Kenapa Harus Berstrategi?

1406 Kata
Ternyata Setelah Dipikir-pikir...Gak Usah Dipikirin, Bodo Amat. Caption itu tadi Anya posting di story media sosialnya, tetapi kini dia justru terpaku pada kalimat itu pada pikirannya sendiri, terutama setelah ucapan Demian di telepon tadi. Kalau memang besok dia benar-benar mendapat pesangon, ya sudah, berarti dia mendadak menjadi pengangguran. Jobless. Sambil melamun, Anya menyeruput kopi yang kini mulai dingin. Dia memutuskan untuk tidak berlama-lama di cafe itu. Anya mau menunaikan salat magrib di mushola, dan setelah itu dia akan langsung pulang. Sebelum mengambil wudu, Anya menuju toilet yang berada di sebelah mushola. Rasanya kandung kemihnya sudah penuh, dan dia tak ingin menahan buang air kecil selama salat. Syukurlah, toilet tidak terlalu ramai karena waktu magrib hampir beralih ke Isya, mungkin orang-orang sudah menunaikan salat dari tadi, jadi tidak banyak yang masuk ke toilet mushola karena banyak toilet lain selain di sini. Seorang petugas toilet, seorang wanita muda, mempersilakan Anya masuk ke bilik yang kosong. "Terima kasih," ucap Anya sambil masuk ke salah satu bilik. Awalnya, niat Anya hanya buang air kecil. Namun, ketika duduk di kloset, tiba-tiba perutnya terasa mulas. Mungkin efek kopi yang diminumnya di cafe tadi. Untung saja toilet cukup sepi, sehingga dia tidak merasa bersalah karena membuat orang lain harus menunggu. Namun, keheningan bilik itu terusik oleh suara obrolan wanita yang baru masuk ke dalam ruang toilet ini. Tentu saja Anya bisa mendengar pembicaraan itu secara tidak sengaja, apalagi setelahnya suara itu terdengar sangat familiar. "Berhasil juga kita jebak dia ke mal," ujar salah satu dari mereka. Anya mendengarkan dengan seksama. "Bisa aja ya akting Kakak pasang muka bingung gitu." "Kalau aku nggak bilang kita nggak dapat reservasi di restoran, kita nggak bisa bawa dia ke sini. Tujuannya kan supaya orang-orang lihat aku jalan sama dia. Kalau di restoran private, siapa yang tahu?" Anya menegang. Jelas dia mengenali suara ini. "Untung asistennya nggak ikut. Padahal kalo ikut aku pengen lihat dia kena marah sama Pak Shaka karena plin-plan soal reservasi." Anya tersentak. Mereka sedang membicarakan dirinya, ditambah lagi tawa keduanya. "Ya, tapi kita nggak bisa sering-sering pakai trik ini. Walaupun asistennya nurut, dia kayaknya punya jiwa pembangkang, deh. Kita harus pintar tarik ulur." "Makanya aku bilang Kakak yang paling jago. Akting bisa, strategi pun jalan." Terdengar suara tawa lagi, kemudian diinterupsi oleh nada telepon masuk. "Halo, Dik. Sudah di sini?" Suara asisten Mita yang bernama Via yang sedang menerima telepon tersebut. Anya mendengar percakapan itu dengan napas tertahan. "Gue sama Kak Mita lagi di toilet. Pak Shaka lagi salat. Habis ini kita turun ke resto. Ambil beberapa foto candid buat bahan berita, ya." "Iya, gampang. Kalau beritanya sudah naik, transferannya langsung jalan. Lo kayak nggak percaya Kak Mita aja." "Oke, sampai nanti." Pembicaraan itu seperti biasa, Via seperti tidak sedang takut pembicaraannya didengar orang lain, mungkin si mbak petugas toilet sudah tidak di dalam ruangan ini, dan dia kira tidak ada orang lain di sini. "Siapa? Didik?" tanya suara lain yang dikenali Anya sebagai suara Mita. "Iya, dia sudah di sini sama temennya." "Udahan yuk, nanti pak Shaka keburu selesai salatnya, kita masih di sini." "Yuk, semoga rencana ini berhasil ya kak, desas - desus yang sudah dihembuskan selama ini akan jadi berita konfirmasi, besok berita kakak dan pak Shaka langsung tersebar." Anya tidak bisa melihat ekspresi wajah Mita, yang dia dengar mereka berdua keluar dari toilet dengan kekehan senang. Kini kepala Anya penuh dengan berbagai pemikiran. Jadi, semua ini memang direncanakan. Mita sengaja mengatur agar Shaka terlihat publik sedang bersamanya. Anya tidak habis pikir, untuk apa harus memanggil wartawan segala, padahal kalau sedang di wawancara tinggal bilang aja,"Saya pacar Arshaka Narendra," sudah, selesai, seluruh dunia juga akan tahu. "Astaga, gue belum salat!" Anya buru-buru berdiri, rasa mulasnya menghilang seketika. Dia langsung keluar dari toilet, memastikan tidak ada Mita di sekitar mushola. Setelah memastikan aman, dia segera mengambil wudu dan salat magrib. Namun, setelah salat, pikirannya terus saja berkecamuk, dia sampai lupa berdoa. Apa yang harus dia lakukan? Haruskah dia memberitahu Demian? "Kalau besok gue dipecat, ya udah, bodo amat. Tapi kalau nggak dipecat, apa gue harus cerita? Nanti kesannya gue malah kayak ngadu." Anya merasa serba salah. Di satu sisi, dia maklum kalau Mita ingin pamer hubungannya dengan Shaka. Tapi, caranya terlalu manipulatif. Apakah Shaka sadar sedang diperalat? Selesai salat, Anya memutuskan untuk pulang. Namun, masalah ini terlalu berat untuk disimpan sendiri. Dia butuh seseorang untuk diajak bicara. Tapi siapa? Dhevi, sahabatnya? Dia pasti langsung tantrum bin heboh! Jika dia tahu soal ini, bisa-bisa Dhevi malah menelepon Shaka dan membuat situasi semakin rumit. Anya menghela napas. "Mungkin besok gue lihat dulu situasinya. Kalau memang perlu, baru gue cerita sama Pak Demian. Tapi kalau nggak... ya, bodo amat," gumamnya sambil melangkah keluar dari mushola. *** Yang namanya perempuan jarang sekali bisa menyimpan cerita sendirian, apalagi dalam keadaan bingung seperti ini. Tidak ingin menelepon Dhevi bukan berarti Anya tidak punya sahabat lain untuk diajak berbicara. Ada, tentu saja, bahkan lebih aman karenaa tidak akan pernah sampai ke telinga Shaka. Namun, dia memilih untuk menunggu hingga tiba di rumah. Rasanya kurang nyaman jika menelepon di dalam taksi dan mulai menggunjing soal bosnya. Lebih baik menunggu hingga dia berada di kamar, di tempat yang lebih tenang dan pribadi. Sebelum itu, Anya mengirimkan pesan singkat kepada sahabatnya, Titi, untuk memastikan apakah Titi punya waktu untuk berbicara nanti. Anya: Ti, gue boleh nelepon setengah jam lagi? Titi: Kenapa nggak sekarang? Anya: Gue masih di jalan, nanggung. Tunggu sampai di rumah aja. Titi: Oke. Sesampainya di rumah, Anya menyapa mamanya singkat sebelum masuk ke kamarnya. "Ma, aku nggak makan malam ya, mau langsung mandi terus istirahat," kata Anya sambil berjalan menuju kamar. Tujuannya jelas—supaya tidak dipanggil lagi untuk makan malam. Setelah itu, Anya cepat-cepat mandi, mengganti pakaian, dan bersiap untuk menghubungi Titi. Titi adalah sahabat Anya sejak kuliah, seseorang yang selalu bisa diandalkan untuk berbagi cerita, apalagi urusan pelik seperti ini, tentu saja selain Dhevi. Walau tidak ada niat membedakan sahabat, bagi Anya, Dhevi tetap nomor satu.. Tepat empat puluh lima menit kemudian, Anya akhirnya menelepon Titi melalui video call. "Mau cerita apa nih?" Titi langsung bertanya begitu wajah Anya muncul di layar. "Gue mau gosipin bos gue sama gebetannya," jawab Anya, berusaha santai. "Bos ganteng lo itu? Ada apa dia? Jangan-jangan udah mau nikah sama Mita Larissa?" Titi terkekeh, sedikit meledek. "Belum lah, baru juga beberapa bulan dekat." "Beberapa bulan juga udah cukup buat buru-buru nikah, Nya. Bos lo udah nggak muda lagi, kan? Wajar kalau dia mau cepat-cepat." "Iya sih," Anya mengangguk kecil, "tapi bukan itu yang mau gue omongin." "Terus apaan?" Anya mulai menceritakan semuanya—dari awal Shaka menyuruhnya untuk reservasi restoran untuk makan malam bersama Mita, lalu bagaimana Mita tiba-tiba mengambil alih urusan reservasi, hingga Shaka yang akhirnya marah dan menyuruh Anya pulang lebih cepat. Anya juga tidak lupa menceritakan apa yang didengarnya di toilet, termasuk rencana Mita untuk membawa wartawan ke mal tanpa sepengetahuan Shaka. "Keberadaan lo di toilet itu seperti takdir," komentar Titi sambil terkekeh. "Iya, gue juga mikir gitu. Kalau gue nggak ke toilet, mungkin gue nggak akan tahu rencana mereka." "Lo tadi bilang heran kenapa Mita sampai menjebak Pak Shaka ke mal, kan? Gue punya penilaian sendiri." "Apa tuh?" "Pak Shaka itu orang bisnis, ya. Dia mungkin nggak biasa berurusan sama wartawan infotainment. Gue rasa dia tipe yang nggak mau secara terang-terangan diundang buat diwawancarai apalagi sampe ditanya soal kehidupan pribadinya. Bisa jadi, dia udah bilang ke Mita kalau dia nggak suka hal-hal kayak gitu. Tapi Mita pengen banget, maksudnya biar dia dibilang keren karena punya pacar CEO, ganteng, mateng pu'un, anak orang kaya pula. Jadi, dia cari cara supaya kelihatan kayak kebetulan aja. Kalau kelihatan natural, Pak Shaka kan nggak akan marah." "Ya marahnya sama gue!" sambar Anya. "Itu takdir lo juga," jawab Titi lalu tetawa. Anya merenungkan ucapan Titi. Ada benarnya juga soal Mita itu, tapi tetap saja, menurutnya itu tidak masuk akal. Bukankah Shaka sudah tahu resikonya saat memutuskan jalan dengan artis? Wartawan infotainment adalah bagian dari paket itu. "Atau sebenarnya Mita punya maksud lain?" tanya Anya ragu-ragu. "Bisa aja sih," jawab Titi sambil mengangkat bahu. "Entah apa tujuannya, tapi feeling lo mungkin benar." "Kalau gue cerita ke orang lain, kayaknya nggak bagus, ya?" "Jangan, simpan dulu cerita ini. Kalau nanti ada yang perlu banget tahu, baru pikirkan lagi. Lagian, ini kan urusan bos lo. Jangan sampai lo terjebak di antara mereka berdua." Anya mengangguk, meskipun masih ada banyak hal yang berkecamuk di pikirannya. Setidaknya, berbicara dengan Titi membuatnya merasa sedikit lebih tenang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN