Mulai Melawan

1062 Kata
"Hei mau kemana kamu?" Sentak Anara ketika melihat Arum yang baru saja keluar dari kamarnya dengan pakaian yang sudah rapi. Anara bahkan sengaja menunggu gadis yang lebih muda darinya itu di depan pintu kamarnya. Mendengar dirinya di ajak bicara Arum pun menghela nafas sepenuh d**a. "Mau kerja mbak." Jawab Arum singkat. "Hah kerja, mau kerja di mana?" Tanya Anara lagi yang belum menyadari ada sesuatu yang berbeda dari cara bicara Arum. "Kerja di butik mama. Masa cuti ku sudah habis mbak." Jawab Arum seadanya. "Tunggu tunggu, kamu memanggil ku apa?" Tanya Anara seraya menarik daun telinga bagian bawahnya. "Mbak katamu, apa aku tidak salah dengar." Lanjutnya lagi yang akhirnya sadar dengan panggilan Arum yang di ucapkan. "Tidak mbak." Lagi-lagi Arum hanya menjawab singkat. "Berani sekali kamu memanggil ku mbak. Panggih aku Nyonya, enak sekali panggil mbak mbak. Aku nggak pernah nikah sama mas mu." Ketus Anara seraya berkacak pinggang, dengan kata penekanan pada sebutan 'Nyonya'. "Maaf mbak. Tapi aku ini juga istri mas Endaru, bukan pembantu. Dan mbak Anara lebih tua dari ku. Jadi tidak ada yang salah dengan panggilan ku tadi. Kalau begitu permisi mbak Anara, saya sudah telat." Pamit Arum dengan ucapan sangat cepat agar Anara tidak memotong pembicaraannya. "Berani sekali kamu sekarang melawan saya." Anara sudah hendak melangkah menghampiri Arum namun gadis itu sudah lebih dulu berlalu pergi meninggalkan dirinya, membuat Anara semakin merasa kesal. Kedua tangannya terkepal sempurna. Kakinya di hentakan keras ke lantai. Sementara Arum yang sudah memesan ojek online dan sudah menunggu dirinya di depan rumah, langsung berjalan cepat tanpa menoleh ke belakang. "Jalan mas." Ucap Arum yang sudah naik di atas motor mas ojek onlinenya, mas itu pun menyerahkan helem pada Arum untuk di kenakan. Motor itu pun melaju meninggalkan rumah mewah itu. Hari ini dan seterusnya Arum merasa akan selamat dari tekanan Anara, karena ia sudah mulai bekerja kembali. Setidaknya Arum hanya akan kembali ke rumah itu ketika sore hari. "Ada apa lagi Anara?" tanya Endaru yang saja ke luar dari kamarnya dengan stelan jas hitam. Hari ini ia ada kunjungan ke beberapa tambang pengolahan batu bara miliknya. "Mas tidak dengar tadi, bagaima perempum murahan itu menghardik ku? Lihat Bagaimana dia sekarang, karena mas membelanya kemarin, dia sekarang jadi mulai melawan ku." Cecar Anara dengan wajah kesalnya. Endaru yang mendengar ocehan istrinya hanya bisa memijat kepalanya yang tak sakit. "Anara apa kamu sadar, sikap arogan kamu ini lah yang menjadi Boomerang kamu sendiri di hadapan Mama." Guman Endaru dalam hati. Memang sikap lembut Anara hanya ditunjukkan untuk dirinya saja. Namun jika ia berhadapan dengan orang lain, Anara cepat hilang kendali. Sedikit kasar bahkan sangat arogan. Hal itu lah yang menyebabkan para pekerja di rumah besarnya tidak betah berlama-lama kerja di sana. Karena mereka harus bekerja di bawah tekanan dan juga harus menghadapi sikap Anara yang tidak bisa di tebak. Tak banyak yang tahu bagaimana sikap buruk Anara ini, dan alasan itu juga Endaru sangat jarang membawanya keluar bersama apalagi dalam sebuah acara. Bisa saja Anara hanya akan membuat malu dirinya bahkan membuat masalah besar untuknya dan juga perusahaan. "Anara, kamu tidak perlu berlebihan seperti ini. Yang aku dengar Arum berkata biasa saja pada mu. Bahkan kamu lah yang kasar padanya. Dan satu hal lagi yang aku harus ingatkan, Arum benar. Dia adalah istri sah ku juga jadi berhenti lah memanggilnya dengan sebutan perempuan murahan. Karena sejatinya dia sama seperti mu, seorang wanita baik-baik yang menjunjung tinggi kehormatan dan juga harga dirinya. Dia masih bersikap baik padamu karena dia juga menghormati mu sebagai istri pertama ku dan satu-satunya wanita yang aku cintai. Hanya saja aku minta padamu, jangan memanggilnya dengan sebutan itu lagi, walau bagaimanapun dia akan melahirkan anak kita nanti. Dan aku tidak mau kamu terbiasa memanggilnya dengan sebutan tak baik itu dan terbawa emosi sampai anak kita hadir ke dunia. Kebiasaan mu itu bisa saja akan berdampak sangat buruk pada anak kita ketika kamu emosi." Ujar Endaru panjang lebar memberkan Anara sedikit teguran lebih tepatnya peringatan yang bijak. Anara kembali mendapatkan kekesalan dari ucapan suaminya, kedua tangannya terkepal sempurna. Endaru tahu itu, ia segera memegangi kedua bahu istrinya. "Sabar lah sayang, kendalikan diri mu. Hanya untuk beberapa bulan ke depan. Paling lama satu tahun ini, kita berjuang bersama-sama. Setelah bayi kita lahir, kita akan mengusir gadis itu dari sini. Hanya kesempatan ini yang kita miliki untuk kebaikan semua. Bersabar lah." Ucap lembut Endaru dengan wajah yang sangat meyakinkan. Anara menatap dalam ke sepasang manik mata indah milik suaminya itu, bulu matanya yang begitu lentik dan panjang menjadikannya sangat indah. Tak ada kebohongan yang terselip di sana. Helaan nafas panjang terdengar dari Anara, untuk kali ini ia harus mendengarkan suaminya. "Mas janji akan menyelesaikannya dengan cepat?" Tanya Anara dengan wajah yang nampak sedikit ragu pada akhirnya. "Mas janji, jika kamu mau berkerja sama. Semuanya akan selesai sesuai rencana." Endaru tetap berusaha meyakinkan. Berat, sangat berat. Rasanya sakit, sangat sakit bahkan terasa menyayat hati bagi Anara. Hanya saja semua sudah terjadi, dan pernikahan kedua suaminya juga bukan keinginannya. Endaru juga terpaksa melakukan itu karena ancaman dari sang mama mertua dan juga papa mertuanya yang tiba-tiba ikut turun tangan. "Baik lah mas, aku akan mencobanya. Tapi jangan salahlan aku jika aku tetap tidak bisa mengendalikan diri. Aku akan berusaha, namun aku tak bisa menjanjikan semuanya akan baik-baik saja. Tak ada istri yang rela membagi suaminya dengan wanita lain mas. Tidak ada istri seperti itu di masa seperti ini. Jikalau pun ada, tetap saja pasti ada rasa tak ikhlas di hati kecilnya." Terang Anara dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Membayangkan sepuluh tahun pernikahan yang sudah sangat sulit saja sungguh menyakitkan di tambah lagi ia harus mulai terbiasa menerima kehadiran orang ketiga dalam pernikahannya. Sungguh itu sangat menyakitkan, rasanya nafas selalu tercekal di ujung tenggorokan setiap ia melihat wajah Arum di setiap sudut rumahnya. Endaru hanya terdiam mendengarkan dengan seksama. Ia juga tak bisa berkata apa-apa, sampai akhirnya tubuh Anara jatuh ke dalam pelukannya. Menangis dengan menyandarkan kepalanya di d**a bidang suaminya. Aroma mint yang tercium dari tubuh Endaru menjadi penenang untuk Anara. Endaru sangat tahu, selama seminggu ini Anara menyembunyikan kekacauan hatinya. Menyembunyikan wajah dan mata lelahnya yang setiap malam sembab karena tangisannya di balik make up yang selalu Anara poles di wajahnya. "Maafkan aku sayang, aku tidak bisa menjadi penghibur yang baik untuk menenangkanmu." Lirih Endaru seraya mencium pucuk kepala Anara. Tangan kekarnya hanya bisa memberikan pelukan hangat yang begitu erat. Anara semakin menangis di sana.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN