Panasnya hati Bara, sama dengan teriknya sinar matahari yang mulai berdiri di atas kepala.
Saat ini, Andara berada di ruang UKS, sementara Bara masih di ruang guru BK untuk meminta keadilan atas nama Andara.
Sidang pun langsung digelar tertutup. Misya dan teman-temannya mendapatkan peringatan keras, denda dan juga sanksi.
Bara tampak cukup lega dan puas kali ini, ia pun langsung ke ruang UKS untuk menemui Andara.
"Kamu yakin nggak apa-apa?" Bara memegang tangan kiri Andara erat.
"Iya."
"Kalau poni ini lenyap, kamu tampak lebih segar dan cantik. Lain waktu, singkirkan saja!"
"Ada-ada saja."
"Saya akan mengantarkan kamu pulang, apa kamu bisa jalan?" tanya Bara sambil mengesampingkan poni Andara. Andara menganggukkan kepalanya. "Ayo saya bantu!"
"Iya. Eeemh, tas saya."
"Aman."
Andara berjalan lambat dibantu Bara. Tampaknya jari-jari kaki kanan Andara sakit, mungkin Misya dan teman-temannya menendang atau menginjak kaki itu.
Hanya saja, Andara tidak mengatakannya kepada Bara. Tapi Bara terus memperhatikannya dan tahu.
"Apa yang mereka lakukan pada kaki itu?" Andara hanya tersenyum seperti gaya aslinya.
"Bara, saya ingin segera sampai di rumah dan terlelap."
"Kalau begitu, saya akan menggendong kamu."
"Jangan! Malu dengan yang lainnya."
"Kemaluan saya memang besar, tapi saya tidak perduli.
"Apa?"
"Ha ha ha ha ha," tawa Bara mencuat saat melihat Andara terkejut dengan ucapannya. "Tapi jika itu menyangkut kamu, saya tidak akan perduli." Bara langsung menggendong Andara dari depan dan berjalan tegap ke arah mobilnya.
Beberapa teman tampak membantu, inilah kali pertama Andara merasa sangat dipedulikan dan disayangi. Bahagia walau terluka, itulah gambaran perasaan Andara saat ini.
"Mari kita pulang agar kamu bisa istirahat!"
"Iya."
Sekitar 20 menit, Bara tiba di kediaman sederhana keluarga Andara, Bara disambut wajah sendu dan sayu.
Tampak sekali ketakutan di dalam tatapan mata nenek Mira saat melihat Andara digendong dalam keadaan lemah dan terluka.
"Andara kenapa?" tanyanya dengan mata yang hampir basah dan raut wajah yang penuh kekhawatiran, sambil menyambut kedatangan Andara dan Bara.
"Ngak apa-apa kok, Nek. Hanya terjatuh saat menuruni anak tangga."
"Sejak kapan kamu ceroboh begitu?"
'Maaf, Nek.' Andara terpaksa berbohong agar neneknya tidak terlalu khawatir. Andara mengunci mulutnya rapat-rapat sambil berbicara pada dirinya sendiri.
"Oh iya, Nek. Ini Bara, teman satu sekolah Andara."
"Bara, Nek."
"Iya. Terima kasih sudah mengantarkan Andara pulang."
"Sama-sama, Nek. Lagian, Bara senang kok bisa membantu."
"Andara, mana yang sakit?"
"Hanya kaki saja kok, Nek." Andara kembali berbohong dan menutupi luka di bibirnya. Ia memanfaatkan pandangan mata sang nenek yang sudah kurang jelas (rabun).
Saat itu, Bara menatap Andara dengan pandangan iba sekaligus kagum. Ia semakin tahu bagaimana Andara begitu menjaga hati neneknya, satu-satunya orang yang perduli dan mengurusnya sejak masih kecil.
'Kamu sangat kuat Andara. Lalu, bagaimana cara kamu menjalani hidup selama ini? Apa yang kamu lakukan untuk bertahan?'
Tanya Bara tanpa berani bersuara. Sementara matanya terus memperhatikan setiap bagian rumah yang tampak sudah tua, tanpa renovasi seperti yang biasa keluarganya lakukan di rumah mewah mereka.
"Kalian sudah makan?"
"Belum, Nek," jawab Bara tanpa rasa malu sedikit pun. Andara menatap Bara yang terlihat berusaha mengakrabkan diri dengan Nenek. "Nenek masak apa hari ini?"
"Cuma tumisan kangkung dan sambal tahu yang ditambahkan sedikit ikan teri."
"Kedengarannya enak."
"Kalau gitu, ayo makan! Sekalian Andara juga!"
"Tenang saja, Nek! Soal Andara, serahkan saja kepada Bara. Saya akan menyuapinya hingga kenyang."
"Kamu benar-benar teman yang baik."
"Makasih, Nek."
Bara dan Nenek ke dapur bersama. Tak lama, ia datang dengan sepiring penuh makanan dan segelas besar air mineral. Sambil tersenyum, Bara mulai membujuk Andara untuk makan.
Andara tidak pernah menyangka bahwa hari ini akan terjadi. Ia melihat laki-laki yang sempurna hidupnya, bersedia menemani sekaligus menjadi pengganggu di dalam hidupnya.
"Ak!" perintah Bara sambil memberikan suapan kecil ke arah mulut Andara.
"Makasih," sahut Andara dengan bulir-bulir air mata yang mulai menetes perlahan. "Makasih, Bara."
"Heeei." Bara menghapus air mata Andara. "Maaf, saya tahu. Ini semua karena kesalahan dan kelalaian saya. Bisakah kamu memaafkan saya?"
Andara menghisap air hidungnya yang berat. Dengan hidung yang memerah dan bibir yang terluka, ia berusaha menjawab pertanyaan Bara.
"Saya sama sekali tidak menyesal dengan semua ini. Bagi saya, berjalan bersama kamu itu seperti sesuatu yang mustahil, tapi terjadi."
"Jangan menyesal, Andara!" Bara menyeka air bening di bawah mata Andara. "Saya janji, ini adalah yang pertama dan terakhir. Mereka nggak akan bisa menyakiti kamu lagi, Andara. Saya janji!"
Andara menganggukkan kepala. Entah dari mana asalnya? Yang jelas, ia begitu percaya pada setiap ucapan yang keluar dari bibir Bara.
"Ayo lagi!" pintanya kembali menyuapi Andara, setelah satu suapan masuk ke dalam mulutnya sendiri.
"Kamu bisa makan menu makanan seperti ini?" tanya Andara yang terus memperhatikan Bara yang begitu lahap.
"Apa ada yang salah?"
"Hanya ini saja."
"Iya ya, kamu benar. Hanya ini saja, tapi kenapa rasanya begitu enak?" Bara menatap langit-langit ruang tamu dan berpikir.
"Nenek memang pandai memasak. Beberapa tahun yang lalu, beliau adalah chef sebuah restoran yang handal. Tapi seseorang memfitnah nenek dan berakhir dengan pemecatan. Saya ingat sekali kejadian itu karena di malam yang sama, saya ikut bersama nenek dan selalu duduk di belakang beliau."
"Apa yang terjadi?"
"Mereka bilang, bahan-bahan yang digunakan nenek tidak higienis. Padahal semuanya baru saja dari kulkas dan sebelum digunakan, Nenek selalu memperhatikannya. Wajah wanita kaya itu masih terbayang di mata saya, berikut dengan hinaannya."
"Aaak!"
"Tidak baik menyimpan dendam! Bisa saja pengunjung itu juga benar. Coba ingat-ingat lagi! Apakah ada kemungkinan bahwa pramusajilah yang melakukan kecurangan?"
"Heeemh, entahlah," sesal Andara, tapi apa yang dikatakan Bara ada benarnya juga dan ia baru menyadari hal tersebut. Walaupun menurut Andara, cara wanita kaya itu menghina neneknya sangat keterlaluan.
"Andara."
"Jangan melamun!"
"Heeemh."
"Tiga bulan lagi, kita kan bakalan ujian akhir nih. Jadi, kamu nggak boleh sakit terlalu lama!" Andara menganggukkan kepalanya. "Jangan lupa juga buat belajar!"
"Iya."
"Saya akan melanjutkan kuliah jurusan bisnis. Bagaimana dengan kamu?"
"Saya juga akan berusaha untuk bisa kuliah."
"Hebat."
"Saya ingin setara atau setidaknya sedikit pantas untuk menjadi teman kamu, Bara."
"Apa pun kamu, siapa pun kamu, bagi saya, kamu yang terbaik. Kamu punya hati yang tidak dimiliki banyak orang. Selain itu, saya merasa, seperti ada sesuatu yang berbeda dan berharga pada dirimu, tapi sulit untuk dijelaskan. Aaah, bagaimana ya? Entahlah!"
"Ternyata kamu perayu yang ulung."
"Benarkah?"
"Ya."
"Andara, mulai sekarang, kamu harus lebih rajin lagi untuk tersenyum. Entah mengapa, setiap saya melihat senyum itu, rasanya sinar pelangi tampak jelas di mata saya." Andara menunduk sambil tersenyum, bahkan ia tidak lagi merasakan sakit pada bibirnya.
"Sepertinya kamu sudah biasa melakukannya ya, Bara?"
"Apa?"
"Merayu."
"Ha ha ha ha ha. Bahkan saya tidak tahu, apa itu artinya merayu."
"Tapi menurut saya, kamu sangat pandai."
"Mungkin karena papa juga begitu, beliau selalu bersikap manis terhadap mama."
"Pantas saja banyak gadis yang tidak sanggup menahan perasaannya saat bersamamu, Bara."
"Apa hubungannya? Lagipula, saya yakin sekali, kalau selama ini, saya tidak pernah melakukannya kepada orang lain."
"Yakin sekali?"
"Ya iyalah. Inikan bibir saya, gimana sih?"
"Ta'uk ah, bawel."
"Aak! Ayo makan lagi!"
"Iya."
"Ha ha ha ha ha. Sepertinya saya juga cocok menjadi dokter."
"Kamu serba cocok. Termasuk untuk menjadi seorang playboy."
"Ha ha ha ha ha. Jangan mendoakan saya yang tidak-tidak! Dasar konyol."
"Kamu yang konyol."
"Ayo, aaak!"
"Cepat sekali suapannya."
"Biar cepat habis dan kamu bisa makan obat plus tidur."
"Tidak, bukan begini caranya. Ini namanya pembunuhan, Bara."
"Ha ha ha ha ha."
Bersambung.