Aqila POV
Ternyata cerahnya langit dan teriknya matahari beberapa menit yang lalu tak menjamin bahwa hujan tak akan berkunjung ke bumi hari ini.
Aku yang tadinya hanya ingin singgah sebentar di kedai kopi 24 jam ini terpaksa harus duduk terlebih dahulu dan meneguk secangkir kopi yang tadinya sudah dimasukkan ke dalam paper cup bewarna coklat itu, dan kebetulan juga aku sangat memerlukan kehangatan saat ini.
Berkali-kali aku mencoba menikmati setiap rintik hujan yang mengalir itu, tapi tetap saja aku masih merasa gelisah. Bagaimana tidak? Ini adalah hari pertamaku mengikuti ujian di bangku kuliah, di tahun pertamaku pula.
Sungguh tak bisa dibiarkan, sepuluh menit lagi ujian itu akan segera dimulai dan dari sini biasanya aku memerlukan waktu sekitar tujuh menit agar sampai disana dengan berjalan kaki, tapi hujan ini. Arghh. Menyebalkan.
Aku telah bersiap menembus hujan tanpa payung peneduh. Segera aku berjongkok untuk menggulung celanaku, mengikat rambutku yang telah mencapai pundak, mengubah posisi tas ke depan agar bisa setidaknya kupeluk untuk melindunginya dan tak lupa sekarang aku tengah siap menghitung dalam hati dimulai dari 5......4......3....2....dan
"Selamat siang nona, apa kamu memerlukan tumpangan payung?"
Tiba-tiba saja aku yang sudah bersiap untuk berlari tadi menghentikan niatku itu ketika sebuah tangan, oh bukan, maksudku sebuah jari telunjuk menyentuh bahuku. Disertai dengan suara berat khas pria itu menawarkan payung.
Akupun segera membalikkan tubuhku.
Ya Allah. Lelaki yang baru saja menyentuh bahuku hanya dengan jari telunjuknya itu sangat tampan. Sesuai dengan suara indah miliknya itu. Mata elang kecoklatan, rambut hitam pekat, hidung mancung, kulit putih, tinggi, rapi dan dia terlihat sangat sempurna.
"Kamu ojek payung?" Tanyaku sambil menetralkan deru jantungku ini.
Dia langsung tertawa keras saat mendengar pertanyaanku. Dia makin terlihat tampan saat tertawa lepas seperti ini.
"Oh maaf, aku kira kamu.."
"Hahahah santai aja" kini ia tengah mengatur nafasnya setelah tertawa terbahak-bahak tadi. Bisa kuakui selera humor dia sangatlah rendah.
"Jadi apa kamu mau berbagi payung sama aku?" sambungnya.
Aku sempat berpikir sejenak. Payung itu memang terlihat besar.
"Hmm aku gak ngerepotin kamu?" Tanyaku ragu
"Kamu mau ujian hari ini kan?" Ia malah balik bertanya.
"Aku juga sama kaya kamu, Karel Adi Pratama, Mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi sama seperti kamu" lanjutnya cepat.
"Apa? Kita sefakultas? Seangkatan?" Tanyaku bingung.
"Nanti aku jelasin, sekarang kita harus cepat ke sana nanti telat" ucapnya sambil berteriak karena memang suara hujan yang tak kalah kuat.
Belum sempat aku menyatakan persetujuanku ia segera meraih pundakku membawaku dalam rangkulannya dan kami saat ini setengah berlari di bawah hujan. Ingin rasanya aku pindahkan saja kampusku itu agar bisa lebih lama di dekatnya seperti ini. Ntah apa yang sedang kurasakan saat ini? Hanya kehangatan yang ada. Sesekali aku melirik ke arahnya dan melihat lekat setiap lekuk wajahnya itu. Dia sangat mempesona.
.
.
.
Kami tiba tepat waktu saat dosen baru saja keluar dari ruangannya dan dari arah berlawanan menuju kelas.
Dengan keadaan sepatu basah kamipun memasuki kelas.
Karel duduk tepat disebelahku, dari tempat dudukku aku berusaha mengucapkan terima kasih dengan mulut bergerak tanpa suara. Ia membalas ucapan terima kasihku dengan cara yang sama tapi bedanya ada sekilas senyum manis yang ia berikan. Oh tidak sepertinya dia bisa membuatku tersenyum sepanjang ujian nanti.
.
.
.
Tidak butuh waktu lama bagiku untuk mengerjakan ujian ini, semuanya memang karena aku sudah menyiapkannya jauh-jauh hari. Segera aku merapikan semua peralatan tulisku dan bersiap mengumpulkan kertas ujianku, saat itu pula aku menoleh ke arah dimana Karel tadi berada, dan yang benar saja ternyata dia lebih cepat dariku, meja tempat ia duduk tadi sudah kosong, aduh aku sepertinya kehilangan dia.
"Aqila Ramadhani? Apa kamu sudah selesai?" Pertanyaan dari Bu Marina, dosenku itu menghentikan kesibukanku mencari Karel.
"Oh iya Bu" jawabku singkat.
Dengan sedikit kecewa akupun keluar dari ruangan kelas.
"Ternyata nama kamu Aqila?" Suara Karel!
Oh syukurlah ternyata dia tidak meninggalkanku.
"Segitunya takut aku hilang?" Tanyanya berhasil membuatku sangat malu.
"Aku cuma masih ngerasa berhutang sama kamu" jawabku tulus
"Kalau gitu tunggu aku besok jam 11 di kedai kopi tadi, okay? Aku duluan ya, teman-teman aku udah pada nungguin" ucapnya dan dia berlalu begitu saja.
Besok kan hari Minggu, apakah dia mengajak ku nge-date? Astaga aku mulai berharap ketinggian. Tapi dengan senang hati aku akan membayar hutangku itu.
Karel Adi Pratama, kini namanya menjadi salah satu nama yang akan sangat kuingat.
.
.
.
Baru saja aku mendorong pintu kedai kopi itu dan mataku langsung menemukannya seorang pria tampan yang mengenakan kaos bewarna navy blue dengan sebuah gambar robot pada bagian depannya tengah sibuk membaca buku yang memang disediakan di kedai ini. Segera aku menuju ke arahnya.
"Hai Karel!" Ucapku bersemangat.
Ia langsung mengakhiri bacaannya.
"Akhirnya kamu datang juga, aku kira aku harus bayar sendiri kopi dan roti bakar ini"
"Tenang. Aku cuma telat 20 menit" jawabku santai.
"Bukan. Kamu itu telatnya hampir setengah jam" jawabnya dengan menekankan suara pada bagian akhirnya.
Aku hanya tertawa mendengar ucapan dia barusan, sepertinya aku telah ketularan olehnya yang memiliki selera humor rendah.
"Jadi aku hanya perlu bayar makanan kamu kan?"
"Akan lebih baik kalau kamu nemenin aku ngobrol beberapa jam ke depan" jawabnya santai
Aku seperti tengah terbang saat mendengar ucapannya barusan. Bahkan jika ia memintaku menemani dia mengobrol selamanya juga pasti aku mau.
"Kamu kenapa senyum-senyum gitu?" tanyanya sambil ikut tersenyum.
"Nggak, aku cuma lagi pengen senyum aja"
Selanjutnya kamipun larut dalam obrolan yang panjang. Kebanyakan kami membahas mengenai beberapa film, n****+ dan musik. Sungguh obrolan yang sangat menyenangkan terlebih bersama dia, yang berhasil mempesonaku di awal bertemu.
Aku tak menyangka, ternyata aku bisa jatuh hati secepat ini.
"Oh iya, aku baru tau loh kalau kita sefakultas dan seangkatan bahkan satu jurusan" ucapku
"Aku sih udah sering liat kamu, tapi untuk nama aku baru tau kemarin" balasnya
"Kok aku gak pernah liat kamu ya?" Tanyaku bingung sendiri
"Itu wajar, karena kamu kalau di kelas cuma fokus sama dosen, kamu sebegitu tergila-gilanya kuliah?" Kini gilirannya bertanya.
"Aku cuma menjalankan kewajiban aku sebagai mahasiswa" jawabku dengan sedikit sombong.
Dan setelah aku mengucapkan kata barusan tiba-tiba saja ia mengacak rambutku. Aku merasa sangat gugup dengan perlakuannya barusan. Tapi aku berusaha menutupi semuanya, semoga dia tidak menyadari kegugupanku saat ini.
.
.
Waktu berlalu dengan sangat cepat dan kini kami sudah berada di luar kedai.
"Kamu pulang naik apa?" Tanyanya sambil menatapku.
"Kayanya taksi" jawabku.
"Kalau gitu biar aku aja yang ngantar kamu"
Apa? Diantar olehnya, ah aku sangat mau.
"Ayo!" Aku hampir saja berteriak kesenangan.
Dan Karel hanya tertawa melihat tingkahku. Segera aku masuk ke dalam mobilnya saat ia membukakan pintu untukku dan yang benar saja lagi-lagi hujan turun.
"Kenapa hujan akhir-akhir ini jadi suka gak jelas gini?" Tanyaku sambil menatap kaca mobil Karel yang sudah dibasahi air hujan ini.
"Dia cuma bosan sama langit dan lagi rindu sama tanah" ucapnya sambil seutas senyum tersuguhkan di wajah tampannya. Sangat manis.
Sepertinya ini bukan lagi jatuh hati tapi aku jatuh cinta padanya, Karel, hujanku.