabrina nggak ada menitipkan pesan apapun untuk kamu Rey, sebagai pamannya pun saya melepaskan Sabrina untuk pergi bersama neneknya" tandasnya.
Aku terpaku tak percaya mendengar semua perkataan dari Om Fadlan. Apa maksud dari kepergian mendadak Sabrina ini. Tanpa pesan dia pergi begitu saja.
"Apakah kamu tau dimana mereka sekarang tinggal Fad?" ummi kembali bertanya.
"Kami sempat menanyakan hal itu, tapi keliatannya nenek Sabrina enggan memberi tahu hendak kemana ia akan membawa Sabrina" jawab tante Fina.
"Kamu masih punya kontaknya Sabrina kan Rey?" tanya abi.
Iya. Tentu aku memiliki kontak Sabrina.
"Maaf sebelumnya nak Rey, Sabrina juga tidak membawa handphone nya, saya juga kurang tau apakah dia sengaja meninggalkannya atau bagaimana"
Harapanku pupus sudah. Ada apa dengan kamu Sabrina? Setelah mendengar semuanya, aku hanya diam sibuk dengan pikiranku sendiri.
.
.
.
"Rey, ummi sama abi mau bicara sama kamu ba'da maghrib nanti" tutur ummi
Aku hanya menganggukkan perintah dari ummi dan segera berlalu menuju kamarku.
Secepat inikah semuanya terjadi? Baru dua hari yang lalu aku menyatakan cinta padanya, tak kutemui tanda penolakan dari dirinya. Tapi hari ini dia menghilang tanpa membiarkan aku mengetahui apakah cintaku itu terbalaskan atau malah sebaliknya, bertepuk sebelah tangan.
Akankah suatu saat kamu akan kembali Sabrina? Haruskah aku menunggumu? Mencarimu? Atau melupakanmu?
Semua pertanyaan ini seakan datang bertubi-tubi menghantuiku. Dengan langkah gontai aku menuju kamar mandi, berniat sedikit menyegarkan diriku.
.
.
.
"Jadi bagaimana keputusan kamu nak?" Tanpa basa-basi itulah kalimat yang membuka percakapan antara aku, ummi dan abi.
"Reyhan butuh waktu, Mi" jawabku datar
"Kamu pasti kecewa, tapi ingatlah lagi mungkin saja ini merupakan petunjuk dari Allah, jika memang bukan Sabrina jalan takdir kamu" kini abi pun ikut bersuara.
"Reyhan akan menunggu Sabrina"
Itulah ucapan terakhir yang keluar dari mulutku. Setelah itu aku teguk segelas air putih dihadapanku dan menghabiskannya. Kemudian aku melangkahkan kaki masuk ke kamarku.
Seakan mengerti aku membutuhkan waktu untuk sendiri. Abi dan ummi membiarkan aku berlalu begitu saja.
Aku sudah memutuskannya hari ini. Aku akan menunggumu Sabrina.