1. Permohonan Untuk Menikah Lagi
"Aslan, aku mohon. Menikah lah dengan adikku."
Aslan detik itu juga menggeleng berulang kali. Bukannya menerima tawaran Amira untuk menikah lagi, dirinya malah menolak mentah-mentah permintaan sang istri.
Aslan Ahmad adalah seorang pria yang berprofesi sebagai kontraktor dan juga dosen. Pria keturunan Turki tersebut padahal baru tiga bulan ini resmi mempersunting Amira Azalia, wanita yang berprofesi sebagai designer dan memang sedari dulu Aslan cinta.
Dari awal, sebelum memutuskan untuk menikah, Aslan tahu dan sadar kalau Amira tengah mengidap penyakit kanker kelenjar otak stadium empat. Alih-alih memutuskan hubungan, dengan mantap dirinya tetap mempertahankan Amira hingga menjadikan wanita itu sebagai istrinya.
Namun, karena memang sudah terlanjur parah, kondisi Amira makin hari makin melemah. Bahkan, saat ini wanita cantik itu tengah dirawat di rumah sakit.
Karena khawatir sepeninggalannya Aslan jadi sendiri dan tidak ada yang mengurusi, Amira berinisiatif meminta sang suami untuk nantinya menikahi sang adik. Apalagi Aisha juga sebatang kara. Tidak ada yang menjaga sekaligus melindungi adiknya tersebut.
"Nggak. Pokoknya aku nggak mau!" tolak Aslan mentah-mentah. "Lagian, kenapa aku harus nikah sama Aisha? Aku cintanya sama kamu, Amira. Bukan sama orang lain."
"Aslan ... Aisha itu adikku. Lagi pula, aku nggak bisa membahagiakan kamu. Aku sakit parah dan nggak bisa sama sekali kasih keturunan. Dokter bahkan sudah vonis kalau umurku ---"
"Nggak bisa bertahan lama?" potong Aslan segera, seolah tahu apa yang akan istrinya katakan. Walau sadar benar umur Amira yang mungkin tidak akan lama, Aslan selalu saja menepis kenyataan itu. "Dokter bukan Tuhan. Mau dia vonis segimana pun, kalau kata Tuhan belum waktunya, kamu nggak bakal kemana-mana."
Amira menghela napasnya pelan. Dalam kondisi terbaring lemah, dirinya berusaha sekali untuk terus meyakinkan sang suami.
Amira pikir, waktunya tidak banyak lagi. Sebelum benar-benar dipanggil Tuhan untuk menghadap, ia ingin sang suami nantinya menjalankan apa yang sudah ia wasiatkan.
"Aku mohon. Kamu tau sendiri kalau aku dan Aisha sebatang kara. Mendiang Umi sudah lama meninggal dunia. Pun Abi sendiri sampai detik ini nggak pernah kami tau di mana keberadaannya. Kalau aku nggak ada, Aisha sama siapa? Dia bahkan masih kuliah dan nggak ada yang bisa aku percaya untuk nantinya melindungi dia."
"Aisha sudah dewasa, Amira. Dia bahkan udah 22 tahun. Aku yakin dia bisa menjaga diri sendiri. Lagi pula, di agama juga melarang menikahi dua orang wanita yang bersaudara."
"Kamu nggak usah takut. Aisha itu adik tiri aku. Dia anak yang dulu dibawa saat Abi menikahi Umi. Kalau pun ragu, kamu bisa nikahi Aisha sepeninggalan aku."
Aslan terdiam sesaat. Bingung juga harus menolak atau membantah bagaimana lagi.
"Mau dia saudara tiri, saudara sepupu, atau saudara jauh sekali pun, pokoknya aku nggak mau!"
Melihat bagaimana kerasnya hati Aslan untuk mengabulkan permintaannya, membuat Amira terdiam. Dipandanginya lekat-lekat wajah sang suami sembari menyelami kedua netra teduh berwarna cokelat itu, kemudian Amira pelan-pelan bergumam dengan lirih.
"Apa kamu nggak bisa sekali aja kabulkan permintaanku?"
"Ya Allah, Amira. Aku bakal lakukan apa pun itu. Apa pun itu. Asalkan jangan menikahi wanita lain."
Amira tersenyum getir. Mengangguk, dirinya lantas membulatkan tekad. Kalau Aslan tidak bisa mengabulkan permintaannya, maka setelah ini ia tidak akan memaksa lagi.
"Baik. Aku nggak bakal paksa kamu lagi. Tapi, setelah ini, tolong kamu ceraikan aja aku. Biar aku nggak punya beban saat nanti meninggalkan kamu."
"Demi Allah, Amira jangan egois..."
Aslan hampir kehabisan pembendaharaan kata. Melihat betapa Amira yang biasanya setenang air, kini berubah keras kepala. Dan lagi, istrinya terus saja mengiba, bersikeras memintanya untuk menikahi perempuan lain, tentu saja membuat posisi Aslan jadi serba salah.
Sepatutnya, Aslan senang. Pria mana yang tidak menang banyak ketika dipersilakan dengan ikhlas untuk menikah lagi. Bahkan dengan seorang gadis perawan yang umurnya jauh lebih muda dari Aslan atau Amira sendiri.
Namun, sekali lagi. Aslan bukan pria yang dengan mudahnya berpindah hati. Bukan pula p****************g yang Aji Mumpung ketika diminta untuk menikah lagi.
"Jangan taruh aku di posisi sulit seperti ini," ungkap Aslan lemah lembut.
"Cukup sekali aku memohon. Di dunia ini, cuma kamu dan Aisha yang aku punya. Kalau aku pergi, ke siapa lagi aku memohon pertolongan untuk menjaga dia selain ke kamu? Aku cuma mau pergi dengan tenang. Aku cuma mau memastikan setelah pergi, ada orang yang bisa dipercaya untuk mendampingi serta melindungi Aisha dan sudah jelas ahlak serta tabiatnya. Tapi, kalau kamu nggak sanggup, aku nggak masalah. Aku nggak bakal paksa kamu buat kabulkan permintaan aku."
Sekali lagi, Aslan menarik napasnya. Seumur hidup kenal, baru kali ini juga dirinya melihat Amira menampilkan raut wajah penuh kecewa. Tidak ada lagi senyum hangat atau candaan terdengar seperti apa yang sering istrinya itu lakukan.
Lantas, perlukah Aslan mengabulkan saja permintaan Amira? Mengingat kondisinya makin lama makin melemah.
"Baik. Aku bakal turuti permintaan kamu."
Setelah menimbang dan berpikir dengan cepat, Aslan akhirnya mengalah. Ketimbang bercerai di saat-saat terakhir, mau tidak mau ia turuti saja permintaan istrinya tersebut.
"Sesuai permintaanmu, aku bakal nikahi Aisha."
Amira yang tadinya tertunduk, detik itu juga sontak mendongak. Raut penuh kekecewaan yang tadinya terukir jelas di wajah cantiknya, kini sekejap mata langsung sirna. Tergantikan dengan senyum dan ekspresi gembira.
"Kamu serius?"
Aslan mengangguk. Memastikan ucapannya 100% benar, bukan mengada-ngada.
"Iya, aku bakal nikahi Aisha. Aku bakal berusaha juga untuk menjaga dan melindungi Aisha seperti apa yang kamu inginkan. Tapi ..."
"Tapi, apa?" tanya Amira penasaran. Dirinya tidak mengantisipasi kalau Aslan mungkin saja mengajukan syarat sebelum benar-benar menerima permintaannya.
"Aku janji bakal nikahi Aisha kalau kamu memang benar-benar nggak ada. Selama kamu masih bernapas di sampingku, jangan pernah paksa aku buat nikahi dia."
Amira menatap sangsi. Ia takut kalau ini hanya bualan Aslan saja untuk menenangkan dirinya.
"Aslan ---"
"Aku nggak bakal ingkar janji, Amira. Kamu nggak perlu khawatir," tegas pria itu seolah bisa membaca kekhawatiran yang istrinya tunjukkan. "Dan satu lagi, jangan pernah paksa aku untuk nantinya mencintai Aisha. Karena sampai kapan pun, hatiku cuma buat kamu. Bukan buat yang lain apalagi sampai dibagi-bagi."
Amira mengangguk. Setuju saja dengan apa yang Aslan katakan. Dalam hati, ia berpikir, tidak masalah kalau di awal pernikahan, Aslan tidak langsung mencintai sang adik. Yang penting, Aslan setuju saja sepeninggalannya nanti, suaminya itu mau menikahi Aisha.
Lagi pula, Amira tahu kalau Tuhan maha membolak-balikkan perasaan. Dirinya meyakini suatu saat nanti sang suami akan tunduk dan pada akhirnya belajar untuk membuka hati serta mencintai Aisha.
"Alhamdulilah. Makasih udah kabulkan permintaanku," sahut Amira begitu senang. "Kalau gitu, setelah aku nggak ada, aku mau kamu nikahi Aisha secepatnya."
"Secepatnya?"
Amira mengangguk lagi.
"Iya. Kalau perlu, satu minggu setelah kepergianku, kamu bisa langsung nikahi dia."
"Amira. Kenapa kamu ngomong seolah-olah yakin besok bakal pergi? Kenapa nggak yakin aja kalau Allah bakal perpanjang umurmu? Kamu udah nggak sabar mau tinggalkan aku?"
Amira menggeleng berulang kali.
"Bukan gitu, As. Bukannya aku senang tinggalkan kamu. Tapi, lebih ke pasrah aja sama nasib aku saat ini. Lagi pula, kematian itu satu hal yang pasti. Kondisi aku juga makin hari makin lemah. Dari pada buang-buang waktu, mending aku persiapkan kepergianku."
"Tetap aja aku nggak bisa buru-buru."
"Kenapa?" tanya Amira penasaran.
"Gimana kata orang nanti di saat kamu baru aja pergi, aku malah sudah siap-siap nikah lagi. Aku bahkan belum bicarakan ini ke Abi dan Umi. Mau gimana pun, mereka patut tau dengan keputusan besar ini."
Amira mengangguk paham. Tidak bisa juga membantah apa yang baru saja Aslan katakan. Walaupun sudah dewasa dan bisa mengurus rumah tangganya sendiri, Aslan tetap patut memberitahukan ini semua kepada kedua orang tuanya. Terlebih, ketika Amira tiada, Aisha yang nanti akan menggantikan posisinya untuk menjadi menantu keluarga Ahmad.
"Baik. Nggak masalah kalau kamu mau bahas ini terlebih dahulu ke Abi dan Umi. Tapi, aku harap, kamu nggak bimbang yang nantinya malah membatalkan apa yang sudah kamu janjikan. Yang pasti, aku mau sepeninggalanku, secepatnya kamu nikahi Aisha."
Aslan kali ini yang mengangguk. Menatap dalam ke arah Amira, ia lantas meyakinkan istrinya itu.
"Aku nggak akan dan nggak pernah sekali pun ingkar janji. Aku harap, setelah ini kamu puas karena sudah berhasil membuat aku harus menikah dengan perempuan yang sama sekali nggak aku cinta."
***
Yang ngikutin cerita ini, yukk absen dulu dongg biar aku semangat daily nya