"Hallo bro, bagaimana apa kamu sudah mencoba mesinnya?" Sapa Regan di seberang sana.
"Memang sahabat sesat kamu Re. Kamu pikir dia kendaraan main coba mesin segala." Ketus Endaru yang kini berada di ruangan pribadinya di rumah besar itu. Setelah meninggalkan Arum di dalam kamarnya, ia tak langsung menuju kamar utama (kamarnya bersama Anara). Handuknya pun masih melekat di tubuh Endaru, ia lebih memilih untuk berbicara dulu dengan sahabatnya di ruangan itu melalui panggilan telpon.
"Hahahaha, lantas aku harus mengatakan apa bro. Aku ini masih bujang, jadi lidahku belum terbiasa untuk mengatakan hal-hal seperti itu secara terang-terangan." Seloroh Regan dengan tawanya.
"Dasar bujang kadaluarsa." Ketus Endaru.
"Hai hai jaga ucapanmu, biarkan saja aku bujang kadaluarsa. Dari pada kamu punya dua istri tapi nggak ada yang bisa kamu gunakan satu-satu. Istri muda kamu lah kasi aku saja, ceraikan dia. Aku dengan senang hati menerimanya." Tutur Regan panjang lebar dengan rasa percaya dirinya.
Deg.
Mendengar kata-kata Regan, entah kenapa ada rasa nyeri menyelinap di dalam sana.
"Kamu kira istri-istri ku barang." Gumam Endaru menjauhkan ponselnya lalu memutuskan sambungan telponnya dengan Regan.
"Regan mungkin benar, aku adalah suami yang bodoh. Hanya saja aku tak ingin menyentuh Arum, aku takut menyesal sendiri nantinya. Karena pernikahan ini hanya sementara." Gumam Endaru lagi bermonolog sendiri seraya memainkan jarinya di atas layar ponselnya lagi, ia mencari kontak seseorang.
"Hallo Ana, carikan saya rumah sakit terbaik untuk program hamil embrio. Bila perlu ke rumah sakit yang di luar negeri. Jangan banyak bertanya, laksanakan dengan cepat." Tegas Endaru agar asistennya itu tidak banyak bertanya.
"Baik tuan." Saut suara wanita di seberang sana.
"Bagus, dan satu hal lagi yang akan selalu saya ingatkan. Apa pun yang saya perintahkan pada mu di luar urusan pekerjaan kamu seharusnya, jangan sampai bocor ke Nyonya Anara. Jika satu saja informasi pribadi ku yang bocor pada istriku maka kamu lah orang pertama yang akan bertanggung jawab untuk itu. Dan kamu tahu jelas apa yang bisa aku lakukan untuk menghukum mu Ana." Tegas Endaru lagi dengan peringatan ancamannya.
Tentu saja peringatan itu selalu berhasil membuat Ana dengan susah menelan salivanya, ia benar-benar tak ingin berniat untuk terlalu ingin tahu kehidupan bos gantengnya itu karena keselamatan dan nyawanya bisa jadi taruhannya. Ana sudah bekerja hampir enam tahun di Perusahaan Endaru jadi ia sedikit tahu bagaimana watak dari seorang Endaru Putra Asegaf itu.
"Ba-baik tuan." Jawab Ana dengan sedikit terbata.
Setelah mendengar jawaban dari Ana, Endaru pun langsung memutuskan sambungan telponnya begitu saja.
"Sebaiknya aku kenakan pakaian dulu, dan bersiap untuk membuat semua poin-poin perjanjian itu." Gumam Endaru yang kini berjalan menuju kamar pribadinya di ruangan kerja itu. Tak ada yang bisa masuk ke dalam ruangan ini bahkan Anara sekali pun di larang keras untuk memasuki ruang kerja suaminya.
*****
Hari sudah menjelang sore, ketika Arum terbangun dari tidurnya. Setelah menangis sebentar sejak kepergian Endaru dari kamarnya, ia pun mengantuk dan tertidur. Namun ia terbangun karena suara berisik dari ketukan pintu dan juga panggilan seseorang di luar sana.
"Hei babu, bangun kamu. Mau sampai kapan kamu tidur." Ucap seseorang di luar sana dnegan suaranya yang sedikit meninggi, siapa lagi kalau bukan istri pertama suaminya, Anara.
Arum yang kini sudah duduk di tepi ranjang, hanya bisa menarik nafas panjang mendengar ocehan itu.
"Em mungkin memang tidak seharusnya aku membiarkan dia berlaku seenaknya lagi." Lirih Arum hendak bangkit dari tempat duduknya untuk membukakan pintu. Perasaannya sudah sedikit lebih baik sekarang. Namun langkah Arum terhenti ketika sebuah suara bariton terdengar dari arah belakangnya.
"Biar aku saja yang membukakan pintu." Ucap Endaru yang sudah dengan pakaian santainya melewati Arum tanpa melihat ke arahnya.
Deg.
"Sejak kapan dia ada di kamar ini? Bukan kah tadi dia sudah keluar bahkan aku telah mengunci pintunya, lantas bagaimana dia sekarang bisa ada di kamar ini." Gumam Arum dalam hati yang merasa terkejut dengan kehadiran pria itu di sana.
"Anara, bukan kah aku sudah mengingatkanmu untuk bersikap baik pada Arum. Bagaimana bisa kamu mengabaikan peringatan ku, dan apa tadi. Kamu memanggilnya babu?" Ucap Endaru begitu pintu kamar itu terbuka dengan wajah dinginnya, kata-katanya begitu terdengar menyakitkan di telinga Anara. Seketika Anara mematung, ia tak menyangka suaminya ternyata masih di dalam.
"Ma-mas." Lirihnya dengan wajah sedikit memucat, "bagaimana bisa dia ada di dalam, tidak mungkin aku salah dengar. Jelas-jelas ia keluar tadi siang dari kamar ini." Gumam Anara dalam hati.
Tak hanya Anara, Arum pun juga kini dibuat tambah tercengang dengan pembelaan itu lagi.
"Cih, dia berpura-pura membela ku lagi. Dasar pria arogan." Gerutu Arum dalam hati. Seraya berjalan mendekati pasangan suami istri itu.
"Permisi. Saya mau keluar." Ucap Arum yang kini sudah berada di belakang Endaru, memecahkan keheningan antara suami dan madunya. Tanpa sadar dua orang yang menghalangi di depan pintu itu pun menepi, membuat pintu sedikit lengang dan Arum pun bisa keluar dari kamarnya. Ia tak ingin melihat drama lagi, karena dua orang itu sama saja.
"Bagus lah, mereka tak mencegahku terus di sana." Batin Arum merasa bersyukur karena bisa selamat.
"Kenapa mas membelanya lagi." Ketus Anara yang akhirnya sadar dengan sikap suaminya. Arum masih bisa mendengar suara wanita cantik itu.
"Aku tidak membelanya, aku hanya mencoba bersikap adil pada kalian." Tegas Endaru menatap lekat wajah sang istri. Ucapan Endaru pun masih terdengar Arum walau hanya samar-samar karena Arum semakin mempercepat langkahnya menuju dapur. Ia harus segera membuat makan malam untuk pasangan itu sebelum nanti wanita itu marah padanya lagi.
"Adil? Mas bilang mencoba berbuat adil, lalu lihat lah sekarang! Mas tidur dengan w************n itu, sedang kan denganku tidak mas. Bahkan mas tidak pernah menyentuh ku selama bertahun-tahun setelah malam pertama itu." Anara mengeluarkan suara hatinya, kini kedua mata indahnya mula berkaca-kaca.
Ini kedua kalinya Endaru harus menyaksikan wanita yang ia cintai itu hendak menangis, yang pertama kali ketika hari pernikahannya dengan Arum. Endaru mengusap wajahnya kasar, ia mencoba menarik nafas sangat dalam agar bisa tenang menghadapi Anara.
"Sayang, aku hanya tidur di kamar ini. Aku juga belum menyentuhnya. Jadi jangan bersikap seperti ini. Kamu ingin Arum cepat pergi dari kehidupan kita bukan?" Endaru pun akhirnya memberikan pelukan hangatnya seraya mengelus kepala belakang Anara. Mengelus lembut rambut panjang sepinggang Anara yang selalu membuatnya jatuh cinta. Tentu saja Anara hanya berlebihan mengatakan dirinya tak pernah mendapatkan sentuhan, namun Endaru mengerti sentuhan apa yang dimaksudkan istrinya itu. Anara menjadi lebih tenang, ia pun mengangguk di pelukan suaminya.
"Kalau kamu ingin dia cepat pergi, maka biasakan dirimu untuk menerima situasi ini. Aku juga sedangan membiasakan diri. Ikhlas kan aku bersamanya untuk beberapa malam, sampai bayi itu bisa hadir di dalam rahimnya." Tutur Endaru dengan sangat lembut seraya memberikan sentuhan hangat dalam pelukannya.
"Tapi mas." Lirih Anara yang sudah mulai meneteskan air mata. Istri mana yang akan ikhlas jika suami yang bertahun-tahun bahkan tak pernah menjamahnya, kini malah akan menjamah tubuh wanita lain di dalam rumahnya sendiri.
"Aku tahu ini berat sayang, tidak hanya untukmu tapi juga untuk ku. Aku juga tidak ingin melakukan hal ini. Kita sedang sama-sama dalam sebuah ujian, tapi mas janji. Mas akan membuatnya dalam satu kali sentuhan saja, hanya sekali. Dan setelah bayi itu lahir dia akan kita usir sayang." Jelas Endaru dengan yakinnya, namun rasa sakit itu semakin menjadi dirasakan Anara.
Hatinya menjadi panas, seperti terbakar api yang sangat besar. Mendengar ucapan suaminya saja sudah sangat menyakitkan apalagi membayangkan semuanya.
"Apa ya hanya melakukan sekali saja akan langsung jadi?" Ketus Anara yang kini menarik diri dari dalam pelukan suaminya.
"Percayalah pada ku sayang, hanya sekali saja. Dia adalah wanita yang subur. Jadi mas akan cari waktu ketika masa suburnya datang." Endaru memegang kedua bahu Anara dengan tatapannya yang fokus ke arah dua manik mata indah istrinya.
Deg.
Anara terdiam, dengan wajah yang sangat sulit di artikan. Untuk pertama kalinya, Endaru tak bisa membaca tatapan Anara.
"Mas, kamu sadar nggak sih kata-katamu itu sungguh luar biasa menyakitkan. Ucapanmu sama saja membandingkan aku dengan w************n itu dan tanpa kamu sadari kamu mengatakan jika aku ini kurang subur." Lirih Anara dalam hati, tanpa disadari air matanya kini semakin deras membasahi wajahnya.
Endaru yang mulai khawatir pun langsung memeluk kembali tubuh istrinya. Pelukan yang sangat erat dan dalam.
"Maafkan aku sayang." Bisiknya dengan begitu lembut.