Aslan benar-benar dirundung kesedihan. Di hari ke empat sepeninggalan Amira, pria itu masih saja betah berlama-lama larut dalam suasana duka.
Sudah banyak sebenarnya keluarga yang berusaha untuk menghibur. Tapi, Aslan nampak terus menutup diri. Seolah kepergian Amira benar-benar berhasil menghancurkan hidupnya.
Jangankan memulai hari untuk bekerja. Berkegiatan ringan sekali pun pria itu tampak sama sekali tidak bersemangat. Seolah-olah pusat hidup dalam diri Aslan tiba-tiba saja berhenti berotasi dengan paksa.
"Aslan, mau sampai kapan kamu gini terus? Nggak baik lama-lama larut dalam kesedihan."
Khalid nampak sangat khawatir. Mana pernah sebelumnya ia melihat sang putra begitu terpuruk seperti ini.
"Umi pun yakin, Amira juga nggak mau kematiannya kamu ratapi seperti ini, As."
Helena ikut menambahkan. Bersama sang suami, ia berusaha memberi pengertian kepada Aslan agar menyudahi kesedihannya. Lagi pula, mana ada manfaatnya juga terlalu tenggelam dalam kesedihan.
"Dari awal, Aslan sadar kalau Amira memang sakit keras dan bisa pergi kapan aja, Umi."
Aslan mengucapkan kalimat itu dengan suara terdengar berat. Menarik napasnya berulang kali, berusaha mengurai rasa sesak yang tampak betah bersemayam di dalam hatinya.
"Hanya saja, rasanya berat sekali. Aslan tau harus ikhlas. Tapi, ada momen di mana Aslan ngerasa nggak rela karena masih ada banyak impian kami yang belum terwujud."
Helena yang duduk tepat di sebelah sang putra, lantas mengulurkan tangannya. Dengan lemah lembut mengusap pundak Aslan, berusaha untuk menguatkan pria berumur 35 tahun tersebut.
"Mau gimana lagi, Nak. Udah takdirnya Amira kalau umurnya sampai di sini aja. Mana bisa kita protes atau menahan kepergiannya."
Aslan mengangguk. Mau bagaimana pun juga, dirinya memang harus ikhlas. Tapi, dibalik rasa sedih yang tengah ia rasakan, ada kegundahan juga yang turut mengganggu pikirannya.
"Aslan tau, Umi. Aslan paham hal itu."
"Kalau begitu, cukup sampai di sini aja sedihnya, As," perintah Khalid begitu serius. "Sudah jadi kewajiban kita yang masih hidup ini untuk melanjutkan hidup. Lagi pula, ada banyak hal dan tanggung jawab yang harus kamu selesaikan, bukan?"
Aslan mengangguk.
"Ya, termasuk menikahi Aisha sesegera mungkin. Demi Allah, Aslan rasa nggak siap, Bi," keluh pria itu seolah kepusingan. Siapa pun, pasti akan bersikap sama seperti Aslan. Baru juga ditinggal pergi oleh istri yang begitu disayang. Tau-tau sudah dihadapkan pada janji untuk menikah lagi. "Tapi, mau mundur juga nggak bisa."
"Kalau Kak Aslan nggak siap, apa perlu aku yang gantikan posisimu, Kak?"
Dari balik pintu kamar, tiba-tiba saja muncul sosok El Rumi yang merupakan adik kandung Aslan. Setelah mendengar sang kakak yang tampak mengeluh, ia sengaja mendekat. Maksud hati ingin mencairkan suasana dengan melempar celetukannya bernada menggoda.
"Lagi pula, Aisha itu cantik, Kak. Kalau menurut penglihatan dan seleraku, lebih cantik dia ketimbang mendiang kak Amira."
Aslan langsung melempar tatapan tajam. Mana dirinya terima ketika mendiang sang istri malah sengaja dibanding-bandingkan dengan wanita lain meskipun oleh adiknya sendiri.
"Nggak usah ngomong sembarangan kamu, El."
"Aku ngomong jujur," debat Elrumi. "Serius, kalau kak Aslan nggak berminat nikahi Aisha, biar aku aja yang gantikan posisi kakak buat nikah sama dia."
"Hushh!" Helena langsung mencubit lengan El Rumi dengan sengaja. Gemas sendiri melihat kelakuan putra bungsunya yang memang suka bersikap sembarangan. "Dipikir nikah kayak kerja bakti? Bisa ditukar atau digantikan. Sembarangan aja kalau ngomong."
El Rumi tertawa. Bukannya diam setelah ditegur. dirinya malah makin semangat untuk menggoda.
"Ya, ketimbang kak Aslan pusing gitu. Kan mending El yang gantiin, Umi. Dari pada mubazir, kan? Sayang banget perempuan cantik di sia-siakan."
"Andai aja amanat ini bisa diserah terimakan, atau diwakilkan ke orang lain, mending Kakak suruh kamu aja yang nikah, El," sahut Aslan kesal.
"Kalau memang nggak siap, jangan diteruskan, As," peringat Khalid kembali. Pria paruh baya itu tiba-tiba khawatir sang putra mengambil keputusan yang salah dan terlalu gegabah. "Menikah itu menyempurnakan separuh agama. Ibadah yang dilakukan seumur hidup. Jangan sampai karena alasan menyesal udah salah ambil keputusan, kamu dengan seenaknya malah sakitin hati anak orang terus tau-tau ngajak cerai. Ketimbang berbuat dosa, mending nggak usah aja dilakukan."
Aslan kembali menarik napasnya dalam-dalam. Entah, mau sampai kapan dirinya ini di hantui perasaan dilema. Kalau mengikuti kata hati, mana rela dirinya menikah kembali. Tapi, Aslan sudah terlanjur berjanji. Ada amanat yang harus ia tepati.
"Kalau mengikuti kata hati, sudah pasti nggak siap. Bayangkan aja, baru ditinggal pergi, udah harus siap-siap nikah lagi sama perempuan yang sama sekali nggak Aslan cinta. Tapi, mau gimana pun juga, Aslan udah janji sama Amira, Bi. Sedang janji adalah hutang yang harus dibayar atau ditepati."
"Jadi, ini kamu udah fix tetap mau menikahi Aisha dalam waktu dekat?" tanya Helena memastikan. Berusaha meyakinkan sang putra atas keputusan yang sudah dibuatnya.
"Iya, Umi. Sesuai janji, minggu ini juga Aslan bakal nikahi Aisha."
"Apa? Minggu ini?"
Helena terkesiap. Ia cukup terkejut dengan keputusan yang baru saja sang putra ambil perihal kapan akan melangsungkan pernikahan keduanya.
Padahal, Aslan sempat mengatakan dirinya tidak siap. Terus, kenapa sekarang malah tampak terburu-buru? Helena tahu Aslan sosok yang bertanggung jawab. Ia pikir, putranya itu butuh waktu dua atau tiga minggu terlebih dahulu untuk menenangkan diri pasca ditinggal pergi sang istri.
Namun, Helena sungguh tidak menyangka kalau Aslan mengambil keputusan untuk menikah di minggu ini juga. Hanya selang beberapa hari setelah sang istri tiada.
"Apa nggak terlalu mendadak? Baru empat hari yang lalu Amira pergi, As. Kalau kamu masih butuh waktu untuk mengatur hati atau menenangkan diri, ya nggak perlu juga buru-buru."
Aslan mengangguk. Ia paham kenapa sang Ibu sampai terkejut, bahkan terlihat kebingungan.
"Amira yang berpesan supaya Aslan segera menikah kalau dia udah nggak ada. Lagi pula, mau sekarang atau nanti, mau besok atau lusa, nggak ada bedanya, Umi. Pada intinya Aslan tetap harus menikah dengan perempuan yang nggak Aslan cinta."
"Iya, Umi tau. Hanya saja ----"
"Udah ..." potong Aslan. "Umi dan Abi nggak usah khawatir lagi. Doakan aja keputusan ini yang terbaik. Dan lagi, walau pernikahannya nanti akan dilangsungkan secara sederhana, Aslan harap Abi dan Umi bersedia bantu Aslan mempersiapkan ini semua."
***
Sepeninggalan sang kakak dan agar tidak bolak balik ketika mengikuti acara pengajian, Helena meminta Aisha untuk menginap beberapa hari di rumah Aslan.
Merasa waktunya sudah cukup, terlebih dirinya juga tidak enak kalau harus berlama-lama menginap di rumah mendiang sang kakak, maka Aisha pun memutuskan untuk pamit pulang. Terlebih ada banyak pekerjaan yang juga harus ia selesaikan.
Karena kebetulan kedua orang tua Aslan sedang menginap juga di sana, jadilah sebelum benar-benar pergi, Aisha memilih untuk berpamitan terlebih dahulu. Ingin juga mengucapkan terima kasih karena selama beberapa hari menginap, dirinya dijamu dan diperlakukan dengan amat sangat baik.
"Umi, Abi ..." sapa Aisha saat menghampiri Helena yang sedang duduk di ruang televisi bersama Khalid. "Aisha mau pamit dulu."
Helena dan Khalid kompak mendongak. Melempar senyum hangat, menanggapi ucapan Aisha.
"Kok buru-buru? Nggak sekalian nanti aja setelah tujuh hari?"
Aisha tersenyum sopan lalu menggeleng. Bisa terbengkalai tugas-tugas kuliah dan beberapa pekerjaannya kalau harus berlama-lama menginap di rumah mendiang sang kakak.
"Nggak, Umi. Aisha harus pulang dulu. Nanti di pengajian berikutnya, insya Allah Aisha bakal ke sini lagi."
Aisha lantas semakin mendekat, menyodorkan tangan, kemudian bersaliman dengan Helena dan juga Khalid secara bergantian.
"Biar supir yang antar, ya, Aisha. Udah malam juga. Nggak baik pulang sendirian," perintah Khalid dan langsung dijawab anggukan oleh Aisha.
"Kamu udah pamit sama Aslan?" tanya Helena kemudian.
Aisha lantas menggeleng. Jangankan bertemu untuk mengucapkan pamit, selama beberapa hari menginap saja dirinya cuma sekali melihat sosok kakak iparnya tersebut. Setelahnya, ia tidak tahu di mana Aslan berada atau menyendiri.
"Belum, Umi. Aisha nggak tau kak Aslan ada di mana."
"Dia ada di ruang kerjanya. Kamu samperin dulu aja sebelum pulang. Umi yakin, ada hal penting juga yang mau dia sampaikan ke kamu."
Aisha mengangguk patuh. Selesai berpamitan dengan kedua orang tua sang kakak ipar, ia pun gegas membawa dirinya untuk segera melangkah menuju ruang kerja Aslan yang ada di lantai dua.
Sebenarnya, malas sekali rasanya Aisha untuk pergi ke sana. Walau tidak disebutkan secara gamblang, ia sadar diri saja kalau kakak iparnya itu seolah tidak suka dengannya.
Selama kenal, bisa dihitung jari pria itu menegur apalagi mengajaknya berbicara walau sekedar basa-basi. Pun ketika berada di kampus sekali pun, saat dalam situasi sebagai dosen dan mahasiswi, Aslan juga jarang sekali mengajaknya dan para mahasiswi lain untuk berbincang.
Aslan, bahkan sampai di juluki dosen kulkas dua pintu karena terlalu irit bicara dan tidak pernah sekali pun tebar pesona. Tapi, herannya masih banyak saja para mahasiswi yang begitu mengidolakannya.
"Assalamualaikum."
Sambil mengucap salam, harap-harap cemas Aisha mengetuk pintu. Bukannya apa, ia takut saja jadi malu sendiri karena dicuekin atau diabaikan oleh kakak iparnya itu.
"Walaikumsalam. Masuk."
Mendengar dengan jelas kalau salamnya disambut bahkan ia persilakan masuk, gegas Aisha membuka pintu. Melangkah masuk, dirinya mendapati Aslan yang tengah duduk di kursi kerjanya.
"Permisi, Kak Aslan. Maaf ganggu waktunya," cicit Aisha tampak hati-hati. Dari gerak-geriknya, kentara sekali kalau dirinya sedang gugup. Ia saja sampai tertunduk saat berbicara dengan Aslan yang jelas-jelas berada di depannya. "Aisha mau pamit pulang. Terima kasih sudah di izinkan menginap di sini."
Aslan menatap diam. Memerhatikan lamat-lamat dari ujung rambut hingga kaki, sosok Aisha yang kini tengah berdiri tak jauh dari pintu ruangan. Kalau diperhatikan benar-benar, Aisha memang masuk kategori wanita cantik dan bahkan lebih cantik dari Amira. Persis seperti apa yang El Rumi katakan.
Namun, tetap saja. Cantik saja tidak cukup. Dan lagi bukan tolak ukur untuk dirinya bisa segera berpindah hati. Toh, sampai detik ini hati Aslan masih dipenuhi oleh sosok Amira.
"Kak Aslan," tegur Amira kala Aslan tidak kunjung memberi tanggapan. "Kakak baik-baik aja? Aisha pamit pulang dulu."
Aslan tersadar. Mengangguk, pada akhirnya bersuara juga setelah diam beberapa saat.
"Iya. Malam ini silakan pulang. Sampai rumah, jangan lupa berkemas. Besok, Umi bakal jemput dan bawa kamu kembali ke sini."
Aisha detik itu juga terkesiap. Pelan-pelan berusaha mencerna apa yang baru saja Aslan katakan. Mau apa juga dirinya disuruh berkemas dan bahkan dijanjikan besok akan dijemput langsung oleh Ibunda Aslan.
"A-apa barusan, Kak? Berkemas? Dijemput."
Aslan mengangguk.
"Saya pastikan kuping kamu nggak lagi bermasalah. Besok, Umi bakal jemput dan bawa kamu buat kembali ke sini. Mulai besok, kamu bakal pindah dan tinggal di sini, di rumah ini."
"Pindah?"
Aslan mengangguk lagi. Dengan serta merta menjawab rasa penasaran yang timbul dalam diri Aisha.
"Iya, pindah. Kamu nggak lupa soal apa yang udah kita berdua janjikan pada Amira soal pernikahan, bukan?"
"I-iya," sahut Aisha tergugu. Mana mungkin dirinya lupa soal yang satu itu. Sebenarnya, ia tidak ingin membahas karena berharap Aslan lupa perihal ini. Tapi, siapa sangka kakak iparnya tersebut malah terlihat sudah merencanakan sesuatu. "Saya nggak lupa dengan janji itu, Kak."
Aslan mengangguk
"Bagus kalau kamu ingat. Itu sebabnya, saya putuskan lusa kita berdua bakal menikah."
Aisha melotot dengan mulut menganga. Ia tahu suatu saat mungkin apa yang sudah ia janjikan dengan Amira bakal terealisasi. Tapi, dirinya tidak menyangka kalau hal tersebut harus dilakukan saat ini juga. Bahkan baru selang beberapa hari setelah sang kakak meninggal dunia. Ini Aslan nggak lagi kesambet, kan?
"Ini saya nggak salah dengar, kan? Lusa, kita menikah?"
Aslan mengangguk. Melangkah maju, sengaja mendekati posisi Aisha sembari menatap tajam ke arah sang adik ipar. Terus mendekat, yang mana membuat Aisha tanpa sadar mundur teratur.
"Kak Aslan ..." cicit Aisha begitu gugup. Ia sudah tidak bisa mundur lagi. Ada pintu besar yang menahan punggungnya untuk bergerak. Tentu saja, ia merasa terjebak sekarang.
"Dengar baik-baik," ucap Aslan dengan suaranya yang berat. "Lusa, kita memang bakal menikah. Sama-sama menepati apa yang sudah kita berdua janjikan pada Amira."
Aisha meneguk ludahnya. Merasa terintimidasi atas apa yang Aslan lakukan. Pria itu tampak mengunci posisinya sehingga ia sulit sekali untuk sekedar bergerak.
"Perlu kamu tau ..." sambung Aslan kembali. "Saya sama sekali nggak cinta sama kamu, Aisha. Saya terpaksa melakukan ini karena sudah terlanjur janji. Jadi, saya harap kamu bisa diajak bekerja sama. Dan perlu kamu ingat baik-baik, setelah menikah nanti, kamu nggak perlu berekspektasi tinggi apalagi bermimpi bakal punya rumah tangga yang membahagiakan."
Aslan kemudian mundur. Berbalik badan, kemudian berlalu. Meninggalkan Aisha begitu saja dengan perasaan bercampur aduk.