Cerita Dini Hari

1284 Kata
___ Ketidakpastian yang membuat semua berantakan___ Sahira tidak ada keluar kamar sejak bertengkar dengan Agam, selepas Akad. Para tetangga sebagian sudah pulang kerumah. Hanya bersisa beberapa orang saja, sepertinya acara walimatul ursy tidak menjadi impian banyak orang. Marsih juga sedang dilanda kekalutan, setelah beradu pendapat dengan sang suami. Sedangkan sang pengantin, entah dimana. Dengan kekuatan seadanya, Sahira melangkahkan kaki, melongok kiri – kanan untuk memastikan keadaan. Menyedihkan, pernikahan yang seharusnya ada tawa dimana – mana beralih menjadi isak tangis. Sahira tidak menemui sang Ibu, Abim ataupun Dimas disekitaran. Sepertinya mereka sudah pulang kerumah, mempersiapkan energi untuk besok pagi resepsi.Terdengar dari kamar sebelah, kamar milik Agam. Ada sumber tangisan yang terdengar, seperti suara Marsih. Sahira melangkah pelan, pintu sedikit terbuka dan benar dugaannya. Agam dan Ibundanya, ada di dalam dan saling berpelukan. Tampak Agam sedang meluahkan amarah, kesal dan amarah akan keputusan pernikahan dari sebelah pihak saja tanpa meminta persetujuannya. " Ibunda berharap kamu menerima keputusan yang sudah berlaku, Gam." Marsih mengenggam erat tangan anaknya." Ibunda tahu ini berat untuk kamu dan juga Sahira, selagi kita ikhlas menjalaninya. Pasti akan ada jalan, kuncinya adalah kelapangan hati kalian sebagai pasangan suami – istri." " Bun, kasihan anak orang." Lirihnya, mata Agam sayu, menyimpan beban paling berat sepanjang hidup." Sahira masih kecil, baru saja akan diwisuda. Dia mahasiswi bimbingan aku, anaknya Bude Raini yang sudah dianggap sebagai anak sendiri juga kan? Bukan hal mudah, kami juga tidak terlibat hubungan apa pun, apalagi sampai bawa – bawa perasaan." " Dia mencintai kamu Gam, Ibunda bisa merasakan dari tatapan mata Sahira." Marsih mencoba memberi sebuah harapan – harapan yang baik." Dia tulus, sulit menemukan cinta perempuan yang benar – benar tulus." Agam menggeleng." Tetap bukan dia, Bun. Dia bukan impian, jauh dari sebuah impian sebagai seorang istri. Maaf, Agam nggak bisa menerima dia di kehidupan panjang." Rasanya detak jantung Sahira berhenti seketika secara paksa, air mata yang ditahan – tahan untuk tidak ada justru jatuh kembali. " Jangan bicara seperti itu Agam. Tidak baik, semua yang terjadi sudah takdirnya Allah." Bujuk Marsih tanpa menyerah." Kamu bisa membentuk Sahira menjadi istri impian kamu, dia penurut. Tidak banyak omong, selagi caranya bisa diterima dia pasti akan mencoba menjadi istri yang baik." Lelaki itu tersenyum perih, berkali – kali mengusap air mata yang meleleh."Memang ini takdir Allah, tapi tetap saja Ibunda yang mengatur. Selama ini Agam yang egois atau Ibunda dan Yanda sebagai orang tua?" Pertanyaan berbalik yang membuat Marsih langsung terdiam. " Aku nggak bisa pakai Sahira sebagai teman hidup, untuk waktu yang panjang. Itu harus aku katakan berkali – kali ke Ibunda kalau masih tidak bisa mengerti." Ujar Agam, sudah tidak lagi ingin mendengar permohonan Marsih mengenai perempuan yang menyandang status sebagai seorang istri. MAS DOSEN Silaunya cahaya lampu, menyadarkan perempuan yang tengah terlelap. Ia berkali – kali mengucek mata guna menyamakan cahaya yang masuk ke dalam kornea. Masih mengenakan perlengkapan salat, mas kawin dari Agam. Sosok lelaki tampak berdiri tegak disakelar lampu, menatap Sahira. " Ketiduran?" tanyanya diiringi suara yang lembut. Sahira mengangguk, matanya bengkak akibat menangis terlalu lama. Tidak berani menatap Agam terlalu lama, sebab air matanya sudah jatuh kembali.Tak ada perbincangan, Agam menarik tangan Sahira dan memeluknya. " Maafkan saya." kata – kata itu yang keluar dari mulut sang suami, membuat isakan tangis Sahira semakin kencang. Perlakuan Agam begitu lembut, berusaha menenangkan. Diajaknya Sahira duduk hingga saling berhadapan. " Kenapa menangis?" Tanya Agam setelah mereka cukup lama saling membisu. " Tentang kita berdua Mas, " jawabnya gemetaran." Pernikahan ini dan semuanya yang sudah berlaku." Agam tersenyum, kembali memeluk tubuh kecil sang istri." Pernikahan kita bukan kesalahan dari kamu Sa. Jangan menjadi beban, nanti kamu sakit." " Terus gimana?" Ia mendongak, menatap wajah yang masih memeluknya." Teruntuk aku, harus seperti apa Mas? Aku istri kamu tapi kamu enggak mau aku, kan?" Agam terdiam, membuang tatapannya dari mata Sahira. " Mas nggak bisa jawab?" " Jangan sekarang, kita masih sama – sama kalut dan kebingungan. Bukan hanya kamu, keluarga besar juga." Pinta Agam, helaan napasnya terdengar semakin berat. Air mata Sahira jatuh, mengenai lengan terbuka Agam." Aku mencintai kamu Mas, sejak kita masih kecil. Mas berpikir aku masih anak – anak. Belum mampu mendewasakan diri, tapi aku enggak pernah bisa bohong soal perasaan." " Jangan ngomong begitu Sahira, " cegah Agam akan luahan hati istrinya." Saya nggak mau melukai hati perempuan mana pun, termasuk kamu." Kalau Agam sudah minta seperti itu, Sahira memilih mengunci mulut dan melepaskan tangisan dipelukan sang suami. " Mas masih marah?" Agam menggeleng." Enggak, ngapain saya marah ke kamu." Ia mengusap puncak kepala Sahira, menciumnya." Kamu anak baik, ganti gih mukenahnya. Shubuh juga masih lama. Jangan dibiasakan, habis salat tidur di tempat." Agam melepaskan pelukan, memberikan akses pada Sahira untuk bergerak. Perempuan itu menurut, melepaskan semua perlengkapan salat yang masih utuh ditubuh." Mbak Wilona bagaimana Mas?" Wajah Agam seketika berubah mendengar nama Wilona, sosok yang seharusnya menjadi pengantin perempuan namun memilih pergi dan menyudahi hubungan yang isinya tidak ada cinta sama sekali. " Mas, nggak berusaha mencari kabar tentang dia?" Pertanyaan Sahira terdengar kembali, lebih berhati – hati. Agam menggeleng, berusaha terlihat santai." Cintanya ke Abim nggak bisa digantikan, makanya milih untuk pergi. Nggak apa – apalah, setidaknya dia menyelamatkan diri sendiri untuk kebahagiaan yang sudah saya rebut." " Apa Mas merasa terluka dengan sikap Wilona dipernikahan ini?" Agam tertawa lirih, mengusap wajahnya begitu kasar." Wilona sudah tidak ada di sini, nggak juga mau menikah lalu menjadi istri saya. Malah kamu kan?" " Kesannya aku banget yang berambisi jadi istri kalau Mas bicara seperti itu." Sahira tertawa miris, duduk bersama Agam. " Memang begitu adanya Sahira, sudah kejadian juga kan sekarang. Nama kamu yang saya sebut di akad kemarin, bukan Wilona." Agam menyalahkan Sahira secara tidak langsung, namun perempuan itu begitu peka akan tuduhan yang ditujukan pada dirinya." Ya sudahlah, bukan sekarang waktu yang tepat untuk membahas hal seperti ini." Agam membaringkan diri di tempat tidur, tangannya sengaja menutupi wajah dan melelapkan diri secara paksa. " Mas mau aku buatkan teh hangat?" Tawarnya pada Agam. " Boleh." Sahut Agam, posisinya tidak berubah sedikit pun." Kalau kamu tidak repot Sa." Sahira keluar dari kamar, ruangan tampak begitu sepi. Tidak ada satupun batang hidung yang terlihat, masih dini hari dan mereka terlelap pada mimpi masing – masing. Shubuh masih ada sekitaran satu jam lagi, hanya Agam dan Sahira yang sudah membuka mata sebab mereka menjadi kenyataan takdir dalam waktu singkat. Ia mengaduk minuman hangat itu dengan tatapan kosong, memikirkan ucapan Agam tentang dirinya, pernikahan yang nanti akan berakhir seperti apa. " Tumben, masih pagi buta sudah buat teh." Suara dari seberang membuat Sahira terkejut." Nggak enak badan?" Tampak Hamdan berdiri di sana, baru keluar dari kamar mandi. Sepertinya habis membersihkan diri guna persiapan shalat Shubuh. Sahira tersenyum kecil." O, ini untuk Mas Agam." " Suaminya?" Hamdan membalas dibarengi tawa, entah tawa pilu atau ejekan. Sahira mengangguk, tidak berani menatap Hamdan. Ada malu dan pilu, sebab adik dari suaminya itu berniat datang ke rumah untuk melamar setelah resepsi pernikahan berakhir, namun perempuan yang Hamdan cintai sudah menjadi istri untuk Agam. " Bagaimana rasanya menjadi istri dari lelaki yang kamu cintai?" Suara Hamdan memecahkan kebisuan mereka didapur. " Menurut kamu aku terlihat seperti apa Ham?" Sahira membalikkan pertanyaan. " Tidak tahu, saya tidak pintar membaca isi hati orang yang terlihat baik tapi nyatanya sama saja." Alih – alih tanpa menunggu jawaban, Hamdan meninggalkan Sahira di dapur. Sahira kenal raut wajah lelaki yang menjadi adik tiri suaminya itu. Selama tiga tahun duduk dibangku kuliah, tidak sekalipun Hamdan menyuguhkan wajah seperti tadi, tampak jelas menyiratkan amarah, tidak terima akan pernikahan Sahira dan Agam yang sudah terjadi. Perempuan yang disukainya tidak kesampaian dimiliki, justru malah menjadi istri dari saudara tirinya yang tidak pernah bisa diajak berdamai dan selalu menatapnya penuh kehinaan.Takdir. TBC
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN