_Ada yang menanti pernyataan maaf dari seseorang, sekaligus cintanya_ Sahira Asma
Sahira memutuskan untuk keluar dari kamar, hampir seharian mengurung diri, setelah memilih untuk tidak bergabung diacara resepsi, akhirnya menampakkan batang hidungnya pada keluarga besar.
" Gimana keadaannya Sa? Agam bilang kamu sedang tidak enak badan." Ujar Permana pada sang menantu.
Sahira meringis, tidak enak hati pada sang mertua." Sudah lebih membaik Om. Mas Agam di mana?" Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling, mencari sang suami.
" Di luar, susul gih. Katanya mencari udara dingin, sekalian mengemasi beberapa perlengkapan sisa acara." Sahut Marsih cepat.
Sahira mengangguk, segera pamit untuk menemui suaminya yang berada di luar rumah. Suasana disekitaran benar – benar sepi, hanya suara musik yang mengalun lembut. Ia menghela napas kasar, hingga Agam menyadari lalu menoleh ke sebelah, di mana Sahira berada.
" Ada apa Sa?" Tanya Agam, membuka perbincangan.
Sahira menggelengkan kepala." Tidak ada apa – apa, kenapa Mas duduk di luar? Kan dingin."
" Lebih enakan di sini, udara dingin lebih baik dari pada aura – aura di ruang tamu. Kamu sendiri mengapa menyusul saya?" Gantian Agam bertanya.
" Memangnya nggak boleh?"
Tidak terdengar ada jawaban, Agam memilih tutup mulut atas pertanyaan barusan.
" Mas tadi siang duduk di sinikah?" Sahira buka suara lagi, menunjukkan kursi yang seharusnya menjadikan mereka raja dan ratu sehari.
" Enggaklah, Ibunda dan Yanda yang duduk, saya malah keliling." Katanya pada Sahira.
" Kok Bude dan Om Permana?"
Agam terkekeh." Ya, anggap saja mereka yang sedang menikah."
Sahira mengerucutkan bibir."Mas Abim ada datang?"
" Siang tadi ada, sebentar lah. Yangsaya lihat ya." Kata Agam." Kenapa mencari dia?"
" Memangnya salah kalau aku mencari Mas Abim?" Sahira menghirup udara segar malam hari, setidaknya benar – benar melepaskan beban yang ada di dada." Mas nggak capek? Masa pengantin baru yang sibuk beres – beres sisa resepsi."
" Mau enak – enak, istrinya bukan pilihan sendiri. Kasihan nanti, kamu nggak sepemikiran sih sama saya." Ucapnya tanpa beban.
Raut wajah Sahira langsung berubah, sesak melanda dan tiba – tiba sedih lagi.
" Mas masih menganggap aku orang asing?" Lirihnya sedih, seketika memalingkan wajah dari Agam.
" Memang sejak awal kita kan sudah asing, kenal dekat juga karena bimbingan skripsi kamu. Kenapa malah berpikir kita pernah ada dalam lingkaran yang saling terhubung?" Tanya Agam tidak mengerti, melipatkan tangan di d**a guna mengusir dingin yang mulai merasuk ke dalam tubuh.
Gaya bicaranya bak seorang dosen di kelas, ketika sedang berhadapan dengan para mahasiswi lalu memberikan sebuah mata kuliah panjang. Khas Agam, dari pernyataan tadi sudah bisa disimpulkan bahwa Sahira Asma tidak menjadi seorang istri yang resmi untuk Agam.
" Oh, gitu?"
Agam pindah duduk, tepat di sebelah Sahira. Terlihat seperti raja dan ratu sehari namun tidak ada yang mendokumentasikan. Hanya bulan dan bintang menjadi saksi, atas perbincangan mereka dimalam pertama sebagai pengantin.
" Untuk kamu, selamat ya atas pernikahannya." Ujar Agam, memberikan senyuman manis kearah lawan bicara.
Sahira menoleh, tidak mengerti sedikit pun akan perbincangan Agam sejak resmi menyandang status sebagai suami." Mas juga deh." Ia menyalami, menautkan jemarinya pada jemari milik Agam.
Tidak ada lagi perbincangan, mereka sibuk pada pikiran masing – masing. Hanya sesekali saling tatap, setelahnya berusaha untuk tidak salah tingkah.
MAS DOSEN
Sahira mematung di atas tempat tidur, matanya tidak beralih dari punggung Agam. Deru napas kembali tidak beraturan, tanpa disadari bulir air mata membasahi pipi. Ia tahu, Agam tengah mencintai perempuan lain. Namun yang menjadi istrinya adalah dirinya, apa harus membatasi diri sampai pisah tempat tidur. Sahira tidak pernah percaya akan n****+ – n****+ yang mengisahkan sebuah pernikahan tanpa cinta, namun kini ia sudah menjadi salah satu pemerannya dan rasanya benar – benar menyiksa.
" Tidur Sa." Agam memperingati perempuan yang masih duduk di tepi ranjang.
Sahira menghapus lelehan air mata, dengan cepat memalingkan wajah dari tatapan Agam.
" Nangis lagi?" Suara Agam terdengar tidak suka, mengubah posisinya menjadi duduk." Jangan membuang air mata untuk orang yang akan menyakitimu."
" Kenapa Mas berniat menyakiti aku?" Matanya memerah, menahan tangis yang akan tumpah.
Agam mengukir senyum tipis." Maaf Sa." Hanya kalimat itu yang mampu meluncur dari bibirnya." Kamu tidur di kasur ya, biar saya di sofa." Ucapnya lagi, memberikan instruksi.
" Aku mau mas disini, nemenin aku." Sahira menahan lengan Agam, agar tidak beranjak pergi." Kalau mas memang enggak ingin tersentuh, aku tahu batasan kok." Ujarnya meyakinkan.
Agam melepaskan tangan Sahira, menolak permintaan yang ditujukan pada dirinya." Enggak Sa. Saya enggak bisa, selain terbebani saya juga tidak ingin memberikan harapan lebih pada kamu, apalagi setelah terikat pernikahan seperti ini."
Sahira terpaku mendengar penuturan Agam, memilih bungkam dan memperhatikan gerak – gerik Agam yang membawa bantal serta selimut menuju sofa di depan TV kamar.
" Tapi kita sudah muhrim Mas. Aku juga tidak najis kok kalau harus tidur di sisimu." Ucapnya pada Agam.
Lelaki yang akan membaringkan tubuhnya, tertahan setelah mendengar kata – kata yang diucapkan Sahira." Saya nggak ada bilang kamu najis Sa. Saya hanya ingin tidur di sofa, Gapapa kan? Lagi pula, kita masih satu ruangan kok dan kamu tidak sendirian. Kalau misalnya takut, saya temani kamu dari sini, yang jaraknya hanya beberapa meter doang."
Sahira menutupi tubuhnya dengan selimut, tidak peduli lagi akan tatapan Agam yang masih tertuju padanya. Ia menggigit bibir, gemetaran menumpahkan tangis di atas bantal. Tampak bahunya naik – turun, hingga sosok lelaki yang masih diposisi semula merasa semakin bersalah.
Tuhan, maafkanlah aku tidak bisa mencintai sosok cantik ciptaanmu yang sedang membersamaiku saat ini. Bukan aku orangnya, bukan aku juga yang tepat mendampingi sebagai suami.
Lamunan Agam tersadar ketika handphone miliknya bergetar, panggilan masuk yang menampilkan nama seseorang yang begitu Agam sayangi. Sebelum mengangkat panggilan tersebut, ia memastikan Sahira sudah terlelap. Perlahan – lahan, Agam meninggalkan ruangan.
" Iya May, Gimana?" Tanya Agam lembut pada lawan bicaranya.
" Mas sudah tidur?" Suaranya terdengar sendu, hingga Agam semakin merasa serba salah." Atau aku ganggu Mas sebagai pengantin baru?"
" May, kamu kok ngomong begitu sih." Jawab Agam tidak suka." Aku nggak mau kamu kenapa – napa, aku khawatirin kamu sekarang."
" Khawatir atau sekedar kasihan?"
" Kamu enggak percaya dengan Mas?" Agam mensinisi ucapan Maya.
" Memangnya aku harus percaya padamu?" Tantang Maya pula.
" Sudah malam, Mas tidak berniat berdebat apalagi kamu orangnya, Maya." Ucapannya penuh penekanan." Tolong, mengerti dengan keadaan Mas sekarang."
" Aku kangen kamu Mas. Wilona masih belum bersedia ditinggal?"
" Bukan Wilona orangnya."
" Lalu?"
" Kamu tidak kenal, juga tidak perlu cari tahu tentang dia May. Bukan siapa – siapa Mas kok, tidak pernah terlibat hubungan apa pun."
" Ibunda yang minta?"
" Wilona kabur, pernikahan sepihak yang tidak Mas harapkan." Agam tidak ingin Maya terus mendesak dirinya dengan pernikahan yang sudah terlanjur ada." Sudah malam, lebih baik kamu istirahat."
" Terus Mas ngapain?"
" Mas mau tidur juga, May. Enggak ada apa – apa yang terjadi, berhentilah memikirkan sesuatu yang tidak Mas lakukan pada siapapun." Ucap Agam meyakinkan.
" Baik, selamat malam."Ucap Maya pada Agam, tanpa menunggu jawaban ia sudah mematikan panggilan.
Agam menghela napas begitu dalam, duduk di kursi ruang tamu. Jam di dinding menunjukkan waktu larut malam. Namun pikirannya semakin kacau, bingung dengan keadaan yang tidak pernah terlintas di pikiran. Sahira, mahasiswi bimbingannya beberapa waktu lalu. Saat ini sedang menjadi istri, mengapa kehidupan seperti senang sekali mempermainkan dirinya seperti sampah?
Seperti itulah yang Agam pikirkan.
" Gam, kenapa belum tidur?" Suara Marsih menyadarkan lamunan Agam di ruang tamu.
" Sebentar Bun, masih ingin di sini." Jawabnya, tersenyum kecil pada Marsih." Ibunda tidak bisa tidur juga?"
" Kenapa meninggalkan Sahira sendirian di kamar, ini kan malam pertama pernikahan kalian, Gam." Bukannya menjawab pertanyaan Agam, Marsih justru mengalihkan topik perbincangan.
" Bun, jangan terlalu jauh mengharapkan pernikahan aku saat ini." Kata Agam, keberatan akan ucapan Marsih.
" Sekalipun kamu tidak memikirkannya, setidaknya jangan meninggalkan."
" Maya membutuhkan kabar aku, Bun." Ucapan Agam membuat Marsih mematung, menatap tajam kearah sang anak." Dia sama halnya seperti aku, enggak bisa tidur dan saling memikirkan takdir yang enggan menyatukan kami, padahal kami saling mencintai."
" Dia tidak mencintai kamu, Gam. Bukan kamu orangnya, Maya tidak akan pernah memberikan cintanya pada kamu." Lirih Marsih, matanya sudah basah.
Agam menertawakan ucapan Marsih." Karena Ibunda terlalu mendukung pernikahan aku bersama Sahira, begitukan?"
Marsih duduk di sebelah Agam, mengusap pundak lelaki yang menjadi anak semata wayang." Memang Ibunda yang mengingikan pernikahan kamu dengan Sahira, tapi Ibunda tidak pernah berpikir untuk mencelakai kamu dengan pernikahan."
" Ini sudah kecelakaan, Bun." Suara Agam bergetar." Seharusnya setelah Wilona kabur dari rumah, nggak buat Ibunda mengambil keputusan sepihak. Pernikahan aku hanya menguntungkan Yanda dan Ibunda, sebagai orang tua." Ucapan Agam terlalu menohok." Perjodohan dengan Wilona menguntungkan Yanda kepada bisnisnya, lalu pernikahan aku bersama Sahira menguntungkan Ibunda agar aku tidak bisa memperjuangkan Maya, begitu?"
" Tidak..." Bantah Marsih," Sahira perempuan yang tepat dan Ibunda mengenal keluarga mereka sangat baik. Menikah bukan hanya dua orang saja Gam, melainkan dua yang akan menjadi keluarga besar."
" Lalu Maya tidak baik karena dia tidak memiliki orangtua?" Agam menatap kesal pada Ibundanya." Jangan karena ucapan Ibunda barusan, merubah penilaian aku sebagai seorang anak. Aku nggak ingin, menyamakan Ibunda dengan Yanda karena lebih dari sekali menyakiti keluarga ini." Setelah menyelesaikan ucapannya, Agam pamit menuju kamar. Selain sudah sangat larut, tidak baik juga semakin meninggikan suaranya pada sosok yang membuatnya ada, hadir ke dunia.
TBC