Alasan untuk Tersenyum

1056 Kata
Tujuh hari setelah Bara dan Andara makan siang bersama yang diakhir dengan menaburkan bunga di makan papa serta mamanya Andara, hubungan keduanya pun menjadi semakin akrab, semakin dekat. Bara menjadi alasan Andara untuk tersenyum, sementara Andara adalah sumber semangat, sekaligus kenakalan alami bagi Bara. Mereka sering sekali melewati waktu bersama. Andara tidak lagi pulang berjalan kaki karena Bara selalu menunggunya di balik tembok ruang kelas, yang jaraknya cukup jauh. Beberapa orang mulai memperhatikan kedekatan keduanya. Tapi Bara sangat santai menjaga situasi. Terkadang ia menarik tangan teman yang lainnya agar Andara tidak terlalu menjadi pusat perhatian. Setidaknya, Bara merangkul atau menggandeng seseorang hingga batas lahan parkiran, di balik pagar besar sekolah yang berwarna putih. Andara pun selalu memperhatikan sikap Bara tersebut, dari balik rambutnya. Gadis itu tampaknya menyadari bahwa Bara selalu berusaha membuatnya tetap aman dan nyaman. Tapi, rasa iri itu tidak sedikit orang yang memilikinya. Terutama untuk para gadis yang merasa sudah sangat dekat, bahkan memiliki Bara. Sepertinya, beberapa diantara mereka, tengah menyusun siasat untuk menyingkirkan Andara. "Andara, boleh minta tolong nggak?" "Apa?" "Jawabannya pelit." "Heeemh, baiklah. Apa, Bara? Ada yang bisa saya bantu?" "Naaah, gitu dong. Begitu lebih baik." Bara mulai memasang sabuk pengaman. "Malam nanti mama ulang tahun, bantu cari kado yuk!?" "Eeemh." "Pleaseee! Sebentar aja." "Baiklah, tapi saya tidak pandai memilih sesuatu yang mahal." "Jangan yang mahal! Tapi memiliki nilai estetika yang tinggi atau punya manfaat. Seperti kamu." "Apa?" "Tidak." "Hmmmm." "Kita berangkat sekarang?" Andara menganggukkan kepalanya, tanpa senyum. 'Tampaknya Andara sedang cemas akan sesuatu. Apa karena keramaian?' Tanya Bara di dalam hatinya. Setibanya disebuah supermarket besar, Bara dan Andara turun serta jalan berdampingan. Sebelumnya, Bara menarik jaket berwarna coklat dari kursi belakang dan ia tempelkan pada tubuh mungil Andara. "Mungkin di dalam sana akan dingin. Apalagi udaranya saat ini sangat buruk." Bara berkata karena rinai hujan, menyambut keduanya sesaat setelah tiba di lahan parkiran. "Terima kasih." Setibanya di pintu besar supermarket, beberapa laki-laki bertubuh tinggi besar menabrak Andara beberapa kali. Sepertinya Bara tidak suka dan ia langsung menarik tangan Andara agar melewati jalur yang sama dengan dirinya. Andara yang terkejut dengan apa yang Bara lakukan, hanya bisa menatap tanpa mengelak. "Sebaiknya kamu jalan di depan saya!" Andara mengangguk tanda mengerti. Setelah kerumunan berlalu, Bara mulai melepaskan tangan Andara yang terasa dingin dan lembab. "Kita mau cari apa?" "Apa mama suka memasak?" "Iya, benar. Diakhir pekan, mama selalu memasak dan membiarkan bibi beristirahat. "Kalau begitu, belikan alat masak, celemek yang cantik dan buku menu masakan saja!" "Iya, setuju. Apa lagi?" "Mungkin sebuah surat cinta." "Ha?" "Wanita itu sangat halus hatinya, apalagi seorang ibu. Beliau akan merasa lebih bahagia jika orang-orang disekelilingnya mengucapkan rasa terima kasih atas semua usahanya." Andara berkata dengan penuh perasaan dan hal itu membuat Bara tersenyum mengerti. "Baiklah. Sekarang, kita beli dulu kadonya! Lalu biarkan mereka membungkusnya. Setelah itu, kita makan sambil memikirkan surat cinta untuk mama. Bagaimana?" tanya Bara dan Andara tersenyum. Setelah selesai melakukan rencana pertama mereka, Bara langsung mengajak Andara makan di restoran siap saji yang berada di lantai dasar. Ketika Bara sedang antri untuk memesan makanan, Andara mulai mencoret kertas dengan tinta hitam miliknya. Sepertinya Andara akan memulai torehannya untuk mama yang sangat Bara sayangi. Mungkin juga, ini adalah cara Andara untuk mengungkapkan perasaannya pada sosok ibu yang telah lama meninggalkan dirinya. Paragraf pertama mulai terbentuk sebuah narasi sederhana yang sangat mudah dipahami. "Seperti embun, ucapan mama begitu lembut dan selalu mampu menyejukkan hati yang panas ketika marah. Bagaikan cahaya, pelukan mama begitu hangat saat hati membeku karena kecewa. Memiliki mama adalah kesempurnaan hidup bagi saya." Andara membaca kalimat pertama dengan perlahan. "Hari ini, sekali lagi, usia mama bertambah jumlahnya. Tapi saya masih belum juga mampu memberikan sesuatu yang berharga sebagai hadiah. Jangan kecewa ya, Ma. Please!" "Semoga Tuhan selalu menjaga Mama dan memberikan wanita tercantik di dunia ini, umur yang panjang, agar selalu bisa memberikan perhatian, cinta, kasih sayang dan nasihat kepada kami semuanya." "Suatu saat nanti, saya akan memberikan sesuatu yang berharga guna mengukir senyuman bangga di bibir mama. Bagi saya, mama adalah surga. Surga yang Tuhan berikan lewat dunia. Selamat ulang tahun mama, Bara." Selesai, hanya empat paragraf yang mampu Andara torehkan. Ini saja, sudah membuat matanya berkaca-kaca. Bagi Andara, dapat mengucap kalimat, "Selamat ulang tahun," kepada orang tua adalah keadaan yang paling berharga dan tidak mungkin lagi terjadi. "Andara." "Iya." "Kamu kenapa?" "Tidak. Ini ucapan untuk mama," kata Andara sambil menyerahkan buku miliknya. "Sebaiknya, nanti disalin dulu yang rapi!" "Baiklah." Bara terus memperhatikan Andara dengan raut wajahnya yang tampak terluka. "Sebaiknya kita makan sekarang! Hari mulai sore." "Iya." Selesai dengan acara makan dalam kondisi yang sedikit tegang dan kurang menyenangkan akibat wajah Andara yang murung. Bara pun berniat untuk segera mengantarkannya pulang ke rumah. Tapi sebelum hal itu terjadi, Bara ingin melihat gigi kelinci milik Andara bersinar terlebih dahulu. Saat keduanya sudah berada di depan lahan parkiran, Bara menatap ke jalanan dan berteriak tentang sesuatu. "Waaah, ada artis Ibukota lewat!" Bara memberi informasi palsu hanya untuk menegakkan kepala Andara. Bodohnya lagi, Andara begitu percaya dengan ucapan Bara. Dengan cepat, wajahnya menatap ke jalanan besar dan mencari di mana artis yang Bara sebutkan barusan. Cukup lama memandang, Andara tidak menemukan apa pun, kecuali kendaraan biasa yang lalu lalang. "Tapi bo'ong," sambung Bara dan candaannya tersebut berhasil membuat Andara bereaksi. Andara tersenyum dengan mata yang kesal, lalu ia mulai mencubit pinggang Bara. Pada saat yang bersamaan, Bara memegang tangan Andara dan mengatakan sesuatu kepadanya. "Andara, sering-seringlah tersenyum! "Apa?" Andara terkejut dan kedua matanya terbuka lebar. "Sering-seringlah tersenyum karena senyum kamu itu, bisa menyembuhkan luka." Bara tampak tulus dalam mengatakannya. Tiba-tiba hati keduanya berdebar kencang. Seperti ada banyak kaki kupu-kupu yang menyentuh dan menari di dadaa keduanya, sehingga menciptakan rasa geli yang tidak dapat dilihat dengan mata. Desiran kecil itu, berhasil mengganggu ketenangan milik Bara yang biasanya tidak bereaksi hanya karena tatapan dan sentuhan sederhana pada seorang wanita. Wajah Bara pun memerah, ia terkejut dengan sensasi yang baru saja ia rasakan. Rasanya tidak mungkin, tapi itulah yang terjadi. Dengan cepat, Bara melepas kedua tangan Andara dan mereka kembali membuang wajah, lalu menatap ke arah lainnya. Sesekali Bara menarik napas panjang dan memegang dadanya dengan erat. 'Ya ampun, apa kabar jantungku? Sepertinya ia ingin melompat keluar untuk berdansa.' Bersambung. Beberapa bab ke depan adalah flashback tentang Bara dan Andara ya. Jangan lupa tab love, tinggalkan komentar, dan follow authornya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN