Pertemuan Pertama

1275 Kata
Reyhan POV Tok Tok Tok "Assalammualaikum" Suara ketukan pintu rumah, membuatku menyudahi kesibukan mengerjakan tugas akhir kuliahku. "Waalaikumsalam" jawabku setengah berteriak membalas suara salam seorang wanita yang saat ini berada di depan pintu rumahku. Segera kuraih gagang pintu bewarna putih itu. Seorang gadis berkerudung panjang saat ini tengah berdiri di depanku dengan sekantung plastik bewarna putih di tangan kanannya. Tidak lama ia segera menyodorkan kantung yang ternyata berisi buah apel segar. "Eh Sabrina?" Suara ummi tiba-tiba saja terdengar menghampiri kami, akupun segera mundur sedikit ke belakang dan memberi jalan pada ummi. Kemudian kantung itu segera diraih oleh ummi. "Iya Bu, ini ada titipan dari Om Fadlan" ucapnya dengan sangat lembut. "Wah apel Malang ya?" Tanya ummi "Iya, beliau kemaren baru pulang dari Malang" Ntah mengapa aku masih saja berdiri di belakang ummi, kelakuanku hari ini persis seperti seorang anak kecil. "Sampaikan terimakasih sama om kamu ya" Ternyata dia adalah keponakan dari Om Fadlan, tetangga sekaligus murid dari ayahku saat beliau duduk di bangku kuliah. Iya. Ayahku adalah salah satu dosen di salah satu universitas islam ternama di kota ini. "Kamu masih mau berdiri disini Rey?" Pertanyaan ummi barusan menyadarkanku dari lamunanku. Dan saat ini Sabrina ternyata sudah pergi kembali ke rumahnya, terlihat punggungnya yang sudah menjauh dari penglihatanku. Tak berselang lama akupun segera menutup pintu rumahku. "Dia keponakan Om Fadlan, Mi?" Tanyaku pada ummi yang kini tengah menyusun buah apel pemberian Sabrina tadi di atas sebuah keranjang buah. "Iya, dia anak dari kakak kandung Fadlan, sekarang dia udah yatim piatu dan sengaja juga pindah ke sini karena cuma Fadlan salah satu kerabat terdekatnya, kenapa cantik ya?" Sepertinya ummi tau bahwa aku sedari tadi terpukau pada penampilan Sabrina. "Selesaikan dulu kuliah kamu, setelah itu baru kamu lamar dia" lanjut ummi. Jantungku tiba-tiba berdegup kencang mendengarkan nasehat ummi barusan. Tapi ntahlah aku juga merasa menginginkan dia, Sabrina. Walaupun hanya dalam waktu beberapa detik tadi aku bertemu dengannya. Dari sikap dan gerak-geriknya bahkan cara dia berbicara aku tau dia bukanlah sembarang wanita. Wajahnya teduh tanda wudhu yang selalu ia jaga. Astaghfirullah. Apa yang sedang aku pikirkan? Segera aku mengambil air wudhu untuk melepaskan Sabrina dari pikiranku. . . . Jam ditanganku sudah menunjukkan pukul 4 sore itu berarti sudah saatnya aku ke masjid yang hanya berjarak beberapa meter dari rumahku. "Kak Reyhan!" Tak lama setelah aku memasuki perkarangan masjid, Bima seorang anak laki-laki yang masih berusia 6 tahun itu memanggilku dari kejauhan, segera ia menghampiriku sambil berlari. "Ada apa Bima?" Tanyaku sambil menyama ratakan tinggi badannya dengan tubuhku. "Itu ada kakak cantik disana, aku mau ngaji sama kakak itu aja" ucapnya bersemangat. Sabrina, itu pasti dia, batinku. "Tapi kan kamu laki-laki, yang belajar sama kakak itu harus perempuan" jelasku penuh pengertian. "Yah tapi kan kakaknya cantik" Bima terlihat sangat kecewa. "Emang kalau mau ngaji harus pilih-pilih guru ya?" Ucapku sambil mengelus kepalanya. "Yaudah deh nggak jadi, Bima sama Kak Reyhan aja ngajinya" dengan cepat sekali ia berubah pikiran. Aku hanya tersenyum melihat Bima yang kini berlari kembali memasuki masjid. Setelah itu akupun ikut menyusul di belakangnya. Dan memang tidak kutemui sosok Sabrina di lantai dasar masjid ini, karena ia memang mengajar di lantai atas. Namun aku masih dapat mendengar sayup-sayup suaranya yang membimbing para anak-anak perempuan itu. Sungguh suara yang indah, terdengar lembut dan bersahaja. Tak ingin kembali terjebak memikirkan wanita itu aku segera menuju kerumunan pria kecil yang sudah menunggu kedatanganku. . . . Butuh waktu satu jam saja untuk mengajar anak-anak itu mengaji, dan sekarang saatnya aku kembali ke rumah sebelum nanti akan ke sini lagi untuk melaksanakan shalat berjamaah. Baru saja aku melangkahkan kaki keluar dari masjid saat kudengar suara Sabrina dari kejauhan. "Reyhan!" Ucapnya Ternyata dia sudah mengetahui namaku, ada rasa bahagia terselip saat dia dengan sedikit lantang memanggil namaku itu. "Iya ada apa Sabrina?" Tanyaku sambil memutar tubuhku dan saat ini kami saling berhadapan. "Kamu kuliah di Universitas Islam Az-Zikri bukan?" Tanyanya sambil mengucapkan lengkap nama universitasku itu. "Iya, ada apa?" Tentu aku penasaran untuk apa dia menanyakan hal itu. "Hmm nggak cuma memastikan aja" ucapnya sambil terlihat malu-malu. "Apa kamu juga bakalan kuliah di sana?" Tanyaku penasaran. "Iya. Lusa aku akan mulai kuliah, tapi aku sudah telat 3 tahun" ucapnya sambil menunduk. "Nggak ada kata terlambat untuk menimba ilmu, semangat untuk hari pertama kamu kuliah lusa nanti!" Ucapku yang tentu dengan senang hati pula menyemangatinya. "Terima kasih kalau gitu, semangat juga aku dengar kamu sedang menyusun skripsi" kali ini dia cukup mengangetkanku "Ternyata kamu cukup banyak mengetahui tentang aku, termasuk nggak perlu lagi aku memperkenalkan diri" jawabku sambil diselingi tawa. "Aku tau semuanya dari Om Fadlan hahahaha" aku suka melihatnya tertawa seperti ini. "Kalau gitu, aku duluan ya, sebentar lagi maghrib, assalammualaikum" pamitnya sambil menangkupkan kedua tangannya. "Waalaikumsalam" balasku sambil turut menangkupkan tanganku di depan d**a. Setelah itu kupersilahkan dia terlebih dahulu untuk pulang. Ternyata aku sangat menikmati obrolan singkatku dengan Sabrina tadi, terbukti sampai sekarang aku masih senyum-senyum sendiri sepanjang perjalanan ke rumah. . . . Hari ini aku sengaja datang ke kampus untuk menemui dosen pembimbingku. Aku pergi bersama abi karena memang inilah universitas yang kumaksud tadi, tempat abi mengajar dan tempatku belajar pula. Setelah berpamitan dengan abi, akupun bergegas menuju ruangan dosen pembimbingku, hingga langkahku terhenti ketika melihat sesosok wanita yang sangat ku kenali dan kini dia terlihat kebingungan mencari sesuatu. "Sabrina, kamu sedang apa?" Tanyaku padanya. Ia awalnya kaget saat melihatku. "Reyhan! Syukurlah ada kamu disini, aku dari tadi nyari ruangan Pak Syahrir" Tepat sekali yang aku pikirkan tadi, dia ternyata mencari ruangan Pak Syahrir yang merupakan staff administrasi itu. "Oh Pak Syahrir, itu di ruangan ketiga dari sini" jawabku sambil menunjuk ke arah ruangan itu. "Baiklah terima kasih" ucapnya sambil tersenyum dengan sangat manis dan segera berlalu. Dia terlihat sangat ceria hari ini. Eh tunggu dulu kenapa dia malah berbelok di pintu ke empat, dan itukan ruangan Bu Reni yang terkenal dengan kegalakannya, apalagi beliau sangat tidak senang bila sembarangan mahasiswa yang tidak ada keperluan penting mendatangi ruangannya. Sebelum Sabrina hendak mengetuk pintu, aku segera menyusulnya. Dan secara tak sadar aku telah menarik tangannya begitu saja. Mungkin aku menariknya terlalu kencang sehingga tubuhnyapun ikut berbalik dan dapat kurasakan kepalanya menabrak d**a bidangku. Dapat kurasakan jantungku saat ini berdegup dengan sangat kencang, terlebih posisi Sabrina juga sangatlah dekat denganku, aku takut dia medengarkan detak jantungku ini. "Kamu salah ruangan" bisikku Dia hanya diam dan sebentar menatapku lalu mengalihkan pandangan nya ke arah tanganku. Astaghfirullah. Aku lupa melepaskan tangannya. Dengan salah tingkah aku segera melepaskannya dan menjauh beberapa langkah ke belakang. "Maaf, aku nggak sengaja" jelasku padanya. "Nggak papa. Tapi sebenernya aku memang sengaja ke ruangan Bu Reni dulu" "Hah? Kamu udah tau itu ruangan Bu Reni?" Aku jadi merasa sangat malu mendengar penjelasannya. "Iya, Bu Reni kan pelanggan setia di toko kue tante Fina, kemarin saat beliau lagi beli kue, beliau nyuruh aku ke ruangannya karena katanya mau minjemin beberapa buku ke aku." jelasnya sambil menahan tawa. Aduh bagaimana aku bisa terlalu ceroboh seperti ini. Ternyata sebelumnya mereka sudah saling mengenal. Tante Fina istrinya Om Fadlan memang memiliki sebuah toko kue yang cukup terkenal disini. Akupun hanya bisa tertawa menghilangkan rasa maluku, sambil mengacak sedikit rambutku sendiri. Sabrinapun akhirnya tak lagi menahan tawanya dan sekarang dia malah terlihat asyik menertawakanku. Setelah kejadian itu, aku segera pamit untuk melaksanakan tujuan awalku ke sini. Aku masih sangat malu sampai sekarang, saat aku tengah berdiskusi dengan dosenku saja aku masih memikirkan kejadian tadi. Semoga itu adalah hal memalukan yang pertama dan terakhir karena tentu saja aku tak ingin dinilai sebagai pria aneh di depan wanita yang aku sukai itu. Secepat inikah aku menyukainya? Atau malah sudah mencintainya? Aku juga tidak bisa mengartikan semua perasaanku. Karena baru kali ini aku merasakan segalanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN