Anya sudah merasa harinya akan menjadi buruk sejak pagi, tapi tetap saja, mendengar nada tinggi Shaka membuatnya tersentak.
"Saya kan sudah bilang dari beberapa hari yang lalu kalau saya ada makan malam dengan Mita. Kenapa kamu nggak reservasi restoran yang saya minta?!"
Nada itu bukan pertanyaan, lebih seperti bentakan yang tidak membutuhkan jawaban. Anya hanya menunduk, memilih diam karena dia sudah menjelaskan sebelumnya mengapa permintaan itu tidak dilakukannya. Namun, sepertinya Shaka tidak peduli. Sejak bosnya mulai dekat dengan Mita Larissa, brand ambassador produk perusahaan sekaligus artis ternama, pekerjaan Anya semakin terasa berat. Tidak hanya mengurus urusan Shaka, kini dia juga harus menghadapi Mita yang mulai ikut campur dalam pekerjaannya.
Mita sering memberi perintah seolah-olah Anya adalah asistennya. Padahal, Anya hanya asisten pribadi Shaka. Namun, status Mita sebagai 'teman dekat' bos dan orang penting dalam perusahaan membuat Anya tak punya pilihan selain menurut. Rasanya ingin menolak, tapi siapa dirinya dibandingkan dengan Mita?
"Sekarang kamu pulang aja. Saya mau pergi sampai malam dan kamu nggak usah ikut," ucap Shaka dingin.
"Baik, Pak. Permisi," jawab Anya pendek sebelum keluar dari ruangan tanpa menoleh sedikit pun.
Masih pukul dua siang. Anya tidak menyangka akan pulang secepat ini. Biasanya, Shaka selalu membawanya ke mana pun, bahkan saat pergi kencan dengan Mita. Anya harus standby di lokasi yang sama, meskipun di restoran berbeda.
Di meja kerjanya, Yuni, sekretaris Shaka, menyapanya dengan penasaran. "Muka lo kusut banget. Kenapa?"
"Bos perlu dirukiah, kayaknya sudah ketempelan banget," jawab Anya dengan wajah datar.
Dia duduk sebentar untuk membereskan laptop dan tasnya.
"Mau pergi lagi?" tanya Yuni.
"Pulang."
"Pulang? Ini baru jam dua, lho. Enak banget!" Yuni menatapnya dengan wajah iri.
"Disuruh pulang, ya gue pulang. Mending gue ke salon, terus ngopi-ngopi cantik daripada stres!"
Pintu ruangan Shaka terbuka, menampilkan pria tampan itu dengan tas kecil di tangannya. Anya dan Yuni langsung terdiam. Shaka keluar tanpa menoleh ke arah Anya, dia hanya berbicara kepada Yuni. "Yun, kalau ada perlu apa-apa, WA aja. Saya nggak terima telepon."
"Baik, Pak," jawab Yuni sopan.
Shaka pergi tanpa menegur Anya. Dia bahkan tidak melirik sedikit pun, membuat Anya bertanya-tanya apakah dirinya sekarang sudah menjadi makhluk tak kasatmata?
"Pak Shaka kenapa, Nya?" tanya Yuni. Dia sudah bisa menebak ada masalah antara bosnya dan Anya, tetapi pura-pura tidak tahu.
Anya menghela napas panjang. "Pak Shaka marah gara-gara gue nggak pesen tempat di restoran Puerado buat makan malam nanti."
"Kenapa nggak dipesenin?"
"Mita bilang dia bosen di situ, udah keseringan. Dia mau di restoran lain dan bilang asistennya yang bakal urus. Gue udah bilang ke Pak Shaka, dan dia cuma jawab, 'atur aja.' Ya udah, gue serahin ke asistennya Mita. Eh, ternyata mereka nggak dapat tempat di restoran yang mereka mau. Terus Mita belagak bingung, 'di mana ya... bingung nih, gimana sih ini susah banget dapet tempatnya'," ucap Anya menirukan gaya bicara Mita yang menyeh-menyeh.
"Dan lo tahu kan bos kita tuh gimana. Semua harus terencana dengan baik, kalo nggak kepepet mana mau modelan go show gitu. Akhirnya gue yang disalahin. Sekarang coba lo pikir, Yun, itu salah gue?"
"Ya nggak dong," jawab Yuni tegas.
"Nah, kan. Orang waras bilang gue nggak salah. Bener kan kata gue, Pak Shaka harus di rukiah. Udah kemasukan jin-nya Mita, dia," ucap Anya dengan nada julid.
"Sabar, Nya."
"Untung dia punya asisten pribadi yang sabarnya seluas Samudra Atlantik. Kalau cuma seluas empang, kelar hidup dia. Udah ah, gue cabut dulu. Kepala gue nyut-nyutan pengen dipijat nih," pamit Anya sambil melangkah pergi.
Yuni hanya tersenyum simpul. Dia tahu akhir-akhir ini Anya sering uring-uringan setelah berurusan dengan Shaka. Namun, tiga hari terakhir lebih parah karena Demian, tangan kanan Shaka sedang cuti ke luar negeri. Biasanya, Demian menjadi penengah antara Shaka dan Anya. Tanpa Demian, konflik kecil bisa berubah menjadi keributan besar.
Shaka dan Anya memang aneh. Dari awal, hubungan mereka sebagai bos dan asisten pribadi selalu penuh canda dan sahut-sahutan. Namun, sejak ada Mita, Shaka berubah. Menurut Anya, dia seperti kerasukan jin Mita.
Keluar dari lift, Anya berjalan ke arah lobi sambil memijat pelipisnya. Hari ini, dia bertekad untuk melupakan bosnya sejenak. Salon dan ngopi sudah menantinya.
"Biarin aja mereka dengan drama mereka. Gue juga butuh me time!" gumam Anya sebelum masuk ke mobil taksi online-nya dan melaju menjauh dari kantor.
***
Jarang-jarang Anya memposting kegiatannya di media sosial. Bukan karena tidak mau, tapi lebih karena tidak sempat. Namun, sore ini dia merasa sedang cantik-cantiknya. Rambutnya sudah di-blow bergelombang, wajahnya habis difacial, dan kulitnya tampak glowing tanpa jerawat. Jadi, dia memutuskan untuk memposting fotonya yang sedang menikmati kopi sore dengan danish pastry berlapis vla dan dihiasi potongan stroberi di atasnya. Anya pun meminta pelayan yang mengantarkan pesanannya tadi untuk mengambil gambar secara candid.
'Ternyata Setelah Dipikir-pikir...Gak Usah Dipikirin, Bodo Amat!'
Itulah caption yang Anya buat, ditambah sound jedag-jedug untuk menambah kesan santai. Dia tidak membuat postingan di feed, hanya di story karena keisengan semata. Namun, belum sepuluh menit story itu tayang, kotak pesannya sudah ramai dengan pesan dari teman-teman dan kenalannya.
"Susah kalau banyak penggemar. Jarang-jarang bikin story, netizen langsung bereaksi," gumam Anya sambil terkekeh.
Baru saja dia tertawa, detik ke-sepuluh setelahnya, ada panggilan masuk. Telepon itu dari Pak Demian, tangan kanan Shaka, yang sedang cuti umroh plus Turki
"Halo, Pak," sapa Anya.
"Di sana lagi libur nasional?" tanya Demian tanpa basa-basi.
Anya bingung dengan pertanyaan itu. "Nggak, Pak. Memangnya kenapa?"
"Di sana baru jam enam sore, kan? Tumben kamu sudah nongkrong di mal," balas Demian.
"Pak Shaka lagi ada urusan dan mau pergi sendiri. Saya disuruh pulang dari jam dua tadi, Pak. Jadi, ya, saya ke mal aja. Baru aja habis nyalon," jawab Anya santai.
"Ke mana Pak Shaka?"
"Kencan lah," jawab Anya tanpa berpikir panjang.
"Biasanya kamu diajak," Demian menimpali.
"Mungkin mau ena-ena. Kalau ngajak, nanti kalau saya pengin, bingung lagi," celetuk Anya seenaknya.
Tentu saja Demian tertawa mendengar jawaban itu. Ini Anya banget, pikirnya. Dia sudah hafal dengan celetukan asisten Shaka yang selalu spontan.
"Yakin kamu disuruh pulang cepat bukan karena dipecat? Soalnya nggak pernah ada sejarahnya kamu disuruh pulang cepat. Apalagi masih siang," canda Demian.
"Eh, apa iya? Jangan gitu dong, Pak. Tadi Pak Shaka nggak ngomong apa-apa. Saya cuma disuruh pulang doang," jawab Anya mulai khawatir.
"Lihat aja besok. Kalau duit di rekening kamu bertambah dua kali lipat, mungkin itu pesangon," ujar Demian, mencoba menggoda.
"Serius, Pak? Masa sih main pecat aja" Kekhawatiran Anya bertambah. Memang benar juga analisa Demian. Selama beberapa bulan bekerja dengan Shaka, belum pernah dia dipulangkan secepat ini.
"Lihat aja besok."