PART. 6

719 Kata
Setelah selesai makan. "Gosok gigi dulu, Mi. Ganti pakaian, wudhu, kita sholat Dzuhur di musholla. Papi mencuci ini dulu." Banyu beranjak ke luar dari kamar, dengan membawa perabot bekas makan mereka. Meera masuk ke dalam kamar mandi untuk menggosok giginya. 'Apakah Banyu benar-benar mencintai Mira? Apakah cinta tulus itu benar-benar ada? Apakah jika Banyu diberi kemampuan lebih, jadi kaya, dia masih akan setia pada wanita gen ... ehmm, pada Mira. Atau mungkin, sebenarnya dia hanya baik di depan istrinya saja? Tapi, di luar sana ia memiliki wanita lainnya?' "Mi, sedang apa?" Pintu kamar mandi dibuka Banyu. Meera menolehkan kepala, Banyu berdiri di belakangnya. Meera baru menyadari ternyata tinggi Mira hanya sampai dagu Banyu saja. "Lihat naon? Mami teh tetap cantik, teu berubah dari saat pertama kita berjumpa. Tetap seksi, membahenol, cetar tak ada tandingnya." Banyu mengusap bahu Meera. "Iih, jangan pegang-pegang!" Meera menepiskan tangan Banyu. "Ayo ke luar, ganti baju dulu. Papi tunggu di musholla. Kalau kelamaan di sini, nanti Papi tergoda." "Otak kamu itu m***m sekali ya!" Meera memutar tubuhnya. Ia mendongak agar bisa menatap wajah Banyu. "Mami terlalu seksi untuk tidak dimesumin." Banyu tertawa sambil menjawil dagu Meera dengan ujung jari telunjuknya. "Iih, aku bilang jangan pegang-pegang." "Iya, iya. Papi ke musholla duluan ya." Banyu ke luar dari dalam kamar mandi. Meera menatap punggung Banyu yang meninggalkannya. Lalu Meera memutar tubuhnya. Ditatap tubuh gendut Mira di cermin. "Kau, si gen ... kau beruntung, karena memiliki suami seperti Banyu. Tapi, aku tidak yakin, ada suami sebaik dia. Pasti dia punya selingkuhan di luar sana. Karena cinta tulus itu hanya omong kosong belaka.' Selesai sholat Dzuhur berdua. "Bobo yuk, Mi." "Iih, memangnya aku bocah. Tidur lebih pantas dari pada bobo!" "Papi berharap, kemanjaan Mami segera kembali, aamiin." "Aku rasa, kita harus bicara, ada banyak hal yang ingin aku tanyakan padamu." "Kita bicara di dalam kamar saja ya." Banyu melangkah lebih dulu, Meera mengikuti dari belakang. Meera duduk di tepi ranjang. Sementara Banyu membuka lebar jendela yang mengarah ke kebun di belakang dapur. Lalu Banyu duduk di samping Meera. "Apa yang ingin Mami tanyakan?" "Tentang kamu, dan aku." "Tentang kita? Kita suami istri, Mami." "Aku amnesia, kamu lupa? Aku ingin tahu, di mana kita bertemu, bagaimana prosesnya sehingga kita sampai menikah." "Oooh ... Mami ingin bernostalgia begitu?" "Aku amnesia, aku lupa segalanya, bukannya ingin bernostalgia. Kau ini, dasar or ...." 'Meera ...." Meera menolehkan kepala, saat mendengar seseorang menyebut namanya. Pria berbaju putih itu menyandarkan punggungnya di lemari, ia menggoyangkan jari telunjuknya, seakan mengingatkan Meera, apa yang tidak boleh dilakukannya. Meera menghembuskan nafasnya dengan kesal. "Jangan marah dong, Mami. Sok atuh, Mami ingin tanya apa, akan Papi jawab semua." "Seperti yang aku katakan tadi. Ceritakan awal kita bertemu sampai kita menikah." Banyu mendongakkan wajah, kedua telapak tangannya mengusap kedua pahanya. Bibirnya tersenyum, Meera memperhatikan gerakan sekecil apapun yang dilakukan Banyu. "Kita itu satu kampung, Mami. Mami itu teman mainnya adik Papi. Papi itu sudah suka Mami, dari Mami kecil. Si Mira yang gendut, menggemaskan. Alhamdulillah, gendutnya sampai sekarang." Banyu menaik turunkan kedua alisnya bergantian. Dijawil dagu Meera dengan ujung jari telunjuknya. "Iih!" Mira menepiskan tangan Banyu dengan wajah marah. "Mami itu tidak pernah marah, kalau cemberut-cemberut manja minta perhatian seperti ini sering." "Ish ...." Meera membayangkan Mira bersikap manja pada Banyu. 'Si gen ... eeh, Mira ini sepertinya sama genit dengan suaminya.' "Tidak usah genit-genit. Kegenitanmu tidak akan membuat aku mengingat apapun!" Banyu tertawa pelan. Ia suka sekali melihat wajah cemberut istrinya. Sangat imut, dan menggemaskan, menurutnya. "Jangan cengar-cengir begitu, cepat cerita!" "Sabar atuh, Mami." Banyu kembali menjawil dagu Meera dengan ujung jari telunjuknya. Meera rasa itu kebiasaan Banyu sepertinya. "Akhh ... Cepat!" "Waktu itu Mami masih SD. Papi sudah tamat SMA. Papi sabar menunggu Mami siap dinikahi. Meski Papi kerja bangunan di sini. Tapi, Papi selalu memantau perkembangan Mami. Pokoknya, Mami harus Papi miliki." "Itu bukan cinta, tapi terobsesi namanya." "Kalau bukan cinta, hanya terobsesi saja, pernikahan kita tidak akan bertahan sampai enam belas tahun, Mami. Dan, mungkin Papi juga tidak akan tahan menunggu Mami beranjak dewasa." Kali ini Banyu tidak menjawil dagu Meera, tapi ia mencubit kedua pipi Meera. Meera memukul kuat lengan Banyu. "Kamu kenapa sih genit sekali?" "Papi'kan memang begitu sama Mami. Suka menjawil dagu Mami, suka cium bibir Mami, suka mencubit pipi Mami, suka menepuk p****t Mami, suka meremas d**a Mami, suka ... suka ini juga, Mami." Banyu mengedipkan sebelah matanya, sambil meletakkan telapak tangan di bawah perut Meera. BERSAMBUNG
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN