"Apa?! Nikah sama Kak Aslan?"
"Iya. Kakak mohon, tolong menikah dan jadi istrinya Aslan setelah nanti kakak pergi."
Aisha menggelengkan kepalanya berulang kali. Baru saja tiba di rumah sakit, ia sudah disodori permintaan yang sangat tidak masuk akal.
Semalam, sepulang kuliah, Amira menghubungi Aisha. Wanita yang umurnya terpaut enam tahun lebih tua dari pada Aisha tersebut memintanya untuk segera datang ke rumah sakit.
Pada dasarnya Amira dan Aisha sebenarnya hanyalah saudara tiri. Aisha dulunya adalah anak bayi yang memang dibawa Rauf Alfarezi saat menikahi Fatima, Ibunda Amira yang memang sudah lama menjanda.
Dirawat bersama-sama, membuat Amira begitu menyayangi Aisha layaknya adik kandung. Sampai akhirnya Fatima meninggal, Aisha pun ikut dengan Amira, karena Rauf sendiri pergi entah kemana, meninggalkan mereka berdua.
Dalam sambungan telponnya semalam, Amira meminta Aisha segera datang menjenguk dengan alasan ingin menyampaikan sesuatu yang amat sangat penting. Mana Aisha tahu dan menyangka begitu sampai dan bertemu di ruang perawatan rumah sakit, kakaknya itu malah ujug-ujug meminta agar dirinya mau segera menikah dengan sang kakak ipar.
"Jangan gila, kak! Kenapa aku harus nikah sama Kak Aslan?"
Amira menarik napasnya dalam-dalam. Sambil menatap lekat ke arah sang adik, dirinya berusaha meraih pergelangan tangan Aisha lalu menggenggamnya dengan lembut.
Amira sangat lah berharap. Setelah nanti memberi penjelasan, Aisha mau memahami dan mengabulkan apa yang ia pinta.
"Aisha .. kamu tau sendiri kalau kakak saat ini sedang sakit keras."
"Istighfar, Kak. Aisha tau itu. Tapi, bukan berarti ini jadi alasan buat aku terima permintaan kakak yang aneh itu."
"Ini nggak aneh, Aisha. Umur Kakak bahkan nggak lama lagi. Bisa jadi besok, lusa, atau mungkin satu jam ke depan kakak udah nggak ada."
"Ya terus?"
"Kakak khawatir aja sepeninggalan kakak, Aslan nggak ada yang dampingi, menemani, dan mengurusi semua kebutuhannya. Lagi pula, kamu juga sendiri. Nggak ada yang jaga dan melindungi. Dengan kalian menikah, paling nggak bisa saling melengkapi satu sama lain."
"Nggak," geleng Aisha berulang kali. Dari sorot matanya saja, ia jelas menolak mentah-mentah permohonan sang kakak. "Permintaan kakak ini terlalu mengada-ada."
"Aisha ... kakak mohon," pinta Amira mengiba. Air mata bahkan sampai jatuh membasahi pipinya. "Kakak tau ini terdengar egois, tapi kakak yakin kalau kalian berdua cocok dan bisa saling melengkapi satu sama lain. Ketimbang Aslan nikah lagi sama perempuan lain, lebih baik dia nikah sama kamu. Jadi, tolong kabulkan permintaan terakhir kakak untuk menikah dengan Aslan saat nanti kakak sudah nggak ada."
Aisha menarik napas sampai kedua bahunya terangkat tinggi. Jujur saja, ia bingung harus memberi tanggapan seperti apa. Padahal, ada banyak cita-cita yang ingin ia kejar setelah lulus kuliah nanti.
Sekarang, bukannya mempersiapkan diri untuk mengejar impian, dirinya malah disuruh menikah dan berumah tangga. Mana yang jadi pasangannya adalah pria yang sama sekali tidak ia cinta.
"Kamu nggak usah khawatir," sambung Amira kembali. "Setelah menikah nanti kamu tetap bisa melanjutkan kuliah dan nantinya lanjut berkarir. Lagi pula, Aslan bukan tipe suami yang suka mengekang."
"Masalahnya nggak segampang itu, kak," ungkap Aisha kepusingan. "Kakak tau sendiri kalau kak Aslan itu dosen di kampus Aisha. Apa kata mahasiswi lain kalau tau tiba-tiba aku nikah sama dosen kampus dan bahkan suami dari kakakku sendiri."
"Untuk sementara waktu, kalian bisa tutupi hubungan kalian saat di kampus. Lagi pula, kamu bentar lagi juga bakal lulus, kan?"
"Kak ... kenapa harus memaksakan kehendak seperti ini, sih? Aisha juga tau kalau kak Aslan pasti ---"
"Tenang aja. Aslan sudah setuju buat nikahi kamu. Sekarang, tinggal tunggu keputusan kamu aja gimana."
Aisha detik itu juga terdiam. Susah payah membantah, ucapannya itu langsung dipatahkan oleh jawaban pamungkas Aisha soal Aslan yang sudah setuju untuk nanti menikahinya. Kalau sudah begini, harus pakai cara apalagi agar Aisha bisa menolak.
"Kakak mohon. Kakak nggak minta apa-apa. Kakak cuma minta tolong untuk kabulkan permintaan terakhir ---"
Belum sempat Amira menyelesaikan kalimatnya, kondisi wanita itu tiba-tiba menurun. Napasnya yang putus-putus, membuat Aisha panik dan langsung memanggil tim medis untuk melakukan penanganan.
Sambil menangis, Aisha berdoa. Berharap kondisi sang kakak bisa kembali membaik seperti sebelumnya.
***
Di tempat berbeda, Aslan sengaja singgah ke kediaman kedua orang tuanya. Maksud hati, ingin menyampaikan perihal soal permintaan Amira agar dirinya nanti menikah lagi sepeninggalan wanita itu.
"Kamu mau nikah sama adiknya Amira? Ini Abi nggak salah dengar?"
Khalid nampak terkejut mendengar apa yang putra sulungnya itu sampaikan. Tiba-tiba saja singgah ke rumah, dan kini malah membawa berita yang sangat mengejutkan.
Khalid sendiri tahu kalau sang menantu memang dalam keadaan sakit keras. Ia sendiri pun dari awal memang tidak pernah melarang Aslan untuk menikah dan mempersunting Amira yang di klaim umurnya tidak lama lagi.
Namun, Khalid sungguh tidak menyangka dan menduga. Hari ini dirinya mendapati kabar kalau sang putra berencana akan menikah kembali apalagi dengan wanita yang jelas-jelas adik dari menantunya sendiri.
"Aslinya Aslan juga nggak mau, Bi. Tapi, Amira terus maksa. Dia berdalih kalau nanti udah nggak ada, nggak bakal ada yang jaga dan lindungi adiknya. Makanya Aslan ke sini mau minta pendapat."
"Aslan ... Abi nggak masalah kamu mau nikah lagi selagi mampu. Hanya saja, ini mau nikahnya kapan? Mana boleh di dalam agama menikahi dua perempuan sekaligus yang masih ada ikatan saudara."
"Aslan tau itu, Bi," ucap Aslan membenarkan. "Sayangnya, Aisha ini aslinya memang bukan saudari kandung Amira."
"Bukan saudari kandung?"
Aslan mengangguk. Kali ini Helena yang merupakan Ibunda Aslan yang mengajukan pertanyaan.
"Aslan juga baru tahu ternyata Aisha itu anak yang dibawa ayah tiri Amira waktu menikahi Ibunya."
"Oh, begitu rupanya. Kalau saudara tiri begitu, ya nggak masalah mau kamu nikahi kapan aja," sahut Khalid membenarkan.
"Jadi menurut Abi, Aslan harus gimana? Jujur aja, Aslan nggak cinta sama Aisha."
Khalid diam sesaat. Disodori pertanyaan oleh sang putra, ia jadi ikut kepikiran juga.
Khalid sadar kalau kondisi Amira kian melemah. Tapi, tidak pernah kepikiran sama sekali kalau menantunya itu merelakan sang putra untuk kembali menikah.
"Sebenarnya, Abi nggak berhak ikut campur dalam urusan rumah tanggamu. Kamu itu udah dewasa. Udah bisa memutuskan mana yang baik dan enggak untuk hidupmu. Selagi kamu mampu, Abi nggak bakal larang. Yang penting, setelah menikah nanti, kamu harus tanggung jawab. Jangan karena nggak cinta, terus kamu telantarkan dan sia-siakan istrimu. Dosa, Aslan!"
"Lagian, cinta bisa tumbuh seiring waktu, Nak," ujar Helena menimpali perkataan sang suami. "Abi dan Umi bahkan menikah karena dijodohkan dan nggak saling cinta juga. Tapi, buktinya apa? Kami bisa bertahan hingga detik ini, kan?"
Aslan diam saja tidak memberikan tanggapan. Dalam diamnya, ponsel pria itu tiba-tiba berdering. Mendapati nomor asing yang menghubungi, Aslan sempat bermaksud untuk mengabaikan. Tapi, melihat nomor tersebut terus saja memanggil, ia meyakini pasti ada sesuatu yang darurat.
"Halo, Assalamualaikum."
"Walaikumsalam, Kak Aslan. Ini Aisha."
Aslan menarik wajahnya sejenak. Sempat bertanya-tanya, dari mana dan untuk apa adik istrinya itu menghubungi. Walaupun selama ini ia tahu Aisha adalah adik Amira, Aslan memang jarang terlibat perbincangan apalagi sampai bertegur sapa via telpon atau pesan singkat.
"Kak Aslan," panggil Aisha sekali lagi.
"I-iya, ada apa?"
"Kak Amira, Kak," sahut wanita di seberang sana dengan suara bergetar.
"Amira? Amira kenapa?"
"Kondisinya makin drop. Kak Aslan tolong cepat ke rumah sakit."
Aslan tidak menyahut lagi. Menutup panggilan telponnya, lantas bergegas pergi bersama kedua orang tuanya menuju rumah sakit.
Begitu sampai, Aslan diberitahu kalau sang istri ternyata sudah dipindahkan ke ruang ICU. Tepat di depan ruangan, ada dokter yang sudah menunggu untuk memberikan kabar berikut penjelasan.
"Pak Aslan," panggil dokter pria yang selama ini memang menangani Amira di rumah sakit.
"Istri saya kenapa, Dok?" tanya Aslan khawatir. Wajahnya cemas, takut terjadi sesuatu yang buruk terhadap sang istri.
"Kondisinya Bu Amira semakin melemah. Saya dan tim medis lainnya mohon maaf yang sebesar-besarnya. Kami nggak bisa melakukan tindakan apa-apa lagi."
Dokter tertunduk. Tampak pasrah dengan kondisi Amira yang dirasa sudah tidak bisa tertolong lagi.
Sementara Aslan nampak membeku beberapa saat. Bibirnya terasa kelu untuk memberikan tanggapan.
"Saya rasa, Pak Aslan harus menemui Bu Amira sekarang juga sebelum terlambat."
Aslan mengangguk. Kemudian buru-buru melangkah masuk ke ruang ICU. Di sana, ia mendapati Amira yang terbaring lemah. Pun, ada sosok Aisha juga di sana yang tampak menunggui.
"Amira ...." panggil Aslan saat posisinya sudah berada di samping sang istri.
"Aslan ..." sahut Amira lemah. Matanya tampak sayu. Wajahnya kentara sekali lemah. Seolah menahan rasa sakit yang tengah menerpa. "Aku yakin waktuku udah dekat, As. Bentar lagi aku bakal pergi."
"Istighfar, Amira." Aslan mendesis. Menggeleng, meminta Amira menghentikan ucapannya. "Jangan ngomong gitu. Kamu nggak bakal ke mana-mana. Kamu baik-baik aja."
"Nggak," balas Amira. "Aku yakin sekarang udah waktunya untuk pergi. Aku harap, setelah aku nggak ada nanti, kamu tepati janjimu."
Amira kemudian melirik ke arah Aisha. Menatap sang adik, memberi isyarat agar perempuan itu mendekat. "Aisha. Setelah kakak pergi, ada kak Aslan yang bakal jaga dan lindungi kamu. Kakak harap, kamu bisa hidup aman dan nyaman sama dia."
Amira lantas beralih kepada Aslan. Kali ini giliran sang suami yang kembali ia ajak berbicara.
"Aslan ... aku titipkan Aisha. Aku mohon jaga dan sayangi dia. Tolong jangan sekali-kali kamu telantarkan. Apalagi sakiti hatinya."
"Amira ---"
"Tolong tepati janjimu."
"Amira, aku janji," cicit Aslan pelan. Suaranya terdengar berat. Menahan sedih yang kian lama kian menggerogoti saat melihat kondisi Amira yang makin melemah.
"Aslan ... kepalaku sakit banget. Rasanya mau pecah dan aku udah nggak kuat lagi."
Aslan lantas mendekat. Memeluk sekilas, lalu mendekatkan wajahnya. Mencium kedua pipi Amira, kemudian mentalqin, menuntun Amira untuk mengucapkan kalimat tahlil sebelum akhirnya benar-benar pergi.