Kenangan Kecil Antara Andara dan Bara

1223 Kata
Kenangan akan Bara kembali hadir menemani malam yang Andara yakini sebagai saat, di mana Bara juga mengingat dan membayangkan tentang dirinya. Pikiran yang polos karena menurut Andara, Bara begitu tampak mencintai dirinya. Saat itu, keduanya jalan berdampingan. Tetapi seperti musuh. Andara selalu menjaga jaraknya dengan baik, sementara Bara hanya melirik pada sikap Andara tersebut. Terkadang, Bara tersenyum karena biasanya para gadis yang berdampingan dengan dirinya, selalu saja bersikap manja. Bila perlu, mereka akan minta digendong. Sepanjang lorong, beberapa mata menatap tajam ke arah Andara. Untungnya ia sudah biasa menunduk untuk menyembunyikan semua perasaan dan ekspresinya, sehingga Andara tetap bisa melangkah seperti biasa. "Silahkan masuk!" Bara membuka pintu mobil mewah berwarna hitam miliknya. "Duduk yang nyaman ya!" Lalu ia kembali menutup pintu mobil. "Oke, kita mau kemana terlebih dahulu?" "Kalau kamu belum makan siang, sebaiknya kamu makan dulu!" "Baiklah, kita makan di Warung Soto Pak No saja." Andara menganggukkan kepala, kemudian ia kembali tertunduk sembari menggenggam jari-jari tangannya yang lentik. Saat itu, Bara terus memperhatikan Andara dari kaca tengah di dalam mobilnya. "Sampaaai," kata Bara setelah 10 menit berjalan dengan kecepatan sedang. "Bersama kamu, saya merasa bahwa bibir saya ini begitu cerewet. Padahal aslinya, saya tidak seperti ini loh." "Heeemh," sahut Andara dan ia kembali menunduk. "Habis mau gimana lagi? Kamu tidak bersedia mengobrol dengan saya. Jadi saya bertanya sendiri dan menjawabnya sendiri. Ya, seperti saat sekarang ini." Andara menatap Bara tanpa senyum, sambil menelan air liurnya yang berat. Sepertinya Andara ingin mengatakan banyak hal, tapi ia menahannya. "Pak, sotonya dua!" "Owalah, Tuan muda. Pake tambahan ayam kampung ndak?" "Iya, Pak. Mau. Tolong sekalian disuirin ya!" "Iya, Tuan muda." "Kamu mau minum apa?" "Apa saja." "Pak, minuman apa sajanya dua ya!" "Ha?" ucap Andara sambil menatap Bara dengan tatapan heran. "Apa? Ada yang salah?" Lalu Andara tersenyum sambil menunduk. "Nunduk lagi. Apa di bawah, ada coklat batangan yang bertaburan atau uang gepokan?" gerutunya dan itu membuat Andara terus tersenyum simpul, tanpa menjawab pertanyaan dari Bara. "Maaf, Tuan muda. Minuman apa saja itu seperti apa? Kan Tuan tahu sendiri, kalau di sini minumannya ya itu-itu saja. Ndak ada minuman apa saja." "Ha ha ha ha ha," tawa Andara keluar kali ini dan ia langsung menutup mulut dengan tangan kanannya. Saat itu, Bara menatap Andara dalam-dalam dan entah mengapa, ia merasa bahagia sekali, ketika melihat Andara tertawa lepas. "Saya juga tidak tahu, Pak. Coba tanyakan saja kepadanya!?" Bara menunjuk ke arah Andara. "Maaf, Non," sapa pak No dengan menundukkan punggungnya. "Es jeruk aja ya, Pak. Maaf sudah merepotkan," timpal Andara ynag masih dalam mode senyum. "Oh, iya. Iya, Non. Segera disiapkan." 'Suaranya itu sangat merdu. Lembut dan seperti penggoda yang manja. Apa itu alasannya, Andara selalu menyembunyikannya? Sama seperti ia menyembunyikan mata dan juga senyumnya yang indah?' Bara mulai bertanya di dalam hati, sambil memperhatikan Andara yang masih asik menahan tawanya. "Ini pesanannya, Tuan muda." "Terima kasih, Pak." "Silahkan dinikmati, Non." Kemudian Andara kembali tersenyum, tanpa menjawab. Ia hanya mengangguk kecil dan itu membuat Bara semakin penasaran. 'Kenapa tidak menjawab? Padahal saya begitu ingin mendengarkan suaranya.' Kata Bara, penuh harap. "Mau saya bumbui?" tanya Andara sambil menatap. Lalu Bara mendorong mangkuknya ke arah Andara. 'Aaah, suaranya.' Bara kembali berbisik di dalam hati. 'Suara itu seperti sinyal yang berhasil menyambungkan sesuatu di dalam diri saya. Apa-apaan ini? Aneh sekali.' Celoteh Bara tanpa henti, seperti mainan anak-anak yang baru saja diganti batrenya. "Suka pedas?" Kemudian Bara menganggukkan kepala. "Silahkan dinikmati! Semoga cocok." Suapan pertama, Bara tampak bahagia. Sudah pasti bumbunya cocok. Apalagi jika wajah seseorang seperti itu, Andara sangat mengerti. Meskipun Bara tidak mengatakannya secara langsung. Saat itu, Andara juga sama semangatnya dengan Bara, ia berusaha mengimbangi laki-laki pertama yang mengajaknya makan bersama, agar makanannya semakin nikmat. Pukul 16.00 WIB, kedua anak manusia itu sudah kembali ke dalam mobil. Tak lama, Bara bertanya kemana lagi setelah ini dan Andara menjawab, "Tempat Pemakaman Umum (TPU). Tapi jika kamu lelah, saya bisa ke sana sendiri saja." "Tidak mungkin saya lelah, kitakan hanya makan saja sejak tadi." Andara kembali tersenyum. "Baiklah kalau begitu kita berangkat sekarang." "Hati-hati, pelan-pelan saja!" Bara tersenyum mendengar peringatan dari Andara dan baginya itu seperti sebuah perhatian yang sederhana, namun sangat berarti. Setibanya di Tempat Pemakaman Umum, Andara langsung mengambil posisi berjalan di bagian depan karena dialah petunjuk arah kali ini. Sebenarnya Bara sama sekali tidak mengetahui siapa yang Andara kunjungi di tempat seperti ini. Hanya saja, ia terus mengikuti langkah Andara untuk mengetahui sedikit rahasia di balik wajah, yang selalu tampak terluka. Andara dan Bara tiba di tengah-tengah tempat pemakaman umum dan saat itu Andara membuka tas miliknya dan mengeluarkan kresek berwarna hitam yang berisikan beberapa macam bunga warna-warni dengan aromanya yang khas. Tak lama, Andara mulai mengusap pusaran berwarna putih yang tampak sudah sangat usang. Sepertinya seseorang itu sudah lama tiada, namun Bara dapat melihat bunga-bunga yang tampaknya sudah ditaburkan sebelum mereka tiba di pemakaman tersebut. "Kamu benar tentang sesuatu, Bara." Andara menghela napas panjang. "Mama saya sangat dekat dengan Tuhan." Mata Andara mulai berkaca-kaca, namun ia tidak menangis. "Maaf," sesal Bara yang tidak menyangka bahwa pujiannya akan berakhir seperti ini. "Ma, ini teman saya, Bara. Bara, ini mama saya. Beliau meninggal dunia sekitar 10 tahun yang lalu dan sejak saat itu, saya sering main ke sini, hanya untuk sedikit menghapus rasa rindu." Andara menarik napas dalam-dalam, "Di sebelah sana adalah makam papa saya. Beliau meninggal dunia sekitar 3 tahun yang lalu dan sekarang saya hanya tinggal berdua saja dengan nenek di rumah," jelas Andara yang mampu membungkam mulut Bara. Andara berkata dengan matanya yang tampak mulai barair, namun ia tidak meneteskannya. Dari situ, Bara dapat mengetahui bahwa Andara adalah sosok perempuan yang sangat kuat. Selain itu, mungkin senyum Andara jarang terlihat juga karena ia begitu menderita dan banyak menyimpan luka. "Kalau dilihat dari bunga yang sebelumnya sudah ada di atas pemakaman ini, kelihatannya kamu sangat sering datang berkunjung ya, Andara?" "Benar. Pemakaman umum ini adalah satu-satunya tempat untuk saya datangi. Kami hanya keluarga kecil, papa dan mama juga tidak memiliki saudara." "Kemudian orang tua dari mama saya, sama sekali tidak bersedia untuk melihat saya lagi. Bagi mereka, saya adalah orang yang sudah menyebabkan putri semata wayang mereka tiada," jelas Andara, lalu ia terdiam sejenak. "Kenapa bisa seperti itu? Rasanya tidak adil bagimu." "Bara, keadilan itu hanya untuk mereka yang kaya dan punya segalanya. Tidak untuk orang seperti kami yang hanya untuk makan saja sulit dan harus bekerja keras." Andara mulai banyak bicara karena ia sudah merasa nyaman dengan kehadiran Bara. Meskipun mereka baru saja mengobrol beberapa waktu sebelumnya. Semua itu karena Andara merasa bahwa pandangan Bara terhadap dirinya tidak sama seperti orang lain memandangnya. Tatapan itu begitu tulus dan teduh sehingga membuat Andara merasa dianggap. "Sabar ya, Andara! Terus terang saja, saya tidak tahu harus mengatakan apa lagi," ucap Bara sambil menyamaratakan duduknya dengan Andara. "Iya, kamu benar. Karena memang hanya sabar yang bisa saya lakukan saat ini, selain berjuang dan bertahan untuk hidup. Bara, terima kasih untuk hari ini. Untuk pertama kalinya saya berani mengajak seseorang ke sini." "Terima kasih untuk kepercayaan kamu kepada saya, Andara. Saya berjanji, akan menjadi teman yang hebat untuk kamu." "Tidak perlu berjanji, Bara. Sebab, janji itu hanya untuk sesuatu yang spesial." Bara terdiam dan tidak sanggup mengatakan apa pun lagi. Bersambung. Novel ini sedang direvisi, maaf untuk kekurangan, typo, dan kesalahan lainnya. Makasih.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN