PART. 1
Meera membuka matanya. Sakit di sekujur tubuh baru ia rasakan. Juga ada rasa perih di beberapa tempat.
Ditatap langit-langit kamar, ia mencoba mengingat apa yang sudah terjadi pada dirinya.
"Mami Sayang, kamu sudah sadar. Alhamdulillah, ya Allah!" Terdengar suara seorang pria.
Meera menolehkan kepala. Seorang pria berdiri di sisi ranjang, tampak ia menjangkau bel di dinding.
Mata Meera mengerjap, ia merasa tidak mengenal pria yang tampak sangat gembira karena melihat ia membuka mata. Pria itu meraih jemari tangannya. Meera menarik jemari dari genggaman si pria.
"Sayang, ada apa?" Kening pria itu berkerut dalam.
Dokter, dan perawat masuk. Mereka memeriksa keadaan Meera.
"Mana keluargaku?" Tanya Meera dengan suara lirih.
"Dia suamimu.... " Dokter menunjuk pria yang tadi menggenggam jemari Meera.
"Suami?" Tanya Meera lirih. Meera memegang keningnya, ia merasa ada perban di sana.
"Anda tidak mengenali suami anda?"
Meera menggelengkan kepala.
Dokter menarik napas dalam.
"Seperti yang aku sampaikan, ada kemungkinan istri anda mengalami amnesia, Pak Banyu. Dan, hal itu memang terjadi, dia tidak mengenali anda."
"Ya Allah ... akan berapa lama, Dok?"
"Saya tidak bisa memastikan, tapi ini hanya untuk sementara. Anda tidak perlu memaksanya untuk mengingat. Biarkan ingatan itu kembali dengan sendirinya."
"Baik Dokter."
Dokter, dan perawat ke luar dari ruang perawatan.
Banyu, pria itu mendekati ranjang tempat Meera berbaring.
"Anda ini siapa?"
"Aku suamimu.... " Jawab pria itu dengan suara lembut. Kepala Meera menggeleng.
"Dokter mengatakan, kamu amnesia. Tidak ada yang bisa kamu ingat dari masa sebelum kamu mengalami kecelakaan."
"Aku belum menikah!"
"Kata Dokter, kamu tidak perlu memaksakan diri untuk mengingat. Ingatan itu, nanti akan kembali dengan sendirinya."
"Aku tidak amnesia, kamu dengar aku. Aku Meera, Meera Talitha. Aku belum menikah, bagaimana mungkin aku ini istrimu!"
"Namamu, Mira, Mami. Mira Adinda, istriku. Aku Banyu Samudra. Putri kita, Ayunda Almira, dan Ayuning Armila. Mami tidak perlu memaksakan diri untuk mengingat."
"Arghhh, kepalaku sakit sekali." Meera memegang kepalanya, ia mengerang, membuat Banyu merasa takut. Banyu segera memijit bel untuk memanggil dokter.
"Mami!"
Banyu berseru, Meera kembali pingsan. Tim medis berdatangan.
Dalam raga Mira yang pingsan. Jiwa Meera yang tidak bisa menerima kenyataan, menangis menatap raga yang bukan miliknya. Ia ingin kembali pada tubuhnya sendiri. Tapi, ia tidak tahu di mana raganya berada. Ia tersesat di tempat yang asing baginya.
"Meera!" Meera menolehkan kepala, mencari asal suara yang memanggil namanya.
Sesosok pria berpakaian putih, berdiri tidak jauh dari tempatnya.
"Kamu ingin kembali pada ragamu?"
"Ya!" Meera berseru girang.
"Kamu bisa kembali, tapi dengan syarat."
"Apa syaratnya?"
"Kamu harus menjalani hidup di dalam raga wanita ini selama tiga bulan. Dalam tiga bulan, kamu tidak boleh mengeluh, tidak boleh menghina, tidak boleh mengumpat, tidak boleh malas, dan kamu harus bisa merubah kehidupan mereka menjadi lebih baik."
"Tiga bulan!?" Meera menatap tubuh yang terbaring di atas ranjang. Tubuh yang tadi sempat menjadi tempat jiwanya. Tubuh yang sangat jauh berbeda dengan tubuhnya. Meera bergidik, membayangkan ia bercermin, dan melihat tubuhnya seperti itu.
Selama ini, ia selalu menganggap penampilan adalah nomer satu. Ia selalu mencemooh semua wanita yang tidak bisa menjaga penampilannya. Apa lagi tidak bisa menjaga bentuk tubuhnya.
"Aku tidak mau!" Seru Meera, ditatap tajam pria di hadapannya.
"Keputusan ada di tanganmu, Meera. Ingin kembali ke tubuhmu, maka penuhi syarat yang aku ajukan. Dan, kamu harus ingat, setiap kamu melanggar larangan, maka hari hukumanmu akan dimulai dari awal lagi."
"Apa? Itu penyiksaan!"
"Itu bukan penyiksaan, tapi itu akan membantumu untuk memperbaiki sifat burukmu. Kamu mau atau tidak, terserah padamu."
Meera berpikir sejenak, tidak ada jalan baginya untuk kembali ke kehidupannya yang nyaman selain memenuhi keinginan pria yang ia tidak tahu siapa.
"Apa itu jalan untuk aku bisa kembali pada tubuhku?"
"Ya."
"Lalu, apakah jiwa wanita ini juga hidup di dalam tubuhku?"
"Untuk itu, aku tidak akan menjawabnya, Meera."
"Kenapa aku tidak boleh tahu?"
"Itu peraturannya."
Meera menghembuskan nafasnya dengan perasaan kesal.
"Baiklah, aku setuju, hanya tiga bulan ya."
"Tergantung dirimu, jika kamu melanggar aturan, maka akan dihitung dari awal lagi."
"Itu terlalu kejam!"
"Itu sepadan dengan kekejaman lidah, dan tingkahmu selama ini."
"Apa hakmu untuk menilaiku, aku cantik, aku kaya, aku pintar, aku sempurna. Wajarkan kalau aku bangga akan diriku."
"Terserah padamu. Tapi, itu peraturannya, Meera. Kamu bersedia atau tidak?"
"Haah, aku tidak punya pilihan lain bukan?"
"Tidak ada pilihan, Meera."
"Baiklah, aku sanggupi syarat darimu."
Pria itu tersenyum, lalu tiba-tiba menghilang begitu saja dari pandangan Meera.
BERSAMBUNG