Empat Hari Tanpa Kabar

2061 Kata
Lelaki itu tampak sabar menyuapi perempuan yang terbaring di rumah sakit, wajahnya pucat dan tidak bertenaga. Maya Al - Ghafari, sosok perempuan yang begitu Agam cintai, sampai akhirnya dipaksa untuk berpisah karena keegoisan keluarga. " Kamu nggak apa – apa menemaniku di sini, Gam?" " Memangnya ada apa kalau Mas menemanimu?" Jawabnya membalikkan pertanyaan, kembali menyuapkan makan malam yang diantar oleh perawat. " Ada yang seseorang yang mengkhawatirkan keadaanmu, menunggu kabar dari kamu sebagai suami. Aku enggak tahu apa yang sudah berlaku dengan hidup kalian kemarin." Agam menatap Maya, setelahnya tersenyum hambar." Kamu yang memilih pergi dan terus menerus menjauh Maya, bahkan Mas pun nggak pernah diberi kesempatan memperjuangkan hubungan kita ke jenjang pernikahan. Kamu kekasih Mas, harusnya kamu yang menjadi istri." " Kekasih yang tidak mungkin akan kamu nikahi, Mas." Maya tertawa pelan, berusaha mencandai Agam. " Kamu ngomong begitu seperti enggak menyimpan rasa sayang apa pun." Ujar Agam tidak suka. Maya menghela napas kasar, mengalihkan tatapannya keluar." Sayang, tapi aku bukan perempuan baik untukmu." Maya terlihat sedih, meraih jemari Agam dan mengenggamnya begitu erat." Menikah itu bukan hanya sekedar ingin, kita nggak akan bisa menemukan apa pun kalau hanya ingin menjadi satu atap, berdua di dalamnya." Agam mengangguk." Dua hari lalu Mas sudah sah menyandang status sebagai suami. Panjang kalau Mas harus ceritakan, Wilona yang memilih kabur. Mas pikir sudah berhenti sampai di situ saja, Ibunda justru menjodohkan Mas dengan anak tetangga, pernah menjadi mahasiswi bimbingan di kampus juga. Masih terlalu muda, namanya Sahira Asma. Dia memang mengaku memiliki perasaan, suka sama Mas, tapi Mas –nya enggak May." Napas Agam terdengar berat, manggut – manggut tanpa makna. Maya seperti tidak rela mendengar pernyataan yang dilontarkan Agam, namun ia tidak memiliki hak apa pun untuk takdir Agam." Bagus dong masih muda, kan Mas juga dosen muda. Cocok, harusnya Mas bersyukur." Agam menyandarkan tubuhnya di kursi, mengusap puncak kepala Maya." Cinta itu nggak bisa paksa – memaksa May, gimanapun baiknya, Mas nggak bisa jatuh cinta ke dia. Anaknya cantik, baik dan juga pintar tapi sebatas apresiasi ke diri dan prestasinya bukan hati, hati Mas masih terikat padamu." " Harusnya Mas juga tidak menyusul aku di rumah sakit, kasihan dia. Masih pengantin baru, butuh Mas di sisinya.Untuk menjadi teman tidur, bertukar cerita atau yang indah – indah sebagai pasangan." " Kamu sendiri aja belum tentu ikhlas, bagaimana Mas mampu melakukan itu May." Agam geleng – geleng kepala." Sudahlah, kamu tidak perlu memikirkan banyak hal, yang harus kamu prioritaskan adalah sembuh, jangan sakit – sakitan lagi seperti ini." " Tapi kita juga sampai kapan harus gini terus Mas? kamu milik adik itu sepenuhnya sebagai suami." Maya menatap Agam sangat dalam. " Mas tidak kepikiran sedalam itu, Mas sengaja pergi darinya agar dia tidak menangis. Emang begitu kan, jika mencintai orang terlalu dalam. Apa – apa itu menyikapi sikap Mas pakai hati, ucapan Mas kayaknya salah terus dan nggak ada yang benar, gampang sekali menangis. Makin tidak nyaman, kesannya justru Mas penjahat." Agam memejamkan mata." Menjauh begini, dia nggak akan menemui wajah Mas. mengurangi beban diperasaan, anak orang lho. Mas dan Abim saja belum baikan, masa nambah luka di adik perempuannya." " Loh, Adiknya Abim?" Maya terperanjat kaget. Agam mengangguk." Iya, kalau keluarga minta pendapat ke Mas sebelum ijab. Sudah Mas tolak mentah – mentah. Ibunda dan Yanda, ambil keputusan sepihak, Mas saja kaget melihat dia menjadi calon pengantin perempuan. Akad dan resepsi berantakan, intinya keluarga besar sudah jadi bahan gunjingan orang – orang sekitar lah." " Kalau Abim tahu perlakuanmu pada adiknya, kalian nggak akan pernah berbaikan." " Memang sudah nggak akan lagi, dia dari awal nutup pintu maaf untuk Mas." Jawab Agam pasrah." Menikahi adiknya justru semakin menutup kesempatan berbaikan, terkadang hidup memang terlalu sulit untuk ditebak May." Luahnya sedih. Maya tersenyum miris pada Agam, memberi ketenangan semampunya. "Kita nggak hidup dalam ujian terus kok, percaya atau enggak percaya semua akan berakhir." " Tapi tidak dengan hubungan kita kan May?" Perempuan cantik itu terdiam, tidak memberi jawaban akan pertanyaan Agam. Ia bahkan tidak memiliki jawaban yang tepat, bagaimana dengan hubungan yang dirajut bertahun – tahun tanpa tujuan, tanpa pandangan masa depan. " Mas sudah menikah," Maya buka suara." Pertahankan apa yang Mas miliki, dia anak yang baik. Kamu menemukan orang yang tepat kok." " Tapi tidak segampang itu May, semua bisa usai." Agam meyakinkan. " Usai karena kamu nggak sanggup mencintai dia, gitu?" Tanya Maya, merapikan anak rambutnya yang berserakan." Gimana setelahnya kalau aku justru enggak sanggup bahagiakan Mas?" " Kamu sanggup untuk itu, kita hidup bersama sudah lama." Mata mereka saling bertemu, namun tidak lama Maya justru menghindar. Seperti tidak sanggup menatap wajah penuh ketulusan Agam di sana, bukan perihal bermain atau permainan namun sebagiannya adalah pengisi kepuasan dalam relung hati sebagai bentuk dendam yang semakin terasa sesak. "Mas, maafkan aku." Maya membatin, menarik napas begitu dalam. " Istirahatlah," Agam menyelimuti tubuh Maya." Nanti Mas balik lagi, Mas masih ada urusan di kampus." Maya mengangguk." Maaf, masih merepotkanmu hingga detik ini." Agam mengusap puncak kepala Maya, penuh perhatian." Mas sayang kamu May, seperti ini yang Mas mampu ketika menyayangi kamu." Ucapan Agam membuat Maya sempurna menangis, bulir air mata jatuh ke pipi dan rasa bersalahnya semakin menyeruak ke d**a. Ah hidup, hidup yang penuh misteri jalannya. ___ Kesempurnaan hanya milik Allah, maka dari itu kamu dan aku di persatukan agar kita saling melengkapi.____ Seperti tidak ada pernikahan, tidak memiliki ikatan sakral dan statusnya bukan seorang istri. Itu yang Sahira rasakan, semalaman tidak bisa memejamkan mata. Memikirkan keadaan Agam di kota, apakah baik – baik saja di sana atau sedang berbahagia. Lelaki itu saja tidak memikirkan tentang dirinya, entah mengapa ia malah mati –matian memikirkan keadaan sang suami. Genap empat hari menikah, empat hari juga tanpa kabar dari Agam. Akhirnya Sahira memberanikan diri membuka handphone. Pesan saling timpang – tindih, namun tidak ada nama Agam disana. Bahkan nama itu sudah jauh turun ke bawah, sebab tertutupi pesan – pesan yang masuk. Diam – diam, dicari nama Agam dan memantau apakah sedang aktif atau tidak. Sudah larut, biasanya lelaki itu tidak akan sibuk dengan handphonenya. Jarum jam menunjukkan angka 02.00 dini hari. Namun sekedar dugaan, di bawah nama Agam terlihat tulisan sedang online dan artinya ia belum tertidur. " Ini gimana sih," lirihnya sedih." Mau diapain coba pernikahan yang udah terlanjur ada." Sahira mendudukkan diri, menarik napas panjang. Di buka satu – persatu pesan – pesan yang beberapa hari masuk, namun diabaikan sebab suatu hal. Ada nama Hamdan, mengucapkan selamat atas pernikahannya. Lelaki itu masih berada di desa namun setiap bertemu berusaha menghindar. Tidak mengajaknya berbicara, jauh berbeda saat dirinya masih berstatus ' belum menikah'. Dengan keberanian seadanya, Sahira menekan panggilan ke nomor Agam. Apakah lelaki itu akan menjawab atau justru mengabaikan. Panggilan pertama masih tidak ada jawaban hingga kedua, suara berat lelaki itu terdengar digendang telinga. " Apa Sa?" Pertanyaan macam apa itu? " Kok belum istirahat Mas?" Jawab Sahira setelah terdiam cukup lama. " Ini mau istirahat, sebentar saja ya nelponnya, saya capek." Balasnya tanpa pikir panjang. Basa – basinya tidak berhasil, Sahira mendengus sebal mendengar respon datar dari Agam. " Nggak kangen aku Mas?" Agam terkekeh di sana, seperti sedang dicandai." Kamu sengaja belum tidur atau gimana?" " Nggak bisa tidur, Mas kok nggak ada kabar. Padahal kan sudah sampai di kota." Sahira sedikit kesal mendapat respon tidak mengenakkan dari lawan bicaranya. " Kemarin kan ada kabar, kalau kamu lupa." Agam menguap. " Aku kangen kamu Mas." Ucap Sahira kedua kalinya. Helaan napas Agam terdengar berat, Sahira bisa merasakannya. Bahkan lelaki itu tidak berniat membalas perkataan sang istri. " Tidur Sa, sudah malam dan saya ngantuk berat." Kata – kata itu yang keluar dari mulutnya. " Mas." Panggil Sahira ragu, kecewa melanda sepenuhnya. " Kamu mau ngomong apa?" " Aku kangen kamu." Ia mengulang ucapannya, ingin tahu apa jawaban dari Agam. " Saya enggak Sa, maaf." Suara Agam terdengar lembut, namun menusuk gendang telinga dan hati Sahira secara bertubi – tubi. Panggilan dimatikan sepihak oleh Sahira, terdiam dan mematung ditempat. " Menaruh cinta ke kamu itu sakit, sakit banget Mas." Katanya terisak – isak, ingin cerita tapi tidak tahu tempat yang tepat. Kalau sampai sahabatnya tahu tentang pernikahannya dengan Agam, semua akan berantakan. Mereka masih menjadi mahasiswi bimbingan lelaki itu, bisa – bisa urusan perasaan dibaurkan dengan revisian. Kapan wisudanya? Apalagi Kinan, dia satu – satunya orang yang tidak menemukan sisi baiknya tentang Agam. Berbeda dengan Belia, masih bersikap netral. Sesekali menyalahkan diri Sahira dan juga tetap menyokong perasaannya pada Agam. Kalau tahu rasa sakitnya mencintai sosok yang bernama Agam Permana, sosok yang sudah mengabaikan perempuan yang dinikahi empat hari lalu dan memilih pergi. Dua sahabatnya itu sudah meluncurkan makian paling tajam dari lisan masing – masing. MAS DOSEN Agam menghidupkan TV, mengusir sepi. Masih mengenakan perlengkapan shalat Shubuh, rutinitas biasa jika di rumah sendiri. Senyumnya melukis tipis disudut bibir, mengingat hal yang mengubah kehidupannya dalam waktu singkat. Terasa mimpi, namun nyata adanya. Rekan – rekan kerjanya di kampus mengucapkan selamat atas pernikahan beberapa hari lalu, doa – doa terbaik dikirimkan padanya dan juga Wilona, padahal tidak dia yang menjadi istri. Mereka tahunya nama itu, sebab diundangan tertera jelas nama Agam dan Wilona. " Kenapa harus kamu yang menjadi istri?" Katanya pada diri sendiri, geleng – geleng kepala tidak terima. Berkali – kali mengganti channel, menemukan siaran yang pas. Berita pagi, menampilkan berbagai informasi. Bukan fokus, ia malah mengacak – acak rambutnya sebagai upaya penyaluran beban di d**a. " Seharusnya kamu tidak menaruh rasa pada saya Sahira." Gumamnya, seakan – akan Sahira ada di sebelah." Beban banget, posisinya jadi serba salah gini." Agam kebingungan membawa pernikahannya, melanjutkan pun akan sia – sia. Gadis kecil itu semakin menderita, melepaskan juga bukan waktu yang tepat. Usia pernikahan masih begitu muda, keluarga pun belum hilang menanggung malu sebab pengantin perempuan yang sesungguhnya memilih kabur, tiba – tiba ada perceraian lalu pembatalan nikah diwaktu yang berjarak sangat dekat. Agam tidak bisa membayangkan bagaimana reaksinya kalau menoreh kecewa lagi pada sang Ibunda, tingkah Yandanya saja sudah cukup banyak menyakiti hati dan raganya walau selalu berujar baik – baik saja. Namun Agam juga tidak mau membuat Sahira berlarut – larut menyikapi perasaan cintanya, ia ingin segera melepas agar tidak rumit pada akhirnya nanti. Tuhan tidak akan memberikan pendamping yang salah, ketika setiap masingnya mampu menghargai rasa yang sudah dipersatukan. Kata – kata itu menjadi kekuatan, setidaknya untuk beberapa detik sebelum akhirnya Sahira kembali meneteskan air mata. Ia duduk di tepi jendela kamar, menatap beberapa tanaman bunga milik Ibunya yang masih berembun. " Kamu yang berpikir, semua akan baik – baik saja. Dengan menikah, menjadi istri untuk orang yang nggak pernah memikirkanmu." Gumam Sahira pada diri sendiri." Sadar Sa, mimpimu terlalu tinggi." " Kalau nggak kuat, jangan dilanjut." Sahira menoleh ke belakang, Dimas sudah ada di ruangan. " Masuk tuh, izin dulu." Sahira memperingati sang adik." Enggak sopan tahu!" Dimas terkekeh, duduk bersama Sahira." Mbak, sampai kapan mau begini terus? Hmmm.." " Begini, gimana?" Keningnya mengernyit. " Mbak tuh seorang istri, lho. Hari pertama menikah sudah ditinggal, untuk apa dipertahankan lagi Mbak. Enggak salah kok, kalau Mbak terbuka ke Ibu dan Mas Abim, setidaknya enggak terjebak atau Mbak justru ingin menjebakkan diri?" " Dim.." Panggil Sahira, jemarinya mengurut kepala yang terasa sakit." Kamu masih seorang pelajar, nggak baik mengajari Mbak apalagi mengenai pernikahan." Dimas tertawa kecil, sedikit memberi ejekan." Aku hanya tidak ingin melihat Mbak sakit, menderita sendirian. Seorang perempuan seperti Mbak butuh kasih – sayang, karena seharusnya Bapak yang memberikan itu." " Mbak masih ada Mas Abim dan kamu." Tatapannya terarah lurus, kembali kosong." Bener ya Dim, hubungan yang dilandasi keegoisan, tetap bakal berakhir. Gimanapun kuatnya berkeyakinan, sia – sia aja gitu." " Tapikan nggak sepenuhnya salah Mbak. Adanya pernikahan Mbak dan Mas Agam, terlalu rumit buat saling menyalahkan."Ungkap Dimas serius." Aku bukan nggak suka Mas Agam, tapi ninggalin Mbak tanpa balik lagi kayak gini udah nyakitin banget. Mbak anak kesayangan Bapak, aku nggak mau Bapak sedih karena Mbak jungkir balik sendirian bawa perasaan." Bulir air mata Sahira semakin membasahi pipi, ucapan Dimas benar – benar mengena di hati. Keadaan keluarga tengah kacau, Agam yang pergi meninggalkan dirinya sendirian dan pernikahan pun terombang – ambing tanpa kepastian. " Ibu bukan nggak mampu menguatkan Mbak, tapi Ibu juga lagi kalut." Imbuhnya lagi. Sahira manggut – manggut, sekilas menatap wajah Dimas." Mbak kuat kok Dim, makasih ya untuk kekuatan yang kamu berikan tadi." Kuat? Sahira menertawakan diri sendiri, bualan dari mana yang sedang ia lontarkan. TBC
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN